Di toko ini, aku sudah mendapat barang yang kuinginkan. Aku yakin, mereka akan bahagia melihat kejutan dari Ibunya. Sebuah mobil sport mini untuk Danis, sepeda motor matic mini berwarna pink untuk Dinta serta kolam renang plastik untuk bermain air berdua. Kutelepon sopir angkot untuk membawa barang-barang tersebut. Setelah diangkut mobil, tak lupa aku mampir ke toko pakaian. Membeli banyak untuk diriku sendiri. Dan beberapa potong untuk Dinta, Danis, Ibu serta Bapak. Selama ini, anak-anakku sering kubelikan pakaian bagus. Sedangkan aku, paling banyak dua tahun sekali membeli baju. Ah, betapa diri terlalu menyiksa sendiri. Sedang di belahan bumi sana, ada yang bahagia menikmati uang suamiku.
Sebelum pulang, entah mengapa aku ingin mampir ke bank untuk mengeprint buku tabungan. Selama ini memang aku tak pernah menabung. Mas Agam langsung mentansfer uang dari rekeningnya ke rekeningku yang berbeda bank. Ia hanya menunjukkan bukti transfer setelahnya. Tertera nomina
Part 9Pengiriman hari ini telah selesai. Kurir juga sudah mengambil ke rumah Ibu tadi. Anak-anak tertidur di sini juga. Bimbang, mau pulang males ada Mas Agam. Tidak pulang, aku perlu mandi dan berganti baju. Sembari menimbang-nimbang keputusan, hendak pulang atau tetap di sini, iseng kulihat story di aplikasi hijau. Jariku berhenti pada sebuah unggahan seseorang, Rani, Ibu Aira. Tumben buat story. Atau selama ini disembunyikan dari aku?Nangis, ditinggal pulang Pak Dhe. Efek terlalu dimanja. Biasanya jam segini diajak jalan-jalan. Begitu bunyi story-nya.Apa kabar anak-anakku yang ditinggal tiga minggu? Gatal terasa jari ini ingin bermain perasaan dengannya. Segera kupencet tombol balas.[Anak kesayangan. Caption love] Read[Iya Mbak. Nangis terus gara-gara ditinggal] Rani membalas.[Kalau ada Mas Agam aku gak capek jagain Aira][Terus, maunya Mas Agam yang ninggal anak-anak gitu?] Balasku dengan perasaan sengit.
Part 10Tiga hari di Jogja, banyak tempat yang sudah kami kunjungi. Mulai dari Pantai Parangtritis karena penginapan kami ada di sana, Keraton, Candi Prambanan di Klaten, Candi Borobudur di Magelang, Museum Dirgantara, hingga terakhir Mallioboro. Surganya wanita berbelanja. Sejenak lupa pada masalah yang sedang dihadapi. Hingga saatnya kami pulang. Mengendarai taksi sampai stasiun.Saat berada dalam kereta menuju perjalanan pulang, sebuah pesan masuk dari Fani.[Mbak, tadi Mas Agam kesini, ambil kunci. Tapi pergi lagi. Aku gak tahu dia mau apa. Soalnya tadi kuncinya diantar kesini lagi.] Tak kubalas pesan dari Fani. Aku memilih menentramkan hati dengan lantunan dzikir.Iseng kubuka story teman-teman pada aplikasi hijau. Hal rutin yang kulakukan saat merasa kesepian. Sudut mataku memanas, melihat sebuah foto pada story Mas Agam, ia menuliskan sebuah kalimat, Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi
Part 11Hari ini, aku ada janji untuk menemui seseorang. Kami saling kenal lewat akun biru. Orang tersebut memiliki rumah makan. Ia ingin mengadakan kerjasama. Oh iya, saat ini tidak hanya keripik saja, tapi kerupuk yang digoreng pasir dan diberi bumbu juga menjadi produk unggulan dari pabrikku. Sepertinya teman dunia mayaku ini ingin aku mengirim kerupuk tersebut ke rumah makannya.Pria itu menyebutkan sebuah warung bakso yang cukup terkenal. Kami akan bertemu di sana nanti. Tapi sepertinya, warung tersebut berada di jalan arah Kecamatan tempat suamiku mengajar. Dulu ia bercerita kadang nongkrong di situ bersama kawan-kawan. Kami jelas belum pernah diajak serta. Seringkali memuji betapa lezat rasa bakso di tempat lesehan itu. Aku hanya ngiler mendengarkan. Entahlah, betapa bodoh diri ini, yang sama sekali tak memiliki keberanian untuk meminta.[Aku sudah berada di lokasi, Mbak] Pesan dari lelaki yang baru pertama kali ini akan berjumpa. Aku sudah
Sekarang, pergilah! Buang air matamu. Jangan sampai suami kamu tahu, kita bersama. Balas dia dengan cara membuat menyesal telah menyakiti kamu. Aku akan ke toilet. Tagihan ini biar aku yang bayar. Bersihkan udara matamu. Agar kamu terlihat cantik di depan mereka berdua. Kamu paham, Nia?” Aku mengangguk. Pak Irsya segera berdiri dan hendak pergi.
