Share

Wanita Simpanan Suamiku
Wanita Simpanan Suamiku
Penulis: Narpendyah Kahurangi

1. Bahan Gunjingan Bu RT

"Iya sayang. Besok kita ketemu, ya."

Rasanya jantungku seakan berhenti berdetak saat tak sengaja menangkap obrolan Mas Abdu—suamiku—yang sedang berbicara via telepon entah dengan siapa, di ruang tamu rumah kami.

Saat ini aku terbangun karena ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ketika kakiku baru selangkah keluar kamar, suara Mas Abdu terdengar di telinga meski suamiku itu terkesan berbisik.

Aku menatap jam dinding. Pukul 01.00. Pantas saja Mas Abdu sering bangun kesiangan. Ternyata ini yang dia lakukan tiap malam.

Tak jadi ke kamar mandi, aku memilih mendatangi Mas Abdu ke ruang tamu. Sengaja langkah kaki kuseret supaya terdengar olehnya.

"Eh, Mama. Tumben bangun, Ma?" Kulihat dia gelagapan, bergegas mengubah posisi menjadi duduk padahal tadi sebelumnya dia sedang menyandarkan kepala di pegangan sofa merah marun ruang tamu.

"Aku kebangun, Pa, karena banyak nyamuk di kamar. Papa sendiri, kok, jam segini belum tidur? Bukannya besok masih bekerja? Bicara dengan siapa tadi?" Aku mencecar.

"Klien, Ma." Mas Abdu salah tingkah menatap ponselnya.

"Jam segini?" Aku mengulang sembari melipat kedua tangan di depan dada. Aku tidak akan menyerah untuk menyudutkannya sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan.

"Iya. Tadi klien itu lihat papa masih online di W******p, makanya langsung nelepon." Mas Abdu menjawab, tetapi matanya yang sipit menatap ke arah lain.

"Dengan klien, kok, pake ngomong sayang segala?"

"Sayang? Perasaan papa nggak ada ngomong sayang, deh, Ma." Mas Abdu membantah. "Oh, iya. Tadi papa ada ngomong 'sayang kalo kesempatan ini dilewatkan' mungkin itu kali, Ma."

Ck! Pintar sekali dia.

Suamiku bekerja sebagai kepala teknisi di sebuah perusahaan listrik milik negara. Pekerjaannya ini berhubungan dengan banyak orang. Meski jam kerjanya seperti karyawan pada umumnya, namun Mas Abdu harus standby 24 jam. Sehingga dia harus siap siaga jika jasanya segera dibutuhkan, walau di malam hari sekali pun.

Jadi aku percaya saja dengan perkataan Mas Abdu barusan. Biarkan saja jika dia berbohong kali ini. Lain kali aku pasti bisa mengetahui jika dia berulah. Toh, pepatah lama mengatakan, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti bakal tercium juga, bukan?

Sesungguhnya sudah sejak lama aku merasakan kecurigaan. Semenjak dia naik jabatan dan punya banyak uang. Sikapnya banyak berubah secara drastis.

Suamiku itu kerap kali berbicara sembunyi-sembunyi. Ponsel tak pernah lepas dari genggamannya. Bahkan pernah dia bawa ke dalam kamar mandi. Taksa, anakku yang berusia lima tahun pernah memergokinya sering tersenyum sendiri jika sedang berbalas pesan dengan seseorang di ponselnya itu.

Aku masih berdiri memerhatikannya. Mungkin karena tatapanku yang penuh kecurigaan, suamiku menyerah dan segera bangkit, berjalan menuju ke kamar.

***

"Papa berangkat kerja dulu ya, Ma." Mas Abdu pamit sembari menyodorkan tangan kanan untuk kucium. Setelah itu dia mengelus kepala Taksa lalu mengecupnya. "Taksa titip apa? Nanti papa belikan!" Mas Abdu membungkuk berbicara dekat dengan anak semata wayang kami.

"Ayam goreng, Pa. Kayak biasa." Pipi Taksa yang gembil semakin membulat senang ketika Papanya memberi perhatian.

"Baik sayang. Jangan nakal, oke. Belajar yang rajin, ya. Dengerin dan nurut semua kata Mama." Mas Abdu memberi nasehat pada Taksa sebelum dia berlalu pergi bersama sedan putihnya.

Itulah Mas Abdu. Dia seorang ayah yang sayang dan perhatian. Dia juga tidak segan membantu pekerjaan rumah. Itu sebabnya aku berusaha membuang jauh-jauh rasa kecurigaan yang mendera batinku atas perubahan sikapnya baru-baru ini.

***

Setelah mengantar Taksa ke sekolah, aku mampir ke warung sayur yang berada tidak jauh dari rumah. Terlihat ibu-ibu di sana sudah berkumpul untuk belanja. Salah satunya Bu RT, yang terkenal akan pribadinya yang suka bergunjing. Kadang aku merasa heran, atas dasar apa warga memilihnya sebagai ketua RT.

"Eh, Mbak Gauri. Mau belanja, Mbak?" Bu RT yang pertama kali menyapa saat aku turun dari motor. Aku tau dia hanya basa-basi. Sesungguhnya aku malas sekali harus bertemu dengannya setiap ke warung ini. Akan tetapi, mau bagaimana lagi. Warung sayur ini merupakan warung terlengkap dan terdekat dari rumahku. Seandainya ada warung yang lain, kupastikan akan belanja di warung itu dan menghindari wanita yang suka bergosip ini.

