Share

7. Keguguran

Tara sekarang berada di rumahnya, suasana pedesaan, yang tenang dan menyejukkan. Burung-burung saling bersahutan dipagi hari, Tara menghirup udara segar yang mampu membuat tubuhnya rileks dan nyaman. Meskipun masih belum bisa mengerjakan apa pun di rumahnya, tetapi paman dan ayahnya selalu membantu dan merawatnya dengan baik. 

"Tara, makan dulu," ucap pamannya dari dalam rumah. Tara menoleh ke asal suara.

"Iya Paman." Tara masuk lalu duduk di meja makan kecil yang berada di dekat dapur. Sudah ada ubi rebus, kentang rebus dan seteko teh manis.

"Paman tidak makan?" Tara melihat pamannya sudah rapi mau berangkat ke kebun sawit. 

"Sudah tadi, saya berangkat dulu ya, kamu baik-baik di rumah, kalau perlu bantuan, hubungi saya atau kamu ke Mbok Minah, tetangga sebelah ya," pesannya sebelum iya keluar dari rumah mengendarai motor bututnya. 

Tara duduk bersama dengan Fia yang tengah bermain di teras bersama anak Mbok Minah, yang bernama Sekar. Usianya dua tahun sepuluh bulan, hanya beda tiga bulan dengan Fia. Untungnya Fia termasuk anak yang cepat akrab. Mbok Minah ikut duduk sambil membawa sepiring nasi goreng, dan menyuapi Sekar.

"Bapak kamu belum pulang, Ra?" 

"Belum Mbok, Pak Lurah masih ada raker katanya mbok, besok mungkin baru balik dari Surabaya."

"Oh, gitu. Kamu sakit apa sih Ra, kedengaran muntah-muntah terus kalau pagi?"

"Cuma masuk angin Mbok." Mbok Minah curiga Tara hamil, namun ia tak berani bertanya. Karena sepertinya Tara menutupi sesuatu.

Sore menjelang. Motor butut kepunyaan pamannya memasuki halaman luas rumah Tara.

"Assalamualaikum." 

"Wa"alaykumussalam." 

"Ini tadi saya mampir ke kota beli pupuk, liat beginian kayaknya seger." Paman Erik memberikan sebungkus air dingin, Tara mengintip isinya. 

"Ya Allah, Paman. Terimakasih." Tara menangis terharu, Tara mencium punggung tangan pamannya yang terheran-heran melihat Tara kegirangan, padahal cuma es cendol.

"Cuma es cendol Ra, bukan berlian." Erik menggelengkan kepalanya heran. Lalu masuk ke dalam kamar mandi. Dengan cepat Tara menghabiskan segelas besar es cendol. Sesekali Tara menyuapi Fia yang ternyata juga menyukai rasanya. Sehabis melahap es cendol, Tara sedikit bersemangat. Dia pergi ke dapur untuk mencuci piring lalu menyapu rumah. 

Paman Erik memperhatikan, keponakannya dengan seksama.

"Kamu sudah sembuh?" 

"Sudah Paman, berkat es cendol." 

"Ha ha ha ...," suara tawa lelaki itu menggema.

"Kamu ada-ada saja Ra ...Ra ...." Tara ikutan menyeringai melihat tawa pamannya. Baru segar sedikit rasa tubuhnya Tara melanjutkan kegiatan menyapu rumahnya, tiba-tiba pandangan Tara berkunang-kunang.

Buugh!

Tara terjatuh, Paman Erik meneriakkan namanya. Lalu dengan cepat membawanya ke klinik terdekat yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggal Tara. Paman Erik menitipkan Fia di rumah Mbok Minah, dan meminjam mobil bak suami Mbok Minah, untuk membawa Tara ke dokter.

"Suami ibu Tara." Paman Erik kaget. Lalu berdiri dari kursi tunggu. 

"Sayaaa ...." belum sempat Erik melanjutkan ucapannya, sudah dipotong oleh perawat.

"Istri Bapak, mengalami anemia, ini tidak baik bagi kondisi ibu dan bayinya." Paman Erik terdiam, jadi benar feelingnya bahwa Tara pasti menyembunyikan sesuatu.