Sesampainya di rumah, aku tidak menceritakan apapun pada keluarga. Rasanya malas sekali untuk membahas apapun tentang Mas Agam saat ini. Aku memiih mengemas barang pesanan dari customer. Saat ini, tercatat sudah dua puluh reseller aktif yang bergabung dalam memberku. Uang memang buka segala-galanya, namun kenyataannya, seseorang akan dihargai karena uang yang dimiliki. Meski kita tak pernah tahu, bentuk penghargaan tersebut, tulus atau hanya sebuah kepura-puraan. Ya, seperti saat ini, aku tidak tahu karena alasan apa Mas Agam berkali-kali menghubungi. Entah karena takut, atau karena melihat aku dengan segala penampilanku tadi. Namun kuabaikan. Kebetulan, hpku ada dua. Satu untuk urusan pribadi dan yang satu khusus untuk bisnis. Jadi tak terganggu dengan panggilan maupun pesan masuk dari calon mantan suamiku. Hari ini, tak ada kurir datang. Sengaja meliburkan pengiriman, karena t
Dua hari berlalu sejak kejadian itu. Pak Irsya tidak menghubungi lagi. Hal ini membuatku sedikit lega. Setelah mengetahui status dudanya, serta ia_pun tahu tentang masalah rumah tanggaku, lebih baik, kami jangan terlalu akrab. Seseorang yang tengah mengalami sebuah masalah dalam keluarga, sungguh hal yang tidak baik bila memiliki teman curhat lawan jenis. Karena pada saat kita menemukan keburukan pada pasangan, maka akan merasa nyaman bila ada orang ketiga yang hadir.Bukan sebuah masalah, bila aku dekat dengan siapapun saat ini. Terlebih bila orang tersebut tidak terikat sebuah hubungan pernikahan. Namun menurutku, itu tetap saja hal yang kurang pantas dilakukan. Karena bagaimanapun statusku saat ini masih sebagai istri Agam. Malas rasanya, menyematkan sebutan Mas pada panggilan namanya.Apakah dengan ini aku tidak akan membuka hatiku pada pria l
“Nia, Maafkan aku ...”“Tidak semudah itu, Mas...” Jawabku sambil menghempas kasar pegangan pada lengan.Menghapus air mata yang mulai mengembun di pelupuk. Sambil berjalan menuju ruang tamu. Aku akan pamit saja dari sini. Kurasa pertemuan di rumah ini tidak ada manfaatnya sama sekali.“Saya pamit, Pak. Mohon maaf sudah menimbulkan kekacauan di rumah anda.”“Bu Agam, saya ju ...” Terasa muak mendengar nama itu untuk memanggilku.“Tolong jangan panggil saya dengan nama itu! Sebagai orang yang berpengalaman, seharusnya anda memahami perasaan saya saat ini.”&
Tamu seharusnya dihormati tuan rumah. Tapi bila tamunya seperti mereka, apakah aku masih wajib menghormati? Tentu tidak! Menurut teori sendiri tapi.Setelah semua keluar dari mobil, barulah kutahu, siapa saja yang datang. Mbak Eka dan suami, kedua mertua serta Rani. Seneng dong mereka saat ini? Berkumpul semua keluarga di rumah itu, kecuali aku. Ah lupa! Aku kan tidak dianggap keluarga.Keluarga mertuaku saat ini tengah melepas penat di teras dengan berselonjor kaki. Belum ada yang mengajakku bicara. Mereka mengobrol sendiri tanpa melibatkan menantu yang diabaikan ini. Mudah-mudahan sebentar lagi akan nebjadi calon menantu.Kubawa diri ini masuk ke dalam, hendak membuatkan minum. Kebetulan ada mbak Wati yang sedang melakukan pekerjaan rumah tangga. Maka kuminta saja sekalian membuat minum. Lalu aku kembali