"Iya, Bu." Aku menjawab singkat dan tersenyum. Hanya sekadar menghormatinya saja. Sebab usianya jauh di atasku. Aku langsung menuju tumpukan sayuran yang tersusun di atas meja kayu. Memilih-milih sambil memikirkan menu apa yang akan kuhidangkan untuk suami dan anakku hari ini.

"Mbak Gauri tau nggak, si Freya baru saja kembali ke kampung kita," lanjut Bu RT memulai bahan gosip hari ini. Ah ... padahal aku sudah berusaha acuh. Namun, dia ini sungguh tidak peka.

"Freya?" Aku mengerutkan dahi mencoba mengingat.

"Iya, Freya. Bunga desa kampung kita dulu. Yang menikah lalu diboyong suaminya ke Jakarta. Masak Mbak Gauri lupa, sih?" Bu RT menatapku, tersenyum penuh arti sambil menjawil ibu-ibu di sebelahnya.

Ah, iya. Aku baru ingat. Freya adalah gadis populer di kampung ini pada masanya. Dulu aku sempat dikenalkan oleh temanku. Siapa yang tak ingat gadis manis berambut panjang lurus dan berkulit putih itu. Setiap pemuda di sini dulunya mengejar dan tergila-gila padanya. Termasuk Mas Abdu suamiku.

"Oh ... Freya. Iya saya ingat Bu RT. Kebetulan saya juga mengenalnya."

"Bagus, deh, kalo Mbak Gauri udah kenal perempuan itu. Setidaknya dia bakal segan nggak bakal menggoda papanya Taksa," lanjut Bu RT lagi.

"Menggoda? Kan Freya punya suami, Bu." Kali ini aku benar-benar tak tahan dengan omongan Bu RT. Karena seingatku, Freya tidak seperti itu. Walau sebenarnya, aku agak khawatir mengingat suamiku dulu pernah menjalin hubungan istimewa dengannya.

"Ssstttt ... masak Mbak Gauri belum tau? Dia baru saja menjanda, Mbak. Makanya dia kembali ke sini. Ke rumah ibunya." Bu RT mencoba berbisik seraya menangkup sebelah tangan ke mulut, tapi siapapun yang berada di warung ini pasti bisa mendengar ucapannya.

Aku terdiam. Tidak tau jawaban apa yang akan kuberikan pada Bu RT. Akhirnya kuhiraukan saja dia, lantas melanjutkan memilih bahan-bahan yang akan kumasak hari ini. Meski sebenarnya, aku sedikit penasaran akan ucapan Bu RT barusan. Tapi sudahlah. Itu bukan urusanku. Setelah memilih dan membayar, aku pamit pada ibu-ibu di sana lalu bergegas pergi bersama motorku.

***

Siang ini aku tak bisa tidur siang. Padahal Taksa sudah terbaring pulas di sebelahku sedari tadi. Untuk menghilangkan kejenuhan, kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas sebelah tempat tidur. Lalu iseng membuka akun F******k yang jarang tersentuh jempolku.

Terdapat satu permintaan pertemanan di sana. Sebuah akun dengan nama Freya Maheswari. Penasaran, aku cek terlebih dahulu profil akun tersebut. Ternyata Freya, orang yang jadi bahan gunjingan Bu RT tadi pagi. Aku mengklik tanda konfirmasi, menerima permintaan pertemanannya.

Aku iseng mengintip beranda akun perempuan itu. Freya jarang membuat status. Hanya foto-foto diri yang dia post setiap hari. Kuakui dia tambah cantik karena memang pada dasarnya dia cantik.

Tubuhnya yang ramping terbalut kulit putih mulus. Rambut hitam lurus tergerai hampir sepinggang. Bibir penuh berisi kesukaan para lelaki. Matanya yang tajam namun agak sipit, sering menghilang jika perempuan itu tertawa.

Ada satu hal yang membuatku kaget. Ternyata Freya sudah berteman dengan Mas Abdu terlebih dahulu. Terlihat dari daftar teman bersama antara aku dan Freya, ada nama Mas Abdu di sana.

Sebuah pertanyaan muncul di benak. Siapakah yang lebih dulu mengirimkan permintaan pertemanan antara mereka berdua? Mas Abdu, kah, atau jangan-jangan Freya?

Aku menggelengkan kepala, mencoba menghalau pikiran yang tidak-tidak. Aku tak boleh curiga tanpa dasar dan tidak boleh memvonis sebelum adanya bukti yang nyata.

***

Sorenya Mas Abdu pulang kerja sedikit telat. Dia terlambat satu jam dari biasanya, tapi dia tak lupa dengan pesanan Taksa, ayam goreng kesukaan putranya itu. Setelah memberikan pesanan Taksa, Mas Abdu bergegas untuk mandi.

Tring!

Ponsel Mas Abdu yang terletak di meja televisi berbunyi tanda ada sebuah pesan yang masuk. Entah kenapa, rasa penasaran membuatku meraih benda pipih itu dan membukanya. Terdapