Share

6. SURAT DARI ARSEN

Arsen sudah di pindah ke ruang ICU setelah pendonoran darah yang diberikan Xander untuknya. Dan sejak itu pula, Xander tak kunjung bergeming dari sisi ranjang tempat tidur Arsen.

Tatapannya lurus tertuju pada wajah Arsen yang terhalang oleh alat bantu pernapasan.

Jarvis pun ada di dalam ruangan itu. Dia berdiri tepat di hadapan Xander duduk. Jarvis sudah tahu apa yang terjadi di sana dan mengurus perihal tes DNA antara Arsen dan Xander. Termasuk menggali informasi mengenai wanita bernama Mischa, Ibunda Arsen.

Sedari tadi Jarvis sebenarnya ingin mengatakan sesuatu, namun keterdiaman Xander dalam perenungannya yang tak sama sekali beralih dari wajah Arsen membuat Jarvis urung menyampaikan maksudnya.

Sepertinya, Xander terlihat begitu menghayati tatapannya. Entah apa yang ada dalam pikiran Xander saat itu, tapi yang pasti, ini kali pertama Jarvis dapat melihat adanya sebuah kasih sayang dalam tatapan Xander kepada Arsen kala itu. Dan Jarvis sendiri tak memungkiri, kemiripan fisik antara Xander dengan Arsen memang bisa dibilang hampir 85 %.

"Kapan Tes DNAnya keluar?" tanya Xander tiba-tiba.

"Sekitar dua minggu ke depan," jawab Jarvis cepat.

"Di mana wanita itu sekarang?" tanya Xander lagi.

"Sepertinya dia masih menunggu di luar, Bos,"

"Informasi apa yang sudah kamu dapatkan sejauh ini?"

Jarvis tampak mengecek sesuatu di ponselnya. "Nama perempuan itu Mischa Priscilia Agatha. Dia ibu tunggal dan saat ini dia bekerja di kantor hotel Butterfly. Dari riwayat hidupnya, sekitar enam tahun yang lalu, dia pernah menjadi karyawan magang di perusahaan kita selama tiga bulan sebelum akhirnya dia menghilang tanpa kabar," terang Jarvis.

"Butterfly?" kerut di kening Xander seketika menjelas begitu nama Butterfly disebut-sebut oleh Jarvis.

"Sejak kapan dia bekerja di sana?" lanjutnya lagi. Sepertinya Xander mulai mendapat sebuah pencerahan atas adanya konspirasi busuk yang telah dilakukan wanita bernama Mischa itu terhadapnya.

"Cukup lama, Bos. Sekitar tiga sampai empat tahun. Ada kemungkinan dia sudah bekerja di sana sejak pulih pasca melahirkan Arsen," jawab Jarvis menyampaikan argumennya dari hasil penyelidikan orang-orang terpercayanya.

Xander tertawa remeh. Jelas sekali, dia pasti kaki tangan Butterfly. Dia pasti mata-mata yang telah dikirim perusahaan laknat itu untuk menghancurkan dirinya.

Xander berdiri angkuh. Amarahnya mulai kembali naik ke permukaan.

"Kirim orang untuk menyelidiki wanita itu lebih lanjut. Aku ingin tahu, sejauh apa dia sudah mengetahui tentang aku selama ini?" ucap Xander sebelum akhirnya dia hendak melangkah keluar dari ruangan ICU. Namun, langkah laki-laki berkemeja putih itu langsung ditahan oleh Jarvis.

"Ada apa?"

Jarvis terlihat kikuk. Sesekali dia menggaruk kepalanya yang bahkan sama sekali tidak gatal.

"Ng, sebenarnya, sejak tadi..." Jarvis menggantung kalimatnya. Dia tertawa salah tingkah.

"Ada apa Jarvis?" ulang Xander tak sabar.

"Sebenarnya, sejak tadi di luar itu ada Nona Mendy sedang menunggu Bos. Dia sudah tahu tentang Arsen, Bos," beritahu Jarvis pada akhirnya.

Xander menghempas napas kasar. Jujur saja, dalam suasana hatinya yang sedang buruk saat ini, seharusnya Mendy tidak terus menerus mengganggunya.

"Apa, harus saya beritahu Nona Mendy bahwa Bos sedang tidak ingin diganggu saat ini?" ucap Jarvis lagi.

