공유

Kost Baru Tetangga Baru

Cowok yang baru saja Rianza temui adalah orang yang sempat dia kagumi. Siapa yang sanggup menolak pesona dari Kalan. Sayangnya, Rianza tidak seperti cewek lainnya yang bisa begitu saja mengungkapkan perasaannya pada orang lain. Dia terkenal pendiam dan tidak memiliki teman di kampus. Itu bukan karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Hanya saja belum ada orang yang cocok dengannya. Padahal sebenarnya berteman dengan Rianza juga tidak ribet. Dia hanya tidak suka dengan orang bermuka dua dan tentunya dia tidak suka bergosip. Itulah yang membuat orang-orang berpikir bahwa berteman dengan Rianza akan membosankan. Namun, tidak adanya teman membuatnya menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada lingkungan pertemanannya.

Gadis berambut merah muda itu bergegas membawa naskah proposal skripsinya menuju ruang Pak Ardi di lantai empat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga, jadwal bimbingannya akan segera dimulai. Setelah sampai di depan ruang dosen tersebut, Rianza mengetuk pintu beberapa kali.

“Masuk,” terdengar seruan dari dalam ruangan.

Perlahan gadis itu mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan. Ruang dosen yang tidak terlalu besar itu terlihat lebih rapi dari sebelumnya. Rak buku dan dokumen lebih tersusun dengan baik daripada terakhir kali gadis itu mengunjungi ruangan tersebut. Pak Ardi sibuk dengan komputernya ketika Rianza masuk dan duduk di kursi.

“Pak, ini naskah proposal saya, Pak.” Rianza menyodorkan bundelan kertas yang sedari tadi dipengangnya.

Pak Ardi tidak langsung mengambil naskah tersebut. Dia menoleh pada gadis berambut merah muda itu dengan dahi berkerut. “Kamu tidak baca pesan saya?”

Sekarang giliran Rianza yang mengernyitkan dahi, “Pesan apa, ya, Pak?”

“Saya ada janji mendadak sekarang dengan salah satu dosen. Jadi saya kirim kamu pesan untuk mengundur jadwal bimbingan kamu.”

Rianza membelalakkan matanya, “Dibatalin, Pak?”

Pak Ardi mengangguk, “Saya sudah mengirim kamu pesan beberapa menit lalu. Maaf, ya. Tapi pertemuan ini tidak bisa ditunda, sedangkan bimbingan kamu bisa kita jadwalkan ulang.”

Rianza menghela napas panjang. Kecewa. Dia sudah menghabiskan waktu, tenaga serta uang hanya untuk mengambil naskah proposal skripsinya itu. Semuanya sudah dia lakukan agar dapat melakukan bimbingan secepatnya. Meski baru mulai mengerjakannya, Rianza memiliki tekad untuk menyelesaikan tepat waktu. Dia tidak ingin menunda-nunda dan menjadikan skripsi sebagai beban jangka panjangnya. Dia ingin cepat wisuda agar tidak menjadi beban keluarganya lagi.

“Pak, tapi saja udah jemput naskahnya ke rumah bapak,” kata Rianza putus asa.

“Saya juga tidak bisa menunda pertemuan ini, Rianza. Saya harap kamu mengerti. Untuk sekarang kamu pelajari catatan yang saya berikan dan kumpulkan pertanyaan kamu untuk konsultasi selanjutnya. Saya akan menghubungi kamu jika jadwal bimbingan sudah saya bikin ulang.”

“Apa tidak bisa sebentar saja, Pak?”

“Maaf, Rianza. Tapi saya juga harus menyiapkan beberapa hal untuk pertemuan ini. Kamu sudah dapat keluar, ya,” usir Pak Ardi secara halus.

Sekali lagi, Rianza menghela napasnya sebelum bangkit dari kursi tersebut. Dengan wajah kuyu dan langkah gontai, dia berjalan keluar dari ruangan dosen tersebut. Tenaganya sudah terkuras habis karena kecewa dengan sang dosen. Dengan langkah lesu, Rianza menuju parkiran sepeda dan memesan ojek online.

***

Pindahnya Rianza dari kost lama merupakan satu langkah yang baik baginya. Kostnya yang lama cukup jauh dari kampus dan tentunya lebih mahal karena memiliki banyak fasilitas mewah. Demi menghemat pengeluaran, Rianza pindah ke kost yang lebih murah, dan tentunya tidak jauh dari kampus. Dia mendapat sebuah kamar dengan ukuran kecil di lantai dua sebuah bangunan kostan. Meski lebih murah, fasilitas di kost tersebut juga cukup lengkap. Ada kamar mandi pribadi, dapur bersama, ruang tengah bersama dan yang paling menarik adalah rooftop yang memiliki pemandangan sore yang indah.

