Share

Istri Lima Belas Ribu
Istri Lima Belas Ribu
Author: Nay Azzikra

Penemuan Buku Rekening Gaji

“Dek, uang bulanan ada di meja rias, ya? Mas berangkat kerja dulu.”

Aku yang sedang menjemur baju sekilas menoleh, tersenyum dan mengangguk.

“Ada bonus, buat beli lipstick kamu.” Dia berkata seraya memainkan kedua alis. Kebiasaan yang ia lakukan saat sedang menggodaku.

“Jangan lupa! Beli yang warnanya merah menyala, mas suka itu.” Tambahnya lagi, saat sudah berada di atas motor.

Aku memonyongkan bibir, tanda mengejek. Ia lantas melajukan motornya perlahan menuju tempat dimana ia bekerja. Menjadi guru PNS di sebuah Sekolah Dasar. Lalu beranjak tubuh ini kubawa masuk ke dalam rumah. Langkah kaki terayun menuju kamar tidur. Kuambil amplop berisi uang bulanan dari suamiku. Lima lembar uang seratus ribuan. Aku tersenyum kecut. Mengingat permintaannya untuk membeli pewarna bibir. Memang benar ia memberiku bonus lima puluh ribu. Karena untuk sehari-harinya ia memberikanku jatah belanja limabelas ribu.  Anak kami dua. Untuk uang jajan mereka sehari-hari saja, uang dari Mas Agam tidaklah cukup.Untungnya orangtuaku memberi beberapa petak sawah untuk lahan pertanian, sehingga untuk makanan pokok, kami tak usah membelinya.

Aku tak pernah tahu, berapa gaji yang ia terima utuh sebulan. Karena setahuku ia masih memiliki cicilan dari sebelum menikah, dan setelah menikah, ia menambah utangnya lagi untuk membeli sepetak tanah, sebagai investasi katanya. Tanah tersebut, kini dikelola oleh mertuaku. Sedang uang sertifikasi yang diterima tiap triwulan sekali, kami sepakat untuk menyimpan di bank untuk jaga-jaga bila ada kebutuhan mendadak.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku yang kebetulan juga mengajar di salah satu TK milik yayasan PKK Desa, membuka kantin di sekolah, tempatku bekerja. Selain itu, di rumah aku juga membuat beraneka macam keripik. Kutitipkan ke warung-warung. Alhamdulillah, hasilnya bisa ditukar dengan keperluan dapur. Kujalani dengan penuh rasa ikhlas sekalipun berat kurasa. Karena aku percaya, suamiku telah memberikan yang terbaik untuk kami.Hanya saja, memang kemampuaanya dalam memberi nafkah hanya sebatas ini.

“Gaji mas cuma satu juta Dek, buat nabung simpanan hari raya di koperasi dua ratus. Sisanya buat ongkos Mas beli bensin ya? Makanya kamu harus nerima kalau Mas sering nginep di rumah Ibu, yang lebih dekat dengan sekolah. Untungnya Mas gak ngerokok. Mas yakin, kamu bisa mengatur keuangan kita dengan baik. ”Begitu selalu yang ia ucapkan saat aku mengeluh. Dan aku selalu percaya padanya. Karena aku yakin, ia pria yang sangat baik. Taat beribadah, serta memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Selama ini, keluarga Mas Agam menganggap aku sangat bahagia bersuamikan ia yang sudah PNS sejak sebelum menikah. Mereka mengira, kecukupan yang aku dapatkan semua berasal dari gaji yang ia berikan. Aku tak pernah menjelaskan apapun pada mereka. Karena kewajiban seorang istri adalah menjaga marwah keluarga. Tak sepatutnya menceritakan urusan rumah tangga kepada orang lain. Sekalipun mereka masih keluarga kita. Berat ringannya hidup, cukup kami yang tahu. Aku tak ingin harga diri suami jatuh di hadapan keluarga besarnya.

***

Siang ini, sepulang dari TK, aku berniat memembersihkan meja kerja Mas Agam. Kubereskan buku-buku yang berserakan. Dari mulai buku materi ajar sampai perangkat pembelajaran. Tiba-tiba sebuah buku rekening tabungan bertuliskan bank daerah yang kutahu itu buku rekening gaji, terjatuh dari dalam sebuah buku pelajaran Matematika. Entah terdorong rasa apa, aku membuka buku itu perlahan. Terlihat rentetan angka, nominal uang gaji yang setiap bulannya diterima suamiku. Seketika dadaku bergemuruh hebat. Sudut netra ini mulai memanas. Kuteliti satu per satu rententan angka yang tertera tiap bulannya. Aku mulai tergugu lalu terjatuh lemas di atas lantai. Isak tangis mulai keluar dari bibir ini. Sekali lagi kulihat transaksi uang yang tiap bulan diterima dan diambil suamiku dari bank tersebut, untuk memastikan apakah aku salah melihat atau tidak. Deretan angka dalam kisaran dua juta tujuh ratusan, atau bila ada lebih kurangnya hanya selisih seratus ribu tiap bulannya, sukses membuat dada ini sesak. Seketika luluh lantak sudah kepercayaan yang kuberikan padanya. Ia selalu mengatakan sisa gajinya hanya satu juta. Ternyata 8 tahun menikah dengannya, aku telah dibohongi. Dipaksa berjuang sendiri demi terpenuhinya kebutuhan makan kami berempat. Dan dengan begitu, aku pun tahu, hanya separuh dari uang sertifikasi yang ia berikan padaku untuk ditabung.

Mengapa ia begitu tega membohongiku? Membiarkanku sendiri, berjuang membanting tulang. Kemana larinya uang itu?