"Tak usahlah, aku akan bicara dengannya," Xander tahu, Mendy bukan wanita yang mudah dikelabui. Mendy itu pintar. Itulah sebabnya sampai saat ini Xander belum mampu menemukan setitik kesalahan wanita itu supaya dirinya bisa mendepak Mendy jauh-jauh dari kehidupannya.

Dengan langkah berat, Xander pun keluar dari ruangan ICU itu.

Hingga pada saatnya, tatapan Xander justru langsung tertuju pada sesosok wanita berseragam kantor yang saat itu sedang duduk tepekur di bangku tunggu ruang ICU.

Dia, ibunda Arsen.

*****

Malam itu, begitu mendengar kabar bahwa Xander kini sedang berada di rumah sakit. Mendy langsung meluangkan waktu berharganya untuk singgah ke rumah sakit. Dan bukan hal sulit bagi seorang Mendy untuk mendapatkan informasi mengenai alasan yang membuat kekasihnya kini harus berada di rumah sakit.

Mendy berjalan tergesa menuju ruang ICU tempat di mana Arsen kini dirawat.

Dan saat itu tatapannya tertuju pada seorang wanita yang terduduk lesu di salah satu bangku tunggu di luar ruang ICU.

Mendy berbisik pada asistennya dengan tatapan yang terus tertuju pada Mischa.

"Apa dia orangnya?"

"Ya, dia Ibu Arsen," jawab Trisna sang Asisten.

Tatapan Mendy terlihat remeh bahkan sebuah senyuman sinis terukir di wajah cantik nan rupawannya. Namun, bukan Mendy namanya jika dia tidak bisa menutupi perasaan kesalnya pada sosok Mischa. Bagaimana tidak kesal, jika tiba-tiba ada seorang wanita asing yang dengan begitu berani mengatakan bahwa Ayah dari anak kandungnya adalah Xander, kekasihnya.

Tapi, bagaimana pun juga, kasta wanita itu jelas berbanding terbalik dengannya. Bahkan Mendy bisa mengetahui bahwa Mischa pasti hanya seorang pegawai rendahan yang bahkan tak pantas disebut sebagai pesaingnya. Jadi sepertinya, hanya akan membuang-buang waktu seandainya dia harus memusingkan masalah wanita bernama Mischa itu.

"Permisi Nona, apa anda Ibu Arsen?" tanya Mendy dengan suaranya yang lembut. Dia tersenyum manis dihadapan Mischa.

Mischa terlihat cukup kaget melihat kehadiran seseorang dihadapannya yang begitu tiba-tiba, dan menjadi lebih kaget lagi saat dia tahu kalau orang tersebut adalah Mendy Clarissa, seorang Aktris papan atas yang selama ini seringkali dia saksikan penampilannya di TV bersama Arsen.

Mischa menghapus cepat buliran air matanya dan langsung berdiri disertai senyuman sungkan. Dia hendak bicara namun Mendy sudah mendahuluinya.

"Saya turut prihatin setelah mendengar musibah yang terjadi menimpa Arsen. Terlebih setelah tahu bahwa Arsen adalah salah satu pengunjung di acara konser saya tadi sore," ucap Mendy menjelaskan.

"Maksud Nona?" tanya Mischa yang terlihat kebingungan.

"Ya, sore tadi aku mengisi acara di sebuah konser yang diadakan di hotel di Jakarta dan ada salah satu kru yang mengatakan bahwa dia melihat Arsen di sana. Arsen membawa sepucuk surat untukku, dan foto. Dia memberikannya pada Kru itu. Sepertinya, Arsen adalah salah satu penggemarku, ini surat yang di tulis Arsen untukku. Dan ini fotoku yang sudah aku tanda tangani," Mendy memberikan sepucuk surat kepada Mischa beserta foto dirinya.

Mischa menerima ke dua kertas itu dengan tangan gemetar. "Te-terima kasih..." ucap Mischa lemah. Dia berjalan linglung hendak menemui anaknya di dalam ruang ICU. Pikirannya saat itu benar-benar kacau, hingga dia melupakan sesuatu.

Apa saja yang aku lakukan sampai Arsen pergi jauh tapi aku tidak tahu! Bodoh! Aku memang Ibu yang bodoh!

