Share

Keberanian Aura

"Aaaaa…" 

Suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga membuat Cakra mengerjap. Namun, saat kesadarannya belum sepenuhnya pulih, sebuah tendangan keras membuat tubuhnya terguling. Dia melompat bangun ketika hampir menyentuh lantai. Berdiri dalam posisi kuda-kuda, Cakra meletakkan tangan kanan di atas cincin bermata merah yang terpasang di jari tengah tangan kiri. Dia sudah bersiap-siap untuk mengeluarkan tongkat sihir.

"Aden kenapa bisa tidur di ranjang saya? Jangan-jangan Aden mengambil kesempatan dalam kesempitan? Aden ngapain saya semalam?"

Guling bermotif polkadot biru menghantam wajah Cakra, menyadarkannya akan sesuatu. Dia menarik tangan kanan kemudian berdiri tegak. Untungnya belum sampai mengatakan mantra untuk mengeluarkan tongkat sihir. Kalau itu sampai terjadi, pasti gadis itu akan makin histeris karena mendapati ada seorang penyihir di depannya.

Cakra menunduk untuk memungut guling yang terjatuh di dekat kakinya. Dia kemudian melangkah menuju ke ranjang, yang otomatis membuat Aura kembali berteriak. 

Gadis itu pun menarik selimut hingga menutupi leher, lalu beringsut mundur hingga menabrak dinding. Kepala geleng-geleng dengan wajah ketakutan.

"Saya hanya mau naruh guling saja," ucap Cakra yang kemudian mengangkat kedua tangan, setelah guling tergeletak di ranjang. 

Dia lalu mundur perlahan-lahan. Ketika sudah cukup jauh, Cakra berhenti. Tatapan matanya tertuju pada Aura yang masih memegang selimut erat-erat.

"Aden masih belum jawab pertanyaan saya!" Aura dengan cepat meraih guling dan bersiap untuk melempar lagi.

"Tenang dulu," pinta Cakra, tangan diturunkan perlahan-lahan.

"Aden nggak ngapa-ngapain saya, kan? Jawab, Den! Jangan seperti pengecut yang melarikan diri!" desak Aura yang sudah setengah terisak.

Belum juga Cakra menjawab, mata Aura sudah kembali melebar dengan bibir yang bergetar. Gadis itu menatapnya dengan pandangan horor.

"Apa memang itu yang akan dilakukan Aden? Meninggalkan saya ketika masih tidur, jadi Aden tidak didesak untuk bertanggung jawab!" Aura menyuarakan kecurigaannya.

"Jangan berpikir terlalu jauh. Saya nggak ngapa-ngapain kamu. Tenang saja. Semalam, saat hujan lebat, saya dengar ada suara tangisan. Suara itu berasal dari kamar ini. Karena takut kamu kenapa-kenapa, saya langsung lari masuk ke dalam." Suara Cakra lembut, tapi tanpa keraguan. 

"Terus?" tagih Aura yang sudah menurunkan guling. Sikapnya sudah lebih tenang.

"Saya lihat kamu jongkok di pojokan sambil merengek minta ditemanin. Saya menduga kalau kamu takut dengan petir. Itu sebabnya kamu tidak mau ditinggal." Dahi Cakra berkerut sejenak.

"Sebenarnya kedua orang tua saya meninggal dalam kecelakaan mobil, saat itu hujan petir. Hanya saya yang selamat, padahal mobil sudah ringsek menabrak pohon. Saya tidak ingat apa yang menyebabkan mobil keluar dari jalur. Saya terus menerus memanggil mereka, tapi tidak ada yang menjawab." Aura bergidik ketika bercerita.

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya orangtuamu," ucap Cakra dengan tulus.

"Kejadiannya sudah sangat lama. Kira-kira ketika saya berusia lima tahun." Mata Aura menerawang ke arah langit-langit.

"Pantas kamu sampai mengigil ketakutan. Jadi, saat itu saya menemani jongkok di pojok kamar. Berhubung kamu terlihat kelelahan, jadi saya bopong naik ke ranjang. Tapi kamu tidak mau melepaskan tangan saya. Hingga akhirnya saya tertidur di ranjang. Itulah yang terjadi di antara kita tadi malam," tutur Cakra.

Pipi Aura sewarna sakura saat mendengar penjelasan Cakra. "Maaf, Den. Saya sudah nuduh Aden yang bukan-bukan. Padahal Aden sudah menolong saya."

"Sebaiknya kamu bersiap-siap, sebentar lagi klien pertama akan datang," ucap Cakra sebelum meninggalkan kamar asistennya itu. 

