Ali mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia sedang mengejar waktu sebab waktu yang dia punya, sungguh terbatas.
Berulang kali dia mengerutu atau menekan klakson tak henti-henti ketika ada pengendara lain yang menghalangi jalannya.Ali sangat menyesali keputusannya yang datang terlambat. Andai saja sedari awal dia tidak plin-plan dan menolak semua ajakan-ajakan Lena. Setelah dia berbincang cukup lama dengan Abdu, barulah Ali menyadari, perasaan ragu yang sempat datang ketika bertemu Lena ialah bersifat sementara."Itu cuma rasa penasaranmu aja, Li. Karena kamu dulu menyukai Lena dan gak pernah menjalin hubungan dengannya. Kamu akan sadar mencintai siapa bila orang tersebut pergi meninggalkanmu. Kamu akan merasa baik-baik aja atau nelangsa."Sekarang, itu lah yang Ali rasakan, nelangsa. Ketika Freya datang ke kantornya membawa kabar bahwa Gauri akan pergi meninggalkannya, pikirannya seketika kalut. Hatinya gelisah. Ali sedang tidak baik-baik saja.Puluhan unit tenda terbentang luas memenuhi halaman rumah Freya. Bunga-bunga nan harum dan berwarna-warni ditata sedemikian rupa di tiap sudut: tenda, meja prasmanan, ruang tamu sebagai tempat ijab kabul. Kain-kain serta hiasan yang tergelar bernuansa nilakandi dan abu-abu, warna kesukaan Freya, menjadi tema utama.Di kamarnya, teman dan kerabat terdekat berkerumun, mengobrol bahkan memerhatikan gadis itu yang sedang dihiasi jari-jarinya menggunakan inai instans.Gauri juga berada di sana. Freya memintanya untuk datang, sebab malam ini akan diadakan doa selamat agar acara yang berlangsung esok hari berjalan dengan lancar."Kamu deg-deg'an, gak?" Gauri berbisik di dekatnya.Freya tersipu. "Ya, jelas dong. Duh!" Dia mengembuskan napas panjang. Sebenarnya bukan sejak itu saja, tetapi sedari ketika Freya menerima lamaran Abdu, kekasihnya itu."Santai aja, kan, bukan yang pertama." Gauri terkikik."Ya, kan, beda, Gauri." Freya memutar bola matany
Suasana bandara ramai seperti biasa. Di antara orang-orang yang berlalu lalang mengejar waktu keberangkatan pesawat mereka, ada sepasang pengantin baru yang berjalan santai ke arah konter check-in keberangkatan.Akan tetapi, ada yang berbeda pada wajah Freya. Dia tidak semringah seperti ketika hendak jalan-jalan atau ke tempat-tempat baru seperti sebelum-sebelumnya. Bibirnya mencebik, raut wajahnya masam, berulang kali dia menggerutu sejak tadi."Mereka yang kasih tiket perjalanan ini sebagai kado pernikahan, eh, malah mereka gak ada kabar. Gimana, sih, padahal gak ada salahnya, kan, cuma nganterin ke bandara doang?"Abdu tersenyum geli sekaligus geleng-geleng kepala mendengarkan gerutuan istrinya. Dia mengecup pelan kepala Freya sembari menepuk-nepuk pundaknya berbalut gemas."Mungkin mereka sibuk, Yank. Kan Gauri lagi ngidam, lagi mabuk-mabuknya. Bisa jadi Ali juga lagi sibuk urus pekerjaan di kantor. Jadi mereka gak sempat antar kita hari ini."
"Iya sayang. Besok kita ketemu, ya."Rasanya jantungku seakan berhenti berdetak saat tak sengaja menangkap obrolan Mas Abdu—suamiku—yang sedang berbicara via telepon entah dengan siapa, di ruang tamu rumah kami.Saat ini aku terbangun karena ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ketika kakiku baru selangkah keluar kamar, suara Mas Abdu terdengar di telinga meski suamiku itu terkesan berbisik.Aku menatap jam dinding. Pukul 01.00. Pantas saja Mas Abdu sering bangun kesiangan. Ternyata ini yang dia lakukan tiap malam.Tak jadi ke kamar mandi, aku memilih mendatangi Mas Abdu ke ruang tamu. Sengaja langkah kaki kuseret supaya terdengar olehnya."Eh, Mama. Tumben bangun, Ma?" Kulihat dia gelagapan, bergegas mengubah posisi menjadi duduk padahal tadi sebelumnya dia sedang menyandarkan kepala di pegangan sofa merah marun ruang tamu."Aku kebangun, Pa, karena banyak nyamuk di kamar. Papa sendiri, kok, jam segini belum tidur? Bukannya besok mas
Seperti biasa Mas Abdu berangkat ke kantor pukul 07.00. Setelah yakin sedan putihnya berjalan pergi, aku kembali ke ruang makan, meraih gawai di atas meja kemudian mencari nama Niko—adikku—di daftar kontak. Lalu dalam hitungan detik aku sudah melakukan panggilan ke nomornya."Assalamualaikum, Dek! Kamu sibuk nggak hari ini?" Tanpa membuang waktu aku langsung bertanya pada dia yang mengangkat panggilan teleponku di menit pertama."Nggak, Mbak. Kenapa?""Kamu bisa nggak anterin mbak hari ini?" Aku balik bertanya."Bisa. Emang Mbak mau ke mana?""Nanti aja mbak kasih tau kalo kamu udah tiba di sini. Mbak mau beres-beres rumah dulu. Kalo udah kelar, Mbak telepon kamu lagi, ya?""Oke, Mbak."Aku mematikan panggilan telepon, membuang napas kasar kemudian meraih sapu dan kemoceng. Tunggu saja kamu Mas Abdu. Aku akan mengintai gerak-gerikmu hari ini. ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tingkahmu di luaran sana. Enak saja. Sed
