Share

7. MAKE A WISH

Waktu sudah hampir shubuh.

Tapi Mischa terus terjaga di sisi ranjang anaknya.

Setelah mendapat donor darah dari Xander, Arsen pun telah melewati masa kritisnya. Bocah berumur lima tahun itu kini sudah di pindah ke ruang perawatan kelas tiga. Sebagian alat medis yang terpasang di tubuh Arsen telah dilepas. Hanya menyisakan satu cairan infus di tangan kirinya.

Mischa hendak melunasi semua biaya rumah sakit dengan uang tabungan hasil dia bekerja dan hasil penjualan beberapa perhiasan miliknya. Namun ternyata pihak rumah sakit mengatakan bahwa seluruh biaya pengobatan Arsen sudah dilunasi oleh Xander. Dan Mischa berniat untuk mengembalikan uang itu melalui pos nanti. Mischa tidak mau berhutang budi pada siapapun. Apalagi orang itu adalah Xander.

Saat ini, Mischa hanya perlu menunggu Arsen sadar.

Mischa tak mau melewatinya masa-masa itu.

Dia terus menatap sayup wajah Arsen yang tertidur lelap dalam pengaruh obat bius hingga akhirnya tepat saat adzan shubuh berkumandang, ke dua kelopak mata Arsen pun terbuka.

Dengan wajah kuyunya, Mischa tersenyum menyambut Arsen yang telah siuman.

"Sayang... Kamu sudah bangun?" ucap Mischa dengan suaranya yang terdengar lelah.

"Mamah... Kaki Arsen sakit..." ucap Arsen lirih. Wajah mungilnya sesekali meringis.

Mischa memajukan kursinya supaya lebih mendekat ke ranjang Arsen. Dia mengelus rambut Arsen dengan penuh kelembutan.

"Kaki Arsen memang sedikit terluka. Jadi, Arsen harus beristirahat di tempat tidur untuk sementara waktu sampai lukanya sembuh, mengertikan sayang?"

Arsen mengangguk patuh. Tangan mungilnya bergerak dan keluar dari balik selimut. Sebuah perban yang menempel di dahi Ibunya menarik perhatian Arsen.

"Kepala Mamah kenapa?" tanya Arsen, dia terlihat khawatir.

Mischa tersenyum dan menangkap tangan Arsen yang mengelus dahinya yang terluka. Digenggamnya jemari mungil itu sambil sesekali di ciumnya lembut.

"Mamah tidak apa-apa sayang. Tadi cuma terbentur lemari sewaktu Mamah sedang mengambil perhiasan di rumah," jawab Mischa apa adanya. Tak apalah sesekali dia memang perlu berbohong pada Arsen karena dia tidak mau Arsen lebih mengkhawatirkan dirinya yang tadi hampir tertabrak mobil saat di perjalanan hendak kembali ke rumah sakit setelah menjual perhiasan.

Mischa yang berjalan sambil melamun, membuatnya tak sadar bahwa lampu hijau jalan telah berubah menjadi merah. Untungnya dia hanya sedikit terserempet meski sempat terjatuh hingga kepalanya terantuk ke aspal jalanan sampai mengeluarkan darah walau hanya sedikit.

Hari ini benar-benar hari yang melelahkan bagi Mischa. Tidak hanya fisiknya yang lelah, tapi batin dan psikisnya benar-benar lemah.

"Apa Mamah melihat foto yang kubawa di saku jaketku?" tanya Arsen lagi.

Mischa terhenyak. Dia ingat kalau jaket Arsen yang kotor dan berlumuran darah sudah dia bawa pulang ke rumah tadi. Hingga setelahnya, dia teringat dengan secarik foto bertanda tangan Mendy yang diberikan wanita itu kepadanya di depan ruang ICU malam tadi. Dengan gerakan cepat, Mischa merogoh tas tangannya dan mengambil foto itu lalu memberikannya pada Arsen.

"Ini fotonya sayang," ucap Mischa lembut.

Arsen menggenggam foto Mendy dengan raut wajah bersalah. Mata bonekanya mengerjap beberapa kali sebelum buliran bening terlihat mengalir keluar dari sana.

"Loh Arsen kenapa menangis?" tanya Mischa bingung.

"Maafin Arsen ya Mah... Arsen udah bohong kemarin. Arsen bohong sama semua orang di rusun. Termasuk sama Paman Gilang. Arsen yang minta tolong ke Paman Gilang supaya mengantar Arsen ke Hotel tempat Kak Mendy konser. Arsen bilang, kalau Arsen janjian ketemu sama Mamah di sana, supaya Paman Gilang mau mengantar Arsen. Arsen mau kasih foto dan tanda tangan Kak Mendy untuk hadiah ulang tahun Mamah, Arsen tahu, Mamah suka banget sama Kak Mendy... Hiks... Maafin Arsen ya Mah..." tutur Arsen panjang lebar. Arsen benar-benar menyesal karena sudah membuat sang Mamah kerepotan akibat perbuatannya. Arsen sangat menyayangi Mischa. Bagi Arsen, Mischa adalah hidupnya.

