Share

Hari pertama

Pagi sekali, Daren sudah bersiap dengan baju kerjanya. Kemeja biru langit, celana hitam dan dasi berwarna biru tua dengan aksen garis-garis putih. Berwibawa dan tampan tentu saja.

Dera menghela napas, pria di hadapannya memang bukanlah pria sembarangan. Lihatlah wajah berahang tegas itu, badan tinggi tegap dengan dada yang terlihat bidang. Dera menggaruk pelipis, sedikit canggung dengan mahluk di depannya. Masih ingatkah adegan pelukan mereka dua malam lalu?

"Bagaimana? Aku tidak membuatmu malu bukan?" Daren memasukan kedua tangan ke saku celana. Wajah klimisnya menampakan kesan dingin, yang entah kenapa Dera sukai.

Dera berdehem, mengangguk singkat lalu beralih pada dua lembar roti gandum yang sedang diolesi coklat. Jangan tanya fokusnya sekarang, sudah buyar. Namun demi harga diri yang dijunjung tinggi, dia sekuat hati bersikap tak perduli.

Daren menarik kursi, tas kerja slempangnya ia letakkan di atas meja. Hari ini ia memakai baju kerja mrek terkenal yang dibelikan Dera. Wanita itu terlalu protektif untuk urusan penampilan. Dan dia tidak mau orang yang direkomendasikan justru tak sedap dipandang mata.

"Apa tugasku di kantor?" Daren mengikuti kegiatan Dera. Mengolesi roti dengan coklat kemudian mengunyanhnya dengan mulut menggembung.

Dasar anak kampung! Batin Dera.

"Marketing," jawab Dera seadanya, kini tatapannya fokus pada layar pipih yang sedang menyala. Berbalas chat dengan Reno adalah salah satu cara untuk mengalihkan perhatian dari pria tak biasa di sampingnya.

"Sales marketing?" Daren memastikan.

"Lebih tepatnya staf." Dera meneguk jus tomatnya. "Aku sudah lihat CV kamu dan ku rasa kamu cocok. " Mengusap bibir dengan tisu, ia berdiri merapikan penampilannya kembali.

"Apa kita akan berangkat bersama?" tanya Daren menyudahi sarapan ala orang kayannya. Ingatkan dia jika sedang menumpang.

Dera mengernyit, kemudian tersenyum kecut. "Kamu pikir siapa mau semobil denganku?" Wanita itu bersedekap. "Apa perlu ku ingatkan jika kamu di sini hanya menumpang?" Kadang perkataannya memang terlalu tajam sebagai seorang perempuan.

"Dan apa perlu ku ingatkan jika di sini aku sudah menjadi korban dan bisa melaporkan?" Timpal Daren dengan gaya yang ... ya sudahlah, Dera ingin menendang tulang keringnya.

"Kita tidak akan satu mobil. Aku sudah pesankan kamu taksi online." Dera melangkah pergi, dan berbalik setelah beberapa saat. "Dan ingat, jangan pernah sok akrab denganku di kantor!" peringatnya dengan tatapan sinis, dan melanjutkan perjalanan ke luar rumah.

Sementara Daren? Pria itu hanya mendengkus kasar. Jika bukan karena Audra dia tidak akan ada di sini, melihat wanita mirip penyihir yang sok berkuasa itu.

Memakai tas kerja, Daren melangkah keluar, bertemu dengan pak Dahlan yang tersenyum kepadanya. Hanya pria itu yang bisa diajak ngobrol di rumah ini, selebihnya Dera hanya akan ada saat jam tidur telah tiba. Entah seperti apa pekerjaannya sebagai bos? Daren kadang bingung melihatnya yang terlalu sering pulang pergi malam, seperti kelelawar.

"Mas mau berangkat kerja?" tanya pak Dahlan ramah. Dia sedang menggunting bonsai agar menjadi teratur.

"Iya, Pak. Nunggu taksi," jawab Daren sembari melihat arloji. Dia mengambil duduk pada kursi kayu di teras. Kadang Daren tak habis pikir, kenapa wanita semuda Dera bisa tinggal sendiri di rumah sebesar ini? Orang tuanya memang tidak hawatir melepas anak gadis mereka?

"Kenapa nggak barengan sama nyonya tadi?" tanya Pak Dahlan tampak bingung. Kemudian melongo ketika mendengar jawaban Daren.

"Katanya saya nggak pantes satu mobil sama dia. Dasar perempuan sombong! Pantas saja tidak ada pria yang menyukainya!"

****

Kornea yang tertutup lensa itu mengernyit melihat laporan di computer. Sudah beberapa kali dia mencoba mengusahakan semuanya, tapi masih saja belum menunjukan perbaikan yang signifikan.

"Bu, bukankah hari ini ada pengenalan karyawan baru?" Teguran itu berasal dari Deby, wanita berjilbab itu datang bersama secangkir kopi.