"Jadi bagaimana sebaiknya, Dok?" tanya paman Erik melanjutkan aktingnya sebagai suami keponakannya.

"Minum vitamin hamilnya, minum susu ibu hamil, tidak terlalu stres dan makan-makanan bergizi," terang dokter. 

"Baik Dok, terimakasih." Paman Erik mengangguk. 

Paman Erik melakukan sambungan telpon dengan bapak Tara. Mengabarkan kalau Tara sedang kurang sehat dan sekarang sedang di klinik.

"Saya kenapa, Paman?" tanya Tara lemah, sesaat setelah Tara sadar. Ia memperhatikan sekelilingnya. Erik menoleh.

"Kamu hamil, kenapa gak bilang Paman dan Bapakmu?" 

"Mmm ... itu, saya tidak mau Paman dan Bapak khawatir." 

"Apa suamimu juga tidak tahu kalau kamu hamil?"

Tara mengangguk. Kini air matanya sudah merembes.

"Resiko menjadi istri kedua, sabar," kata itulah yang diucapkan pamannya, sebelum pamannya beranjak pergi dari ruangan Tara.

****

Zaka terpaksa berbohong pada Mei, mengatakan bahwa Zaka sedang ada meeting dengan klien, dan pulang lembur hari ini. Padahal Zaka ingin memastikan keadaan Tara yang sudah sepekan tidak bisa dihubungi. Sudah sepekan juga Zaka mendadak gagal fokus karena Tara.

Zaka sudah memasuki area perumahan Tara.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Zaka berharap Tara sudah ada di rumah, namun nihil. Rumah Tara gelap. Hanya lampu teras yang menyala. Zaka memarkirkan mobilnya di depan rumah Tara. Keluar dari mobil lalu mengintip ke jendela rumah Tara, tampak kosong.

"Cari siapa Pak?" tanya seorang ibu yang kebetulan lewat depan rumah Tara.

"Mbak Taranya ke mana ya, Bu?" 

"Bapak siapa?"

"Mmm ... saya suaminya," kelu rasanya lidah Zaka saat mengucapkannya.

"Oh, Bu Tara ada suaminya toh, saya kirain ga ada, soalnya gak pernah lihat!" ketus ibu itu sambil melirik tajam kepada Zaka.

"Bu Tara sudah pindah Pak, ga tahu ke mana. Rumah ini dikontrakkan sekarang." 

Zaka terdiam. Apa yang sebenarnya terjadi pada Tara?

"Tapi apa saya boleh melihat isi rumahnya Bu, saya mau mengambil barang saya yang tertinggal," alasan Zaka. Sang ibu memberitahukan bahwa kunci rumah Tara dititipkan di rumah Bu Yosi. Segeralah Zaka meminta izin kepada Bu Yosi untuk masuk ke rumah Tara. Tanpa berkata apapun Bu Yosi, memberikan kunci rumah Tara, kepada Zaka.

Benar saja, tak ada selembar baju pun yang berada dalam lemari Tara dan Fia. Hanya ada selembar baju kaos milik Zaka, satu buah kemeja kerja Zaka dan satu buah boxer. Zaka membuka laci lemari. Pandangannya bertemu pada selembar foto pernikahan siri antara dirinya dengan Tara waktu itu. 

Apakah aku membuat kesalahan padanya, sehingga ia pergi? tapi bukankah itu bagus. Tandanya bebanku sedikit berkurang. Yah sudahlah,mungkin ini sudah keputusannya. Aku jadi bisa fokus pada Mei dan anak kami. Suatu saat jika aku bertemu dengannya, aku akan menalaknya, karena dia sudah meninggalkanku terlebih dahulu, jadi bukan salahku juga.

Zaka keluar dari rumah Tara, sambil membawa sisa pakaiannya yang tertinggal di rumah Tara. Setelah mengunci pintu rumah, Zaka mengembalikan kunci tersebut ke rumah bu Yosi. Langkahnya lebih ringan, senyumnya pun merekah, saat masuk ke dalam mobil.  Bu Yosi memperhatikan dengan geram. Benar-benar lelaki bangsat!!

