Share

Iblis Cantik

Daren bergerak pelan, membuka mata sembari membangunkan tubuh yang terasa remuk redam. Dia belum pernah merasakan sakit seperti ini meski kelelahan mengantar paket, ini bahkan tidak bisa dikategorikan rasa sakit, mungkin hancur? Seluruh tulangnya bahkan serasa mengilu.

"Bapak jangan terlalu banyak gerak, lukanya belum pulih."

Daren mengerjap, memfokuskan pandangan pada seseorang yang kini berdiri anggun di hadapannya. Wanita dengan seragam putih yang sedang memegang alat kesehatan.

Wanita itu mendekat, membantunya untuk bersandar pada kepala ranjang dengan sebuah bantal yang diletakkan di balik punggung. Daren memegang kepalanya yang terasa berdentum-dentum.

Setelah menemukan titik nyaman, dia berusaha memindai sekitar. Melihat bagaimana keadaan ruangan tempatnya.

Apakah ini di rumah sakit? Tapi tak akan ada rumah sakit sebagus ini bukan?

"Saya di mana?" Akhirnya, pertanyaan itu ia lontarkan. Seingatnya kemarin dia___

Daren menengang, motornya? Paket?

Pria itu menyentak selimut, mencoba bangkit hingga pada akhirnya rubuh kembali membentur kepala ranjang.

"Bapak!" Perawat yang melihatnya terpekik dan berusaha membantu, kembali menyandarkan Daren pada kepala ranjang. "Bapak belum pulih, belum bisa bergerak terlalu banyak," ujarnya meneggakan kembali tiang infus yang tadi terpelanting ke lantai.

Daren menyerah. Helaan napas kasar keluar dari mulutnya. Entah siapa yang membuatnya seperti ini? Dia hanya ingat dia dipukuli oleh ....?

"Brengsek!" umpatnya menekan rasa sakit yang kembali menyerang kepalanya. Apa dia gegar otak gara-gara semalam?

"Nyonya akan marah sama saya kalau, Bapak kenapa-kenapa." Perawat itu menatap Daren dengan wajah meringis.

"Nyonya?"

"Nyonya Alexandra."

"Dimana Dia?"

"Nyonya masih di kantor, Pak. Sebentar lagi datang," jawab perawat sembari mencatat hasil visitnya pagi ini mengenai keadaan sang pasien.

Pintu terbuka, menampakkan sosok wanita berwajah campuran dengan rambut tembaga. Melangkah dengan tenang mendekati dua orang yang memandang ke arahnya.

Daren mendongak pada wanita yang berdiri di hadapannya dengan tatapan yang entahlah? Ia bisa melihat keangkuhan meliputi wajah itu. Kini hanya tinggal mereka berdua setelah sang perawat undur diri.

"Bagaimana keadaan kamu?" Dera masih berdiri dengan tangan terlipat. Menelisik wajah di depannya yang sempat tak berbentuk karena ulahnya.

"Menerutmu?" ketus Daren.

Dera menghela napas, duduk pada kursi yang disediakan. "Motormu sudah ku kembalikan ke tempat kerja, dan kamu tidak bekerja lagi di tempat itu," jelasnya dengan tenang. Sementara pria di depannya sudah menegang.

"Kamu tidak perlu khawatir, setelah sehat kamu akan bekerja di perusahaan saya," lanjutnya menatap arloji di pergelangan, dia punya waktu 15 menit lagi.

"Perusahaan?"

"Alexandra company."

Daren mengernyit. Mengingat nama itu dan__

"Aku tidak akan pernah bekerja di tempat sialan itu," umpatnya dengan rahang mengeras.

"Tampat sialan seperti apa maksudmu?" tekan Dera merasa mendidih sekarang. Perusahaan itu milik keluarganya, diberikan oleh sang ayah sebelum meninggalkannya pergi. Itu harta satu-satunya.

