Share

4. TERUNGKAPNYA FAKTA

Di sebuah gedung perkantoran elit Jakarta, seorang wanita terlihat lembur bekerja di saat para teman-teman kantornya sudah pulang ke kediaman masing-masing.

Besok adalah hari ulang tahun anaknya, dan dia berencana untuk merayakan bersama anaknya di sebuah restoran pizza favorit anaknya. Untuk itu, dia memilih lembur hari ini supaya besok dia bisa meminta izin pulang lebih awal pada sang bos di kantor.

"Misch, kamu tidak pulang?" tanya Abdul salah satu karyawan yang bekerja di bagian HRD.

"Oh ya, sebentar lagi aku pulang kok, mau menyelesaikan laporan untuk presentasi dulu," sahut Mischa dari balik kubikel meja kerjanya.

"Oke deh kalau begitu, aku pulang duluan ya?" kata Abdul lagi.

"Oke," Mischa tersenyum seraya mengacungkan ibu jarinya ke arah Abdul.

Sepeninggal Abdul, Mischa kembali fokus pada layar komputernya. Laporan ini harus selesai malam ini juga supaya besok tugasnya bisa lebih ringan.

Mischa masih terus bergumul dengan pekerjaannya saat tiba-tiba ponselnya berdering. Wanita itu sedikit terkejut sebab kondisi sunyi di ruangan itu serta pencahayaan yang sudah dipadamkan sebagian cukup membuat suasana terkesan horor dan menakutkan.

Mischa melihat nomor baru memanggil.

Siapa?

Pikirnya membatin.

Daripada bertanya-tanya sendiri, wanita berbulu mata lentik itupun mengangkat panggilan itu.

"Halo, selamat malam," sapa Mischa sopan.

"Halo, selamat malam, apa ini wali dari Arsenio Malik Akbar? Kami menemukan informasi kontak anda pada dirinya. Arsen terluka dan kini di rawat di rumah sakit Citra Medika, anda bisa menemuinya di ruang UGD, terima kasih,"

"Apa? Halo? Halo?"

Tut- tut- tut!

Sambungan telepon itu langsung terputus begitu saja.

Mischa yang panik langsung mematikan komputernya dan beranjak dari meja kerjanya.

Tak ada hal yang lebih penting selain keselamatan Arsen.

Buah hatinya tersayang.

*****

Sesampainya di UGD, Mischa langsung menerobos masuk dan mencari keberadaan Arsen.

Dilihatnya Arsen sedang dalam penanganan pihak medis.

Mischa berteriak dengan tangisnya yang semakin merebak. Dia berhambur ke sisi ranjang anaknya yang belum sadarkan diri. Pakaian Arsen kotor dengan luka-luka memar di sekujur tubuhnya.

"Arsen... Bangun Nak... Arsen... Ini Mamah... Banguuunnn..." tangis Mischa seraya mengguncang bahu Arsen.

"Apa anda keluarga anak ini?" tanya salah satu suster yang sedang menangani Arsen.

"Iya, iya, Sus. Saya Ibu anak ini," jawab Mischa dengan berderai air mata. "Bagaimana keadaan anak saya?"

"Arteri dari kakinya terluka, menyebabkan dia kehilangan terlalu banyak darah," jelas sang Dokter.

"Lantas apa yang harus di lakukan, tolong selamatkan anak saya, Dok... Tolong..."

"Dia mengalami syok dan itu menyebabkan pendarahannya semakin parah. Dia membutuhkan transfusi darah sekarang atau hidupnya akan berada dalam bahaya,"

Tangis Mischa semakin pecah. "Kalau begitu berikan transfusi darah kepadanya, berapapun biayanya saya akan bayar, Dok... Tolong..."

"Apa golongan darah anda?" tanya Dokter itu pada Mischa.

"B, golongan darah saya B, Dok..."

"Apakah ada keluarga atau kerabat dekat anda yang golongan darahnya sama dengan anak ini?"

Mischa terhenyak. Keluarga?

Mischa bahkan tak memiliki keluarga yang bisa menolongnya saat ini. Dia harus menjawab apa?

"Sa-saya tidak tahu, Dok..." jawab wanita itu dengan suara putus asa. Mischa menunduk dalam. Dia benar-benar bingung.

Di tengah kekalutan itu, seorang suster tiba-tiba datang dengan membawa sebuah kabar.

"Dokter Afwan, semua bank darah telah kami hubungi, golongan darah yang di butuhkan anak ini sudah didapat, tapi ada kemungkinan akan memakan waktu selama enam sampai tujuh jam untuk bisa sampai ke sini," jelas si suster yang baru saja datang.

"Apa? Tujuh jam? Itu terlalu lama, nyawa anak ini bisa terancam, kita tidak bisa menunggu lagi," jawab sang Dokter.