Satu jam kemudian, Cakra sudah turun dan bergabung dengan Aura di meja makan. Pandangannya tertuju pada tablet yang sedang membuka aplikasi buatannya. Dia mengaktifkan salah satu smartwatch pelacak sebelum diberikan pada klien pertamanya. 

"Den, dimakan dulu," ucap Aura yang menyodorkan sepiring nasi beserta dengan sayur dan kelengkapannya.

Namun, Cakra masih terlalu fokus dengan pekerjaan hingga tidak mendengar perkataan Aura. Meskipun Aura sudah mengulangi hingga tiga kali, tapi Cakra masih tidak mendengar. 

"Aden kalau baru asik gitu, pasti lupa semuanya. Coba saja disuapi, biar ada makanan yang masuk," saran Mbok Minah setelah meletakkan cangkir di depan majikannya. 

Dahi Aura berkerut saat melihat Cakra yang bahkan tidak terpengaruh oleh bau harum kopi. Karena penasaran, Aura berjalan memutari meja agar bisa memperhatikan dari dekat. 

Dinginnya sendok yang menempel di bibir Cakra, membuat pria itu membuka mulut. Namun, matanya masih tidak lepas dari halaman sosial media milik klien. Dia memperhatikan tiap foto yang dipajang, siapa tahu bisa melihat ujung benang merah milik Hans-kliennya.

Setelah beberapa suap, sekarang gantian cangkir yang menempel di bibir Cakra. Namun, belum sempat dirinya membuka mulut, cairan kopi panas sudah meluncur turun hingga mengenai kemeja putih yang dipakai. Suara kaki kursi beradu dengan lantai mengiringi gerakan Cakra yang tiba-tiba berdiri. Rasa panas menyengat menyentuh kulit.

Cakra mengernyit saat melihat ke arah Aura, hampir saja tertawa ketika melihat mata gadis itu membelalak dengan mulut yang membuka lebar. Kenapa gadis ini begitu menggemaskan dalam kondisi terkejut seperti ini?

"Maaf, Den, maaf." Aura meletakkan cangkir kemudian menarik beberapa lembar tisu. Gadis itu mendekat untuk mengusap kemeja Cakra.

Namun, pria itu menghentikan gerakan Aura dengan isyarat telapak tangan yang membuka. Cakra kemudian merebut tisu dari tangan Aura dan mengembalikan tisu itu ke tempat semula. 

"Biasanya saya ahli menyuapi nenek. Beliau bisa bekerja sama dengan baik dan tidak sampai berceceran makanannya."

Ucapan Aura membuat Cakra menjadi gusar. Dia menelengkan kepala sebelum berkata, "Kamu pikir saya sudah pikun hingga tidak bisa makan dengan benar? Harus disuapi seperti orang tua? Atau jangan-jangan kamu masih menganggap saya anak kecil yang harus diasuh?"

"Bukan itu begitu, Den. Saya hanya khawatir kalau Aden meninggalkan meja makan tanpa menyentuh makanan, merasa lapar tanpa tahu kalau memang belum makan."

Cakra mengacungkan jari telunjuk untuk menghentikan Aura yang berniat menghampiri. "Saya akan ganti baju dulu. Lebih baik kamu juga berganti pakaian yang lebih formal."

Cakra melangkahkan kaki panjang-panjang, bahkan menaiki dua anak tangga sekaligus. Ini karena dia tidak mau terlambat dalam pertemuan dengan klien.

Cakra sudah sampai di depan kamar, tangannya sudah  bergerak untuk membuka pintu. Namun, tubuhnya didorong dari belakang hingga masuk ke dalam. Terdengar suara pintu menutup.

"Aura? Apa-apaan ini?" tegur Cakra ketika memutar tubuh dan mendapati gadis itu sudah berdiri di depannya.

"Maaf, Den. Saya hanya mau bertanggung jawab atas perbuatan saya." 

Cakra tidak sempat mengelak ketika tangan lentik Aura meraih kancing kemeja paling atas. Pria itu tertegun dengan keberanian gadis ini membuka satu persatu kancingnya.

Jari-jari Aura menyentuh kulit Cakra, hingga menimbulkan perasaan berbeda. Mata Cakra menggelap saat pengendalian dirinya teruji.

Hawa dingin menyengat kulit Cakra, ketika kemeja putih itu dicampakkan ke lantai. Pria itu menelan ludah saat Aura mendongak. Pandangan mereka bertemu dan terkunci.

Netra sewarna arang milik Aura membuat benak Cakra tidak memikirkan hal lain, selain merengkuh gadis itu mendekat. Lalu menyatukan bibir mereka. Dia penasaran dengan rasa Aura, semanis madu atau selembut sutra?

Aura mengigit bibir bawah, yang Cakra baca sebagai undangan. Perlahan-lahan dia memangkas jarak di antara mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status