****

"Papa ia, kelja ya Ma?" 

Tara mengangguk. Tara mengusap rambut Fia.

"Telpon Papa Ma, ia kangen," rengek Fia. 

"Ponsel Mama rusak sayang, nanti kalau sudah dibenerin kita telpon papa ya."Tara beralasan, nafasnya tampak gusar. Anak perempuannya merindukan Zaka.

"Jadi sekarang kamu dan Fia bagaimana?" suara bapak Tara membuat Tara menoleh. Yah sejak saat itu, bapak Tara mengetahui semuanya. Namun tidak sepenuhnya, Tara masih menjaga nama baik Zaka, dihadapan bapaknya.

"Sebaiknya kamu pulang Nduk, jangan sampai suamimu berpikir yang tidak-tidak."

"Tidak Pak, Tara mau di kampung saja," tegas Tara menolak. 

"Mas Zaka sudah bahagia dengan istri dan calon anak mereka Pak, tak mungkin Tara merusaknya."

"Trus anak yang dalam perut kamu itu bagaimana?dia juga anak Zaka." 

"Dia anak Tara Pak, hanya anak Tara." Lembut Tara mengusap perutnya. Lalu pergi dari hadapan bapak dan juga pamannya, Tara tersedu masuk ke dalam kamar.

"Tau gitu, aku tidak akan setuju pernikahan mereka, Rik!" tampak raut wajah kesal Pak Danu.

"Sudah terjadi, Mas. Sekarang bagaimana cara kita menenangkan hati Tara? karena pasti dia yang lebih kecewa pada Zaka, jangan sampai bayinya tertekan di dalam perutnya".

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kondisi kehamilan Tara semakin baik, perutnya cukup besar. Tak pernah sekalipun Tara mengeluh atas kondisinya, yang hamil tanpa suami di sampingnya. Paman dan bapaknya senantiasa merawat, menjaga dan menyenangkannya. Walaupun belakangan ini penyakit diabetes kembali merongrong tubuh bapak Tara.

"Setelah Tara melahirkan, kamu mau kan menikahinya?" 

"Aku takut umurku tidak panjang. Bagaimana dengan anak dan cucuku?tidak ada siapapun yang menjaga mereka."

Tara tertegun dari balik tirai kamar bapaknya, mendengar ucapan bapaknya pada paman Erik, ucapan itu benar-benar membuat Tara sangat sedih.

Sementara itu.

"Maaf Pak, kami tidak bisa berbuat banyak. Bayi bapak terpaksa kami keluarkan!" 

Duuuaarr!!

Bagai petir mengegelegak di tengah matahari terik. Mei terpeleset di kamar mandi kantornya, sehingga jatuh terjerembab. Membuat Mei kehilangan bayinya. Zaka terpukul dan merasa sangat sedih, penantian itu sia-sia. Kini bayinya yang berusia enam bulan di dalam perut Mei sudah tidak ada lagi. 

Sungguh Zaka sudah melarang Mei untuk tidak bekerja, karena perutnya semakin besar. Zaka tidak ingin beresiko. Namun Mei keras kepala tetap ingin bekerja, hingga terkadang pulang malam. Sampai terjadilah peristiwa hari ini. Dimana Zaka memandang jenazah bayinya yang masih sangat kecil,terbungkus kain kafan. air matanya merembes. Anak yang begitu dinantikan, pergi meninggalkanya dan juga Mei.

*****

Rasakan!!! 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
damnn_
baru x ini ada otor yg begitu kesumat sama tokohny sendiri. Ngapain diciptain coba kalo gedeg sendiri aku bukannya kesel malah jadi nyengir nahan tawa
goodnovel comment avatar
Ungki Widiyarto
authornya kayaknya dendam sama lelaki...hehehe...maaf
goodnovel comment avatar
Willny
zaka ud talak tara blm? secepatnya aj talak kasian sih sama Mei, zaka yg berbuat anak Mei yg kena karmanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status