Lelehan air mata Mischa mulai membasahi pipinya kembali meski dengan cepat dia hapus. Mendengar pengakuan Arsen, Mischa sungguh terharu. "Sayang... Terima kasih atas usaha Arsen untuk membahagiakan Mamah. Terima kasih banyak. Tapi, bagi Mamah, keselamatan Arsen yang lebih penting. Mamah tidak mau melihat Arsen terluka cuma karena Arsen ingin memberi kejutan pada Mamah. Lagipula, kenapa Arsen bisa berpikir kalau Mamah menyukai Kak Mendy?"

"Arsen bisa lihat setiap kali Kak Mendy muncul di Tv, pasti Mamah langsung senang melihatnya,"

Mischa tercenung sesaat.

Dia kembali mengingat saat-saat dirinya begitu antusias menatap layar Televisi setiap kali acara infotainment membahas tentang hubungan Mendy dengan Xander.

Sesungguhnya, bukan Mendy yang menarik perhatian Mischa, melainkan Xander. Bagi seorang Mischa, bisa menatap Xander meski hanya lewat layar TV sudah lebih dari cukup mengobati rasa rindunya selama ini. Mischa tahu dirinya memang terlalu bodoh. Dia terlalu diperbudak oleh cinta semunya terhadap Xander. Bahkan sampai detik ini, Mischa tak bisa melupakan malam kebersamaannya dengan Xander lima tahun yang lalu.

Karena bagi Mischa, malam itu, adalah malam terindah dalam hidupnya.

Dengan tangisnya yang merebak, Mischa memeluk Arsen sesaat. Sampai sesak di dadanya menghilang. Mischa tersenyum dengan matanya sembab dan mencubit kecil pipi Arsen. "Arsen memang anak Mamah yang paling hebat," ucapnya dengan suara bergetar.

"Mah..."

"Iya sayang?"

"Apa ini sudah masuk hari ulang tahun Arsen?"

Astaga!

Mischa sampai lupa.

Ya, hari ini adalah hari ulang tahun Arsen. Karena hari ulang tahun Ibu dan anak itu memang hanya berselang satu hari.

"Iya sayang, hari ini sudah masuk hari ulang tahun Arsen. Saking khawatirnya sama Arsen, Mamah sampai lupa,"

"Apa Arsen sudah boleh membuat permintaan harapan?"

"Iya, tentu boleh sayang. Memangnya, Arsen mau meminta apa?"

"Arsen berharap, semoga tahun ini Papah sudah bisa kembali dari sekolah sihir dan berkumpul bersama kita untuk selamanya,"

Lagi dan lagi, Mischa merasakan seperti ada palu raksasa yang menghantam ulu hatinya setiap kali mendengar Arsen membicarakan sosok Papahnya. Selama ini Mischa hanya bisa memberikan janji palsu dan cerita bohong pada Arsen mengenai sosok Ayah kandung Arsen. Mischa sungguh merasa tak berguna. Sebagai seorang Ibu, Mischa tak mampu mewujudkan keinginan Arsen, hingga akhirnya dia hanya bisa memberikan harapan semu pada sang anak tercintanya itu. Lagi dan lagi.

"Karena Arsen adalah anak yang baik, Mamah yakin permintaan Arsen pasti akan dikabulkan oleh Allah, Arsen harus bersabar ya, suatu hari nanti, Papah pasti akan pulang dan akan berkumpul bersama kita di sini,"

"Pasti Papah Arsen itu lelaki yang tampan ya Mah?"

Mischa mengangguk lemah. "Iya sayang. Kalau anaknya saja setampan ini, Papahnya pasti juga tampankan?" canda Mischa di sela tangisnya. Dia kembali mencubit kecil pipi Arsen.

Arsen tertawa. Dia tampak bahagia.

"Sekarang, Arsen istirahat dulu ya, sebelum sarapan paginya datang. Nantikan Arsen harus minum obat,"

"Oke Mamah..."

"Anak pintar,"

"Mamah jangan pergi. Temani Arsen di sini,"

"Iya sayang, Mamah di sini. Mamah tidak akan pergi kemana-mana, tidurlah,"

Mischa sempat mengecup kening Arsen sebelum anak itu kembali memejamkan matanya.

Ditatapnya lekat wajah Arsen dalam tidurnya dengan ke dua tangannya yang tak lepas menggenggam jemari mungil Arsen.

Maafkan Mamah ya sayang... Karena Mamah sudah membohongi Arsen selama ini...

Bisik Mischa membatin.

Dia kembali menangis.

Meski tanpa suara.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Nance Omi Paulina
kenapa ceritanya koq mirip sama drama taiwan yg dibintangi oleh jerri yan ya?
goodnovel comment avatar
Ratna0789
nyesek nya
goodnovel comment avatar
Edmapa Michael Pan
ikin muak aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status