Dokter Afwan menggeleng lemah. "Maafkan saya Nyonya, saya tidak bisa memastikan lebih jauh apa anak anda bisa bertahan untuk menunggu sampai tujuh jam ke depan, siapkan mental anda untuk kabar terburuk nantinya,"

Tubuh Mischa mencelos. Bahu wanita itu merosot seiring dengan semakin menipisnya harapan hidup sang buah hatinya tercinta.

"Arsen..." gumam Mischa. Dia memeluk tubuh anaknya dan menangis tersedu-sedu.

Ya Tuhan... Tolong anakku...

Bisik batin Mischa pedih.

Hidupnya tak akan berarti apa-apa tanpa Arsen.

Bahkan, selama ini, hanya Arsen yang menjadi tumpuan harapan Mischa untuk melanjutkan kehidupan yang serba sulit. Karena Arsenlah Mischa mampu bertahan hingga saat ini.

Mischa masih terus menangis sambil memeluk anaknya saat didengarnya sebuah suara dari arah belakang yang bertanya pada suster yang masih menangani luka di kaki Arsen.

"Permisi Suster, bagaimana keadaan anak ini?"

Suara itu...

Dan bahkan hanya mendengar suaranya saja, Mischa sudah tahu siapa laki-laki yang kini berbicara di belakangnya.

Itu suara Xander.

*****

Xander baru saja selesai mengurus seluruh biaya administrasi pengobatan anak kecil yang tadi dia tolong.

Dia hendak pulang, tapi entah kenapa hatinya tergugah untuk kembali melihat kondisi anak itu. Hingga akhirnya, kakinya terus melangkah menuju ruang UGD tempat di mana anak kecil itu kini sedang mendapat penanganan serius oleh tim medis.

Xander tahu, sepertinya luka-luka yang dialami anak itu cukup parah.

Begitu sampai di UGD, dilihatnya seorang wanita sedang menangis tersedu-sedu sambil memeluk anak yang tadi dia tolong. Mungkin saja itu Ibunya, pikir Xander membatin.

"Permisi Suster, bagaimana keadaan anak ini?" tanya Xander kemudian.

"Apa anda keluarganya Tuan?"

"Oh, bukan,"

"Maaf Tuan, lebih baik anda menunggu di luar saja. Kami sedang sibuk," jawab sang suster acuh.

Xander mengangguk tanda mengerti. Lagi pula, dengan melihat keberadaan Ibu anak itu saat ini, perasaan Xander cukup tenang untuk meninggalkan anak itu di rumah sakit.

Lelaki berkemeja putih itu pun memilih untuk pergi.

Tatapan Xander sempat tertuju pada Ibu sang Anak yang saat itu sedang menatap ke arahnya, meski setelahnya dia tetap berlalu dari ruangan itu.

"Tunggu!" panggil sebuah suara seorang wanita.

Xander menoleh, dilihatnya Ibu si anak itu berdiri dibelakangnya masih dalam keadaan berderai air mata.

"Anda berbicara dengan saya?" tanya Xander saat itu.

"Bisakah kamu menyelamatkan anakku?" tanya Mischa dengan sekujur tubuhnya yang gemetar. Bahkan untuk melangkahkan kakinya saja Mischa merasa begitu sulit.

"Menyelamatkan dia?" tanya Xander dengan kerutan di keningnya yang tercetak jelas. "Bagaimana caranya? Apa yang bisa aku lakukan?"

"Jika kamu bersedia memberikan darahmu, dia akan bertahan hidup," ucap Mischa dengan dadanya yang kian sesak. Rasanya, dia hampir tak bisa bernapas saat ini.

"Apa? Mengapa bisa?" Xander jadi bertambah bingung. Apa maksud wanita ini sebenarnya?

"Karena golongan darah kalian sama. Aku mohon padamu... Selamatkan dia... Selamatkan anakku... Aku mohon..." Mischa kembali terisak. Dia tahu ini tidak mudah. Bahkan hal ini tak seharusnya dia lakukan, tapi apalah dayanya saat ini, Arsen membutuhkan pertolongan dan hanya Xander yang bisa menolongnya.

Xander masih memasang ekspresi dingin dan datar. Dia berjalan mendekat ke arah Mischa. Berbagai tanda tanya besar hadir dalam benak lelaki itu.

"Bagaimana kamu tahu golongan darahku?" tanya Xander dengan suaranya yang mengintimidasi.

Mischa terpojok. Deru napasnya semakin tersengal. Dia benar-benar kehabisan kata-kata.

"Ka-karena.... Karena..."

"Karena apa?" potong Xander tak sabar, nada suaranya naik beberapa oktaf.

Kebuntuan Mischa semakin menjadi. Dia tak sanggup menjelaskan hingga akhirnya dia memilih untuk berlutut di bawah kaki Xander.