"Apa kamu tidak tahu? Apa yang dilakukan karyawan di sana?" Daren berdecih, kemudian menggeleng ngeri mengingat kejadian kemarin.

"Maafkan kelakuan karyawanku." Dera berdiri, "dan bukankah kamu ingin memberikan paket itu langsung ke padaku?"

Daren mengernyit, maaf otaknya masih terlalu sakit untuk berpikir.

"Aku Dera, Dera alexandra."

Dan saat ini kepala Daren sekali lagi seperti sedang ditimpuk oleh balok keras. "Kamu?" Pria itu memegang kepalanya.

Dera tak mengatakan apa-apa. Hanya mengangguk sekilas.

"Dan kamu yang?"

Sekali lagi Dera mengangguk.

Daren megepalkan kedua tangan. Jadi dia perempuan iblis yang membuatnya hampir mati? "Brengsek," desisnya ingin meninju sesuatu.

"Iya, saya memang brengsek. Tapi saya melakukan itu untuk melindungi perusahaan saya."

"Dengan cara membunuh orang lain?" Daren kini menatap dengan sinis.

"Kamu belum mati," sanggah Dera bersiap membalik badan. Dia benci drama seperti ini.

"Apa kamu tidak punya hati?" Daren telah menangkap pergelangan tangan wanita itu, iris pekatnya menghunus menatap Dera.

"Hatiku sudah lama mati." Dan Dera menepis tangan Daren dengan kasar. Berjalan meninggalkan pria itu dengan langkah anggun yang tergesa.

Daren terhempas ke tempat tidur. Kepalanya sakit.

***

Sudah pukul 11 malam, setelah merapikan berkas Dera meraih tas untuk mengambil ponsel. Iya, setelah kejadian di parkiran waktu itu dia memegang sendiri ponselnya. Takut terjadi apa-apa pada pria itu. Mau tidak mau ia harus bertanggung jawab.

Dera mendial nomor telpon rumah, dua kali sambungan dan tepon di angkat. "Hallo ... bagaimana keadaan Bapak?" tanyanya mengapit ponsel dengan bahu. Ia masih sibuk berbenah.

Tak ada jawaban. Hanya suara helaan napas di seberang sana dan Dera tahu siapa lawan bicaranya.

"Apa kamu sudah makan?" Percayalah, dia butuh menekan debaran dada saat mengucapkan itu.

"Apa kamu perduli?" Suara itu terdengar berat dan ... menusuk.

Dera menelan ludah. "Dengar, aku tidak sengaja melakukan itu. Aku hanya__"

"Hallo!"

Sambungan diputuskan secara sepihak. Baiklah dia akan menjadi gila sebentar lagi. Urusan kantor yang menumpuk, sekarang ditambah ulah pria konyol yang sok membuatnya paling berdosa.

Wanita berambut tembaga itu bangkit dari kursi, mematikan komputer dan bergegas keluar. Iya, dia harus lembur lagi hari ini.

Dera berlari menuju tempat parkir dengan sedikit tergesa-gesa. Otaknya sudah berjalan kemana-mana mendengar desisan pria itu yang seakan ingin menelannya.

Menyalakan mesin mobil dia menjalankan kereta besi itu dengan kecepatan tinggi. Sukurlah pada jam larut seperti ini jalanan sedikit lengang.

Tiga puluh menit dan Dera telah parkir di garasi rumah. Berjalan tergesa menaiki teras rumah dan menerobos masuk. Keadaan rumah sudah sepi, perawat yang ia sewa sepertinya sudah pulang begitu juga dengan ART yang hanya tinggal di siang hari.

Dera meletakkan tas di meja makan, kemudian berlari menaiki tangga. Dadanya sudah berdentum tak karuan, jangan sampai pria itu pergi dan__

"Ah!" Dera terhuyung ke belakang. Sesaat dia mengusap kening dan menengok benda yang ditabraknya.

Sosok berbadan tegap berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celana. Menatap dengan wajah dingin, dan netra yang menusuk.