Mischa terus mengutuki dirinya sendiri.

Dia tahu, kalau sepulang sekolah tadi Arsen memang pamit padanya untuk pergi bermain keluar karena kebetulan pengasuh Arsen hari ini tidak bisa datang ke rumah, jadilah Mischa menitipkan Arsen pada sahabatnya yang juga tetangganya di Rusun. Namun, Lulu, sang sahabat bilang bahwa Arsen hendak mengunjungi paman Diwan. Dia adalah penjual bakso di ruko pinggir jalan yang berada di depan rusun. Dan selama ini, Diwan memang sangat baik pada Mischa dan Arsen.

Tak jarang Arsen menghabiskan waktunya untuk membantu Diwan di warungnya.

Dan Mischa benar-benar tak menyangka bahwa Arsen bisa bertindak sejauh itu.

Langkah Mischa terhenti saat tatapannya beradu dengan sepasang manik mata tajam yang saat itu sedang menatap lurus ke arahnya. Sosok itu baru saja keluar dari dalam ruang ICU.

Dia Xander.

Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Kenapa aku bisa lupa kalau di dalam ruangan itu masih ada Xander?

Tidak! Aku harus pergi!

Aku belum siap!

Aku benar-benar belum siap jika harus kembali berhadapan dengan Xander saat ini!

Ucap Mischa membatin.

Langkahnya terhenti sementara dia tahu Xander kini sedang berjalan menghampirinya.

Jantung wanita berusia 28 Tahun itu seolah mau copot ketika kini Xander sudah berdiri tepat dihadapannya.

Mischa terus saja menunduk. Dia sama sekali tak berani mendongakkan kepalanya saat itu.

Hingga setelahnya, dengan gerakan cepat akhirnya Mischa pun memilih berbalik badan berniat untuk pergi.

"Aku pikir kamu hendak melihat kondisi Arsen?" ucap Xander saat itu. Nada suaranya datar, bahkan terkesan dingin.

Mischa menahan langkahnya masih dalam posisinya memunggungi Xander.

"I-iya. Aku mau ke toilet dulu," jawab Mischa cepat dan langsung pergi.

"Xander, kamu baik-baik sajakan?"

Mischa masih bisa mendengar kalimat bernada khawatir yang diucapkan Mendy saat itu. Wanita cantik itu langsung berhambur ke arah Xander sang kekasih.

"Aku baik-baik saja," jawab Xander acuh tak acuh.

Mendy hendak kembali bicara namun tatapan Xander yang teralih ke arah Mischa langsung membuatnya urung bersuara. Tatapannya menyiratkan sedikit kecemburuan.

"Aku langsung menunda jadwal syutingku begitu tahu kamu berada di rumah sakit malam ini," ucap Mendy dengan tangan lemah gemulainya yang kembali memalingkan wajah Xander supaya kembali menatapnya.

Xander tersenyum tipis. Jujur saja, dirinya benar-benar tak nyaman dengan kehadiran Mendy saat ini. Ditambah lagi saat dia harus kembali melihat Mischa.

Hingga pada saatnya, rasa penasaran Xander yang sudah tak terbendung membuat dirinya tak bisa menahan diri lagi.

Mendy masih mengajaknya bicara saat tiba-tiba kaki Xander melangkah untuk mengejar Mischa.

Lelaki itu meninggalkan Mendy yang langsung terdiam di depan pintu ruang ICU dengan tatapan tajam sarat emosi.

Bagaimana bisa kamu mengacuhkan kehadiranku hanya karena wanita itu, Xander?

Bisik Mendy membatin.

Bahkan napas wanita itu terlihat memburu.

Mendy benar-benar tidak terima.

*****

Mischa tahu Xander sedang mengejarnya, hingga wanita itu pun mempercepat langkahnya.

Dia tidak mau terlibat masalah apapun lagi dengan Xander.

Cukup dirinya bisa hidup tenang bersama Arsen saja sudah membuatnya bahagia. Mischa tidak mau ketentraman hidupnya kini harus diusik oleh Xander.

Meski, semua hal itu kini tinggal harapan semu baginya.

Mischa tahu Xander tak akan mungkin melepaskannya kali ini.

Namun, jika masih ada kesempatan baginya untuk menghindar dari lelaki itu, Mischa akan melakukannya.