Dengan berderai air mata, Mischa memohon dan menghiba agar Xander bersedia menolong Arsen.

Tapi sayangnya, Xander bukanlah lelaki bodoh. Dia harus tahu alasan apa yang membuat wanita asing yang kini berlutut di kakinya itu tahu mengenai golongan darahnya. Bukankah itu hal aneh?

"Jika kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku dengan jelas, jangan harap aku akan membantumu," tegas Xander dengan wajahnya yang mendongak angkuh.

"Tolong... Jangan seperti itu. Anakku membutuhkan pertolonganmu... Tolong selamatkan dia... Tolong... Aku mohon... Selamatkan anakku..." Mischa menahan kaki Xander yang hendak pergi dengan memeluk sebelah kaki laki-laki itu.

"Jawab dulu pertanyaanku, darimana kamu bisa tahu bahwa golongan darahku sama dengan golongan darah anakmu? Hah?" Xander mulai terpancing emosi.

Dengan napas yang masih tersengal dan ke dua tangan yang memeluk erat kaki Xander akhirnya Mischa pun menjawab pertanyaan itu dengan sangat berat hati.

"Karena..."

Xander masih menunggu.

"Karena..."

"Karena dia adalah anakmu!"

Detik itu juga, dunia Xander seolah berhenti berputar.

Apa perempuan ini gila?

Makinya geram dalam hati.

"Karena dia adalah anakmu..."

Kalimat itu terus terngiang ditelinga Xander.

Sebuah kalimat yang menjadi pukulan telak bagi seorang Xander, manusia berhati dingin yang bahkan tak pernah berpikir seujung jari kukupun sebelumnya untuk memiliki anak dari wanita manapun. Itulah sebabnya Xander tak pernah lupa untuk bermain aman dengan semua wanita malam yang pernah menjadi teman tidurnya.

Kecuali, satu wanita.

Ya, satu orang wanita yang pernah dia tiduri sekitar lima tahun yang lalu di sebuah Club Malam langganannya.

Pelacur sialan yang sudah mengobrak-abrik ketenangan hidup Xander selama lima tahun belakangan.

Rahang Xander sudah mengeras, bersamaan dengan ke dua kepalan tangannya yang sudah memanas. Mungkin, seandainya ini bukan tempat umum, ingin rasanya Xander menjambak rambut wanita yang kini tengah bersujud di bawah kakinya itu untuk menceritakan apa yang membuat wanita itu berani mengatakan hal yang begitu privasi di hadapan banyak orang.

Bahkan, beberapa perawat di ruangan UGD langsung berbisik-bisik tetangga.

Xander tahu posisinya kini terpojok, terlebih di saat dokter yang menangani Arsen mendekat ke arah mereka.

"Maaf, anda Tuan Xanderkan? Yang pernah memberikan dana bantuan untuk rumah sakit ini beberapa minggu yang lalu? Tuan, keadaan Arsen saat ini memang sedang dalam kondisi darurat, dia harus cepat mendapatkan donor darah. Jika golongan darah Tuan AB, saya harap Tuan bisa membantu kami menolong anak ini,"

Kalimat panjang sang dokter menjadi gema yang terus bersahut-sahutan di kepala Xander.

Dan saat kepala lelaki itu kembali menoleh ke belakang, tepatnya ke arah brankar tempat dimana tubuh tak berdaya Arsen terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri, Xander seolah teringat pada kekejaman Ibu kandungnya yang tak pernah mengakui keberadaannya selama ini. Lantas, haruskah dia kini juga bersikap kejam terhadap Arsen?

Meski, Xander memang tak akan mempercayai begitu saja kata-kata wanita itu yang mengatakan Arsen adalah anak kandungnya sebelum adanya bukti atas tes DNA dari rumah sakit. Namun, Xander tahu bahwa dirinya masih memiliki hati nurani sebagai seorang manusia. Tak mungkin dia mengabaikan anak kecil tak berdosa itu meregang nyawa begitu saja.

"Golongan darah saya memang AB, Dok. Lakukan yang terbaik, selamatkan anak itu," tuturnya pelan.

Beberapa perawat pun bergerak cepat dan langsung menginstruksikan Xander untuk melakukan donor darah.

Dan di sana, ketika sosok Xander menghilang di balik pintu ruangan UGD bersama beberapa perawat itu, Mischa masih terus menatap punggung Xander.

Dalam hati dia terus berucap dengan deraian air matanya.

Terima kasih Tuhan...

Terima kasih...

Terima kasih...

Terima kasih...

Xander...

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ratna0789
Uuuhhh awal mula semua nya berubah
goodnovel comment avatar
Mami Erny S. Rihi - Loupatty
Puji Tuhan' Tuhan melihat kesengsaraan dari seorang perempuan yang takut akan Tuhan. karena Cinta kuat seperti maut.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status