Share

Kalan, Si Anak Dosen

“Mau ke mana?” Kalan bertanya ketika dia melihat Rianza melintas di dapur bersama kost. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana denim panjang. terlihat sangat rapi jika hanya untuk diam di kamar.

“Mau bimbingan. Lo nggak kuliah?” tanya cewek itu. Dia melangkah ke arah dispenser dan mengisi botol minum yang sudah dibawanya sejak tadi.

“Jadwal gue cuma hari Selasa,” katanya, “nggak sarapan?”

Rianza menggeleng, “Brunch aja ntar di kantin kampus,” katanya sembari mengisi botol.

Kalan menganggukkan kepala, “Selesai jam berapa?”

Rianza mengangkat bahunya. Iya, dia memang tidak tahu akan selesai bimbingan jam berapa. Lamanya bimbingan tergantung pada berapa banyak revisi dan petuah dari sang dosen. Dan Rianza tidak tahu berapa banyak revisinya kali ini.

“Gue tanya tuh dijawab,” kata Kalan dengan nada tegas sedikit kesal.

Rianza tersentak. Cowok yang dari tadi duduk dan menikmati sarapannya itu berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat ke arah Rianza. Tangannya menggengam pergelangan tangan cewek itu. Tatapan mata Kalan membuat Rianza bergidik ngeri. Tajam dan menusuk.

“Gue nggak suka nggak diabaiin. Jadi, kalau gue tanya tuh dijawab, Za,” ujar kalan penuh penekanan.

Rianza tergagap, “Tadi gue udah angkat bahu. Gue nggak tahu kelar jam berapa,” cicitnya.

“Gue nggak suka dicuekin,” ujar cowok itu lagi.

Tidak ada yang bisa dilakukan Rianza selain menganggukkan kepala. Takut. Cekalan tangan itu semakin menguat dan mulai terasa sakit. “Lan, sakit,” ucap gadis itu.

“Janji sama gue untuk selalu jawab kalau gue tanya, sautin kalau gue ngomong,” ujar Kalan tanpa melepaskan cekalannya.

Rianza langsung mengangguk tanpa ragu. Dia tidak ingin berlama-lama berada dalam posisi seperti itu dengan cowok semengerikan Kalan. Rianza bahkan tidak sempat untuk mengagumi wajah indah laki-laki itu. Kalan pagi ini tampak menyeramkan dengan auranya. Moodnya sedang tidak baik.

“Lo ke kampus naik apa?” Kalan bertanya setelah cekalan itu terlepas.

“Ojek online mungkin. Takut telat.”

“Gue antar aja,” ucap Kalan yang langsung berjalan ke arah kamarnya.

Rianza langsung mengikuti cowok itu di belakang, “Lan, nggak usah. Gue naik ojek aja. Ntar heboh kalau lo bonceng gue ke kampus.”

Ucapan itu membuat langkah Kalan terhenti di depan pintu kamarnya. “Kenapa memangnya kalau mereka heboh. Lo kan memang pacar gue.”

“Gue belum siap,” ucap Rianza.

Kalan mengernyitkan dahinya. Tidak paham dengan apa yang barusan diucapkan oleh Rianza. “Belum siap? Apanya yang belum siap? Lo belum siap pacaran sama gue?”

“Belum siap dihujat cewek sekampus,” jawab Rianza terus terang, “lo populer di kampus. Terkenal. Siapa yang nggak kenal Kalan? Siapa yang nggak mau jadi pacar Kalan? Lo bahkan mungkin udah pacaran hampir semua cewek di fakultas. Mantan lo juga banyak yang masih nggak terima lo putusin. Gue nggak mau jadi bahan bullyan mereka.”

“Lo nggak bakal dibully,” kata Kalan tegas.

Rianza menggeleng, “Lo nggak paham. Lo nggak tahu gimana bar-barnya mantan-mantan lo ke pacar baru lo sendiri. Setiap yang pacaran sama lo dibully, diancam, diteror. Gue nggak mau.”

“Ada gue,” Kalan mencoba untuk kembali meyakinkan kekasih barunya itu.

Rianza menghela napas panjang. Berdebat dengan Kalan tidak akan beres dalam waktu singkat, terlebih cowok itu sedang tidak dalam mood yang baik. Dia melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Sepuluh menit lagi jadwal bimbingannya dengan Pak Ardi dimulai dan dia bahkan belum sempat memesan ojek online.

“Gue harus berangkat bimbingan sekarang.”

Rianza membalikkan badannya. Ketika akan melangkah, tangannya langsung dicekal oleh Kalan. “Lo kenapa bebal banget sih dibilangin?”

“Gue mau bimbinga, Kalan.”

“Gue bilang bareng gue, Rianza. Lo kenapa selalu nolak apa yang gue kasih sih?” Nada suara Kalan mulai tinggi. Dia jengkel dengan tingkah Rianza yang tidak menuruti apa katanya.

“Gue cuma mau bimbingan, Lan. Kenapa panjang gini masalahnya?” ucap Rianza dengan nada suara gusar. Dia harus cepat-cepat pergi agar jadwal bimbingannya tidak ditunda.

“Kita perlu obrolin ini. Lo pacar gue. Kenapa lo nggak mau ditreat kayak cewek kebanyakan?”

“Karena gue bukan cewek kayak gitu. Gue nggak kayak mantan lo yang mau aja lo kasih apa aja. Cewek yang mau aja disuruh-suruh. Gue nggak kayak gitu. Puas lo?”

Rianza mencoba untuk melepas cekalan Kalan di lengannya. Namun, cekalan itu semakin erat. “Lepas. Gue mau ke kampus.”

“Nggak. Lo nggak boleh ke kampus. Kita harus selesaiin masalah ini.”

Kalan menarik Rianza menuju kamarnya. Lengan cewek itu rasanya mau lepas karena ditarik dengan kencang oleh Kalan.

“Nggak mau. Gue ada bimbingan,” sanggah Rianza yang masih berusaha membebaskan cekalan di tangannya itu.

“Lo bimbingan sama bokap gue, ‘kan? Biar gue yang bilangin ntar kalau mahasiswa bimbingannya masih ada urusan yang lebih penting dengan anaknya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status