"Suruh saja Priatno yang mengatur, kamu tidak lihat saya sedang sibuk!" ketus Dera memijit pelipis menatap layar computer yang ingin membuatnya muntah.

Deby menghela napas. "Aku pikir dia tidak akan selamat, tapi ternyata dia memiliki seribu nyawa." Wanita itu menggeleng antara takjub dan miris.

"Bisakah kamu tidak membahas dia di depan saya?" Dera menggerakkan mouse. Menutup file dokumen.

"Kenapa, Bu? Bukankah kalian tinggal bersama?"  selidik Deby dengan wajah keponya.

Dera mengeram. Salahkan dia karena telah membiarkan dirinya terlalu akrab dengan gadis ini. "Jika sampai hal itu bocor di antara karyawan, kamu orang pertama yang akan saya depak dari kantor ini." Ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi sembari menyeruput kopi.

"Tidak akan, Bu." Deby bergaya seakan mengunci mulutnya. "Tapi bagaimana jika pak Reno tahu? Apa, Ibu tidak takut?"

Dera meletakkan kopinya kembali. "Tentu saja takut, kamu pikir apa yang akan terjadi jika Reno tahu saya tinggal bersama seorang pria disaat dia tidak di rumah?"

"Lalu apa yang akan, Ibu lakukan pada pria itu?" Deby kini sudah duduk pada kursi di hadapan meja sang bos.

"Untuk sementara waktu dia akan tetap tinggal di rumah saya. Pak Reno tidak tahu  saya punya rumah pribadi. Jadi ... selama kamu diam maka kita aman." Dera menghela napas. " Saya juga sudah merasa bosan sering ditinggal sendiri selama ini."

"Berarti dia berguna juga dong?"

Dera mengernyit. Maksudnya?

"Setidaknya dia bisa menemani, Bu bos waktu pak Reno nggak ada. Daripada, Bu bos keluar malem sendirian mending di rumah ngobrol sama manusia itu, kan lumayan." Deby mengahiri perkataannya dengan cekikikan. Sementara Dera tiba-tiba merasa wajahnya panas mengingat apa yang pernah mereka lakukan. Ah! Tapi bukankah itu tidak sengaja?

"Apa kamu pikir saya perempuan murahan Deby?" Dera menatap dengan horor. "Kami tidak sebanding. Dan aku juga tidak berminat." Ia menggidikan bahu acuh.

"Benarkah?" Deby menampakkan espresi tak percaya. "Sepenglihatanku dia ... siapa namanya?"

"Daren."

"Iya Daren. Tsk! Nama yang cocok." Dia mendesis takjub. "Sepenglihatanku dia tidak buruk, bahkan lebih dari lumayan. Yah ... beda tipislah sama pak Reno."

"Reno yang terbaik," sela Dera dengan tegas, tapi mendapat gelengan dari Deby.

"Itu karena pak Reno beruntung terlahir dari keluarga yang berada, sementara Daren ku dengar dia hanya lulusan S1? Tapi bukankah dia cumlaude? Jadi besar kemungkinan otaknya juga tidak beda jauh dengan pak Reno."

"Apakah kamu akan terus memujinya Deby?"

"Dia memang layak dapat pujian." Deby berujar dengan santai.

"Kamu menyukainya?" tanya Dera dengan tatapan yang ... entahlah?

"Bu Bos cemburu?" tuding Deby dengan tersenyum jahil.

"Jangan gila kamu! Apa kamu pikir aku tipe perempuan yang suka selingkuh?" Dera menggeleng ironi.

"Tapi, Bu bos pernah di selingkuhi bukan?"

Hening.

Bagaikan cambukan petir yang menggelegar di langit sore. Dera membeku dalam waktu yang cukup lama. Sementara Deby sudah menghilang dengan nampan di tangannya. Dera tahu, sekertarisnya hanya bercanda, tapi mengapa candaan itu tidak lucu sekali? Dan kenapa harus mengenai hal itu?

Satu bulir bening menetes tanpa komando. Mendung di hatinya meluruh dengan cepat, membuatnya mengepalkan tangan erat-erat dan memejamkan mata untuk menenangkan gejolak di dada.

Tuhan! Kenapa sulit sekali hanya ingin melupakan? Kenapa melupakan tak sesederhana yang pernah dia ucapkan? Mengapa begitu sakit Tuhan?

Dia milikku, apakah kamu tidak tahu malu?

Dia yang merayuku, bukan aku yang memintanya datang, tapi dia datang sendiri.

Lamat, terdengar isakan yang kian lama menjadi tangis dan mengguncang tubuh sintalnya.

"Sepertinya ada seseorang yang butuh bahu untuk bersandar?"

Dera mendongak, menatap datar pada mahluk yang berjalan ke arahnya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status