Xander masih mengejar Mischa yang menghilang dibalik eskalator. Tanpa lelaki itu tahu bahwa Mischa tengah bersembunyi di bawah eskalator.

Setelah tahu keadaan cukup aman. Mischa pun keluar dari persembunyiannya.

Dia berjalan terhuyung dengan tungkai kakinya yang terasa lemas. Mischa pergi menuju tempat yang cukup sepi.

Tubuh ringkihnya terjatuh di bangku taman belakang rumah sakit.

Tangannya masih gemetaran. Dia benar-benar ketakutan. Rahasia besar yang selama ini susah payah dia sembunyikan pada akhirnya terbongkar juga.

Mischa merasakan genggaman tangannya berkeringat. Sepucuk surat yang masih dia genggam terjatuh.

Mischa memungutnya perlahan dan mulai membaca isi surat itu.

Sebuah tulisan tangan mungil Arsen tercetak jelas di sana.

Hai Kak Mendy.

Namaku Arsen. Aku datang ke sini untuk meminta tanda tangan Kak Mendy. Lusa nanti Mamaku ulang tahun. Aku tahu kalau Mama itu adalah penggemar berat Kak Mendy. Aku mau menghadiahkan tanda tangan Kak Mendy untuk Mamaku.

Terima kasih.

Air mata Mischa kembali meleleh setelah membaca isi surat Arsen untuk Mendy.

Hatinya benar-benar tersentuh.

Perasaan bersalah seketika kembali merasuk ke dalam jiwanya. Menghantamnya dengan pukulan telak bertubi-tubi.

Dulu, dia pernah hampir membunuh anak ini.

Anak yang tak berdosa ini.

Anak yang kini justru menjelma menjadi sesosok malaikat kecil bagi Mischa.

Arsen yang selalu menghiburnya ketika Mischa sedih.

Arsen yang selalu menyemangatinya ketika Mischa lelah.

Dan Arsen yang begitu menyayangi dirinya.

Nyatanya, perkataan Aliana memang benar.

"Kalau kamu membunuh anak di dalam kandunganmu itu, apa semua masalah akan selesai? Apa keadaan akan kembali seperti semula? Ingat Mischa, apa yang terjadi dan kamu alami saat ini semua tak lepas dari kesalahanmu juga. Seandainya malam itu kamu bisa mempertahankan apa yang seharusnya kamu pertahankan, tentu semua tidak akan jadi seperti sekarang! Nasi sudah menjadi bubur. Anak di dalam perutmu itu tidak bersalah. Jangan kamu limpahkan semua penyesalanmu padanya. Hadapi dengan lapang dada. Semua masalah itu pasti ada jalan keluarnya. Bisa jadi, Tuhan memberimu seorang anak karena Dia memiliki alasan lain untuk itu. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Anak ini anugrah. Jangan jadikan dia korban keegoisanmu. Cukup aku saja yang merasakan betapa menyedihkannya terlahir sebagai seorang anak yang tidak diinginkan kehadirannya. Jangan lakukan itu pada anakmu..."

Malam itu Mischa menangis seorang diri di taman itu sambil memeluk kuat-kuat surat yang di tulis Arsen.

Mendadak dia rindu Aliana.

Jika ada Aliana di sisinya, pasti sahabatnya itu sudah memeluk Mischa saat ini.

Menghiburnya dan menyemangatinya.

Sayangnya, sudah hampir lima tahun belakangan Mischa tidak tahu kemana Aliana pergi.

Sahabatnya itu tak meninggalkan pesan apapun.

Satu hal yang Mischa takuti adalah, Aliana tewas di tangan Denis, kekasihnya yang gila itu. Sebab, sejak Aliana menghilang, Denis pun ikut-ikutan menghilang.

Mischa tak tahu lagi harus mencari Aliana kemana.

Sejauh ini, Mischa hanya bisa berdoa, Aliana masih hidup dan di manapun keberadaan Aliana saat ini, semoga Tuhan selalu melindungi sahabat tercintanya itu.

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Neni Hendrawati
mksh ceritany seru......
goodnovel comment avatar
Hinatashoyo Art
seru nih, lanjut
goodnovel comment avatar
P Padang Situmorang
asyik, sedih....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status