Aku masih terisak dengan segala kepedihan yang mendera. Memori otakku berputar, mengingat kejadian-kejadian  yang telah berlalu. Betapa berat perjuangan yang kami lalui bersama. Meskipun sebagian keluarga besar Mas Agam menganggap aku adalah orang yang sangat beruntung mendapatkannya yang sudah menjadi PNS sebelum menikah denganku, namun mereka tidak pernah tahu. Berjalannya roda ekonomi kami, juga ada jerih payahku di dalamnya.

“Mbak Nia seneng pasti ya, punya suami Mas Agam. Gajinya sebulan lima jutaan kan? Belum lagi sertifikasinya yang keluar tiga bulan sekali. Wah, kalau aku mah bakalan gonta ganti gelang sama kalung mbak.” Teringat kata-kata  Dina, adik sepupu Mas Agam yang suka berpenampilan glamour, kala itu.

Aku hanya tersenyum menanggapi pernyataannya. Tak kubantah maupun mengiyakan. Sekali lagi, karena menjaga marwah suami. Andai mengatakan yang sebenarnya-pun, akankah mereka percaya dengan ceritaku yang harus ikut serta membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga? Mengingat sosok Mas Agam begitu disanjung akan kebaikan serta sikap peduli yang tinggi terhadap sanak familinya.

Dada ini terasa semakin sesak. Namun segera ku menguasai diri. Aku harus mencari tahu, kemana uang Mas Agam yang selama ini ia sembunyikan dari aku. Pada siapa ia berikan. Dan aku tidak bisa menghadapi ini semua dengan emosi. Karena akan berakibat fatal. Lagi-lagi omongan keluarganya yang aku takutkan. Jujur selama ini, orangtua serta kakak perempuan sekaligus kakak satu-satunya itu, mereka sering mengeluarkan kata maupun kalimat yang sedikit menggores relung hati ini. Tapi, tidak pernah sekalipun mulut ini membalas omongan mereka, karena takut. Bagaimanapun, mereka semua adalah orangtua yang harus kuhormati. Dari rahim ibunya-lah suamiku dilahirkan.

“Biarkan Agam pulang kesini. Kasihan kalau harus jauh-jauh pulang ke rumahmu. Aku mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatannya. Tiap hari kalau harus berkendara lama selama empat jam pulang pergi kan kasihan. Aku tidak tega. Cukuplah seminggu sekali ia mengunjungimu.” Ucapan dari Mbak Eka, kakaknya Mas Agam masih selalu teringat di kepalaku. Ketika itu aku masih hamil pertama empat bulan. Entah terlalu perasa atau memang ucapan itu yang terlalu menusuk. Ada sesuatu yang seperti menghunus ulu hati ini.

“Tapi kan aku lagi hamil mbak.”

“Lhoh, apa hubungannya hamil dengan kepulangan Agam? Aku aja yang ditinggal merantau ke Kalimantan, tidak masalah. Suamiku malah belum tentu setahun sekali pulang.”

Salahkah bila dalam keadaan hamil ingin selalu bersama suami?

“Mbak Eka tuh baik dek. Sayang sekali sama Mas. Makanya dia berbicara seperti itu. Udah gak papa. Jangan dipikirkan ya? Yang penting kan, Mas pulang gak sampai seminggu sekali dek. Paling tiga hari di rumah Ibu. Jangan sedih! Ibu hamil gak boleh tertekan. Dibuat bahagia aja. Ya, sayang?” Begitu jawaban Mas Agam saat aku mengadu perihal perkataan Mbak Eka.

“Mas, kenapa gak pindah saja? Cari yang dekat sini. Toh kan, Mas pulang ke rumah Ibu juga perjalanan hampir satu jam kan?” Yah, memang suamiku mengajar bukan di daerah tempat tinggal ibunya. Bila kesana, ia harus berkendara kearah timur, sedangkan pulang ke rumahku ke arah barat. Aneh bukan?

“Mas sudah nyaman dek, sama teman-teman di sana. Mas takut, bila pindah gak nemu yang klop seperti mereka. Dan kalau dipikir ya, tetep deket ke rumah ibu kan?”

“Kalau gitu, aku ikut ke sana ya Mas? Aku ingin selalu berada bersama Mas setiap hari. Kan aku sedang hamil Mas.” Pintaku merajuk.

“Aduh, jangan sayang. Kamu harus ngajar kan? Nanti kalau kamu keluar, ada yang gantiin kamu gimana?” Akhirnya, aku hanya bisa pasrah pada keadaan.

Kepulangan Si Sulung Dinta  dari sekolah membuatku tersadar dari segala lamunan. Dia terlihat kaget melihat mataku sembab.

“Ibu kenapa? Habis nangis?”

“Iya sayang, tadi habis baca novel online, ceritanya sedih banget” Jawabku berbohong. Bagaimanapun keadaanku, aku tidak ingin, ia yang masih berusia tujuh tahun harus mengerti bebanku.

Dinta masuk kamarnya, berganti baju lantas makan. Setelahnya, terdengar langkah kaki sang adik, Danis yang baru pulang dari bermain. Ia berlari memelukku. Kebiasaan itu suka dilakukannya saat masuk ke dalam rumah. Kudekap erat tubuh mungilnya. Usianya baru genap empat tahun, bulan lalu. Ia menjadi anak kesayangan Mas Agam.

Comments (81)
goodnovel comment avatar
Nelly Sianipar
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Anitha Tarigan
betull pisan mirip
goodnovel comment avatar
Kpig Propinsi Kal-Bar
oh... iya. tentunya ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status