"Kamu bangun?" Menekan kegugupan, Dera  berharap semoga pria itu tak menghajarnya.

Daren tak menjawab, pria itu melengos menuruni tangga. Seolah tak ada siapapun di depannya.

"Kamu mau kemana?" tanya Dera mengikuti, "dengar, aku melakukan itu karena aku berpikir kamu pencuri, jadi aku hanya ingin melindungi diriku. Dan jangan berpikir untuk melapor polisi atau aku akan__"

Dera hampir terjengkang ke belakang ketika secara mendadak Daren membalik badan. Namun beruntung, beruntunglah pria itu dengan sigap menarik pinggangnya. Membawanya pada pelukan dadakan yang kini membuat keduanya membeku.

Daren terpejam saat merasakan hembusan napas Dera menerpa ujung telinganya. Keduanya terpejam, seakan menikmati degupan jantung masing-masing yang berdetak abnormal.

Cukup lama, hingga salah satu mengeluarkan suara. "Tidak semua masalah bisa di selsaikan dengan emosi," ujar Daren. Jujur, dia sedikit kesulitan mengatur napas menghirup aroma rasberry dari rambut Dera.

Dera mengangguk. Iya, dia membenarkan perkataan Daren. Dan entah kenapa dia masih betah berada pada lingkupan pria itu.

"Aku tidak akan mempermalukan diriku di hadapan orang lain karena kalah dengan seorang wanita." Kalimat itu, dibisikan tepat di belakang telinga Dera. Membuat wanita itu terkesiap sebelum kegilaan meliputinya. Dia bahkan bisa merasakan ujung bibir Deren mengenai daun telinganya.

"Ba -- baguslah. Setidaknya kamu harus berterimakasih juga atas konpensasi yang ku berikan kepadamu. Memasuki Alexandra tanpa tes apapun." Ia yakin, jika wajahnya kini semerah kepiting. Dasar pria gila!

Daren menyeringai. Ia tahu bagaimana sulitnya memasuki perusahaan raksasa itu. Namun sebanding dengan apa yang akan didapatkan jika ia berhasil berada di dalamnya.

Sejenak, ingatan tentang pembicaraannya dengan sang kekasih terngiang. Kemarin, wanita itu menangis, mengatakan jika ia akan dinikahkan dengan pria lain jika Daren tak kembali dalam waktu cepat dan melamarnya.

"Aku ingin sebuah kesepakatan." Tiba-tiba Dera mengeluarkan dua lembar kertas dengan dua materai tertempel dari dalam tasnya. "Itu surat perjanjian, kamu akan bekerja di Alexandra dengan catatan kamu tidak akan membawa masalah kemarin ke ranah hukum."

Daren mengangguk. Ini keuntungan bukan? Tak mengapalah jika ia harus babak belur, tapi kini berhasil meraih salah satu mimpinya. Tidak, dia tidak licik, hanya sedang beruntung saja.

"Sebenarnya aku bisa saja menyumpal mulutmu tanpa melakukan ini. Tanpa mengotori Alexandra untuk menampung orang sepertimu."

Daren berdecih. Sombong!

"Tapi aku sedang tidak ingin melenyapkan seseorang," seru Dera dengan senyum meremehkan. "Jadi mari selsaikan ini dengan cepat." Sebuah pen berwarna gold tergeletak di atas meja.

Jika bukan karena Audra dia tidak akan sudi bekerja di bawah perintah iblis perempuan ini.

Meraih polpen, sebuah tanda tangan Daren bubuhkan di atas materai. Kemudian di tandatangani juga oleh Dera. Mereka sepakat.

"Jika kamu melanggar, maka jangan berpikir untuk hidup lebih lama." Satu kalimat yang menjadi penutup obrolan mereka. Dera beranjak menaiki tangga dan menghilang pada kelokan ke dua.

"Iblis!" Daren mengumpat dengan tatapan misterius.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status