“Kamu penghuni baru, ya?” sapa seorang perempuan ketika Rianza berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Rianza menghentikan langkahnya, lantas menoleh pada sumber suara, “Iya, Mbak. Saya Rianza.”

“Aku Gina. Nggak usah kaku, ya. Kamu kamar nomor berapa?”

“Lima, Mbak.”

“Oh, aku nomor satu. Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan jangan sungkan-sungkan buat minta bantuan sama anak kost sini. Pada baik semua kok.”

Rianza tersenyum, “Makasih, Mbak.”

“Oh iya, berarti kamu masuknya bareng sama yang ngekost di kamar nomor enam. Dia baru aja pindahan barusan. Cowok. Cakep banget,” kata Gina sambil terkekeh.

Kost baru Rianza memang bukan kost khusus putri, melainkan kost campuran.

“Oh iya, Mbak?” tanya Rianza basa-basi.

Gina mengangguk, “Nanti kamu kenalan aja sama dia. Eh, aku sekalian minta nomor kamu dong. Biar dimasukin ke grup W******p kost.”

Gina langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Setelah Rianza menyebutkan nomor ponselnya, Gina langsung menyimpan nomor tersebut, “Jangan lupa kenalan sama yang lain, ya.”

“Oke, Mbak. Saya pamit mau ke kamar dulu, ya.”

Gina menangguk, “Iya, silakan.”

Rianza melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. Di ujung tangga lantai dua, dia menemukan sesosok yang tidak asing. Orang yang baru saja dijumpainya siang tadi. Cowok tampan penuh pesona itu sedang sibuk mengangkat kardus besar ke dalam sebuah kamar. Kamar yang persis berada di sebelah kamarnya.

“Kalan?” panggil Rianza sedikit ragu. Dia berjalan menuju cowok tersebut.

Kalan, cowok yang dari tadi sibuk dengan kardus yang berisi barangnya berhenti mendadak. Dia menoleh pada sumber suara. “Gulali?” katanya.

“Hah?” Gulali? Rianza tidak mengerti.

“Lo gulali yang tadi ke rumah gue, ‘kan?” tanya Kalan lagi.

Rianza mengernyitkan dahinya, “Gue Rianza, bukan gulali.”

Mendengar itu Rianza langsung paham. Rambut merah mudanya memang sekilas mirip dengan gulali, beberapa orang juga mengatakan hal yang sama.

“Iya, lo Rianza yang punya rambut kayak gulali. Lo udah tahu nama gue?”

Rianza mendengus, “Gue udah tahu nama lo dari awal. Kita pernah sekelas.”

“Oke. Lo ngapain di sini?” tanya Kalan.

“Ini kamar gue,” jawab Rianza sambil menunjuk kamar nomor lima.

“Lo ngekost di sini?” Kalan bertanya dengan nada tidak percaya.

Rianza mengangguk, “Lo juga? Kenapa ngekost? Rumah lo kan nggak jauh dari kampus. Lebih luas juga.”

Kalan mendengus, “Siapa lo ngatur-ngatur gue?” tanyanya ketus. “bukan urusan lo kali.”

“Gue kan cuma nanya,” kata Rianza lirih.

“Lo beda banget, ya? Kayaknya di kampus lo orangnya pendiam banget. Ternyata setelah kenal, lo bawel juga.”

Rianza mendengus. Tanpa peduli dengan omongan Kalan, gadis berambut gulali itu masuk ke dalam kamarnya. Masih ada beberapa barang yang perlu ditata sebelum dia dapat beristirahat dan mempelajari catatan dari Pak Ardi.

“Gulali,” panggil Kalan sembari mengetuk pintu kamar Rianza.

“Apa?” pekik Rianza tanpa perlu repot membuka pintu untuk laki-laki itu.

“KTM lo masih di gue.”

“Balikin,” ucap Rianza yang langsung membuka pintu kamarnya.

Kalan berdiri tepat di depan pintunya, “Ada syarat tambahan.”

“Apa?”

“Mulai hari ini, lo jadi pacar gue. Nggak ada penolakan.”

***

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status