"Lebih baik sekarang Mas jujur, untuk siapa buket bunga dan pakaian wanita yang Mas beli tadi sore?" Aku bertanya dengan nada tinggi dan begitu tiba-tiba. Mas Abdu sontak kaget dan menatapku dengan wajah yang tak biasa.Namun, sedetik berikutnya wajah Mas Abdu berubah sinis. "Oh, bagus! Ternyata benar dugaan saya." Mas Abdu buka suara, sedikit menunduk kemudian membuka laci meja kerja di depannya. Dia mengeluarkan buket bunga yang tadi kulihat dan juga sebuah kado terikat pita merah jambu."Sengaja saya simpan. Rencananya buat kejutan nanti malam. Tepat di hari ulang tahun pernikahan kita." Selesai berbicara rahang Mas Abdu mengeras. Jika sedang marah dia akan menyebut dirinya dengan kata ‘saya’.Tanganku yang sejak awal berkacak pinggang, seketika terhempas ke sisi badan. Syok tentu saja. Rasa cemburu telah membuatku lupa segalanya, termasuk ulang tahun pernikahan kami yang jatuh pada hari esok.Rasa bersalah membuatku jadi salah tingkah. Apalagi saat me
Aku berdiri di sisi tempat cucian piring. Tanganku bertumpu pada tepiannya. Aku sedikit termenung sebab masih terngiang di pikiran perihal omongan Bu RT saat di warung sayur tadi pagi. Meski sudah berusaha seolah tidak terjadi apa-apa, tetap saja hatiku gundah saat ini.Bahkan untuk melakukan kegiatan yang kusuka saja—yaitu memasak—aku sedikit malas-malasan. Biasanya dengan semangat, aku selalu mencari resep menu-menu baru di internet untuk kusajikan buat putra semata wayangku, Taksa.Sayur oyong yang kubeli tadi, tergeletak di atas meja makan, masih berada di dalam kantong plastik bersama bahan-bahan yang lain. Melangkah ke meja makan, kutarik salah satu kursi lalu duduk di sana.Melirik ke jam dinding dapur, kulihat pukul sepuluh kurang lima belas menit. Aku mengembuskan napas berat. Sebentar lagi aku harus menjemput Taksa dari sekolahnya. Mana sempat memasak kalau begini.Meraih kantong plastik belanjaan tadi, kubawa menuju kulkas. Membuka pintunya, ke
"Kenapa Mas nggak cerita padaku bahwa Mas sudah bertemu dengan Freya?" Aku menunjukkan foto yang terpampang di aplikasi W******p.Melihat foto yang terpampang di ponselku, raut wajah Mas Abdu berubah. Dia menelan ludah kemudian dia segera mengambil duduk di sofa single di hadapanku."Mama dapat foto itu dari mana?" Jakunnya terlihat naik turun, pertanda dia menelan ludah berkali-kali dan gugup."Sebuah nomor asing mengirimkannya tadi siang," jawabku ketus. "Apa Mas bisa mengelak lagi setelah melihat foto ini?""Bukan begitu, Ma." Mas Abdu berhenti sejenak. "Kami memang bertemu. Itu pun hanya sekali. Freya meminta tolong pada Papa untuk memeriksa listrik di rumahnya. Saat itu Papa sedang makan siang seorang diri dan kami nggak sengaja bertemu." Mas Abdu menunduk, menatap kaki meja di depannya. Hah! Kelihatan sekali jika dia sedang berbohong. Omongannya berbelit-belit."Kenapa nggak menghubungi admin kantor saja, Mas? Kenapa Mas yang harus menangani
Aku mengendarai lagi laju motor ke arah sekolah Taksa dengan benak yang berkecamuk. Di satu sisi aku marah pada Mas Abdu yang sudah mengarang cerita dan kebohongan. Di sisi yang lain ada perasaan malu serta rasa bersalah pada diri Freya.Setelah tiba di tanah lapang tepat di depan warung makanan Bu Haji, kuparkirkan motor di sana. Mengunci setang motor, aku melangkah mendekati Mama Joshua yang sedang duduk sendirian."Kok, sendirian, Mama Joshua? Mana yang lain?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan.Wanita berusia setengah abad berdarah Batak itu menjawab, "Iya ... yang lain tadi pada pulang. Saya malas pulang, Mama Taksa. Nanggung banget. Lebih baik saya nunggu di sini aja."Aku meraih ponsel di kantong celana, membuka layarnya dan melihat jam digital. Lima belas menit lagi anak-anak akan keluar kelas.Tak lama setelah aku mengambil duduk di sebelah Mama Joshua, seorang ibu-ibu lain datang mendekat dan ikut bergabung. Dia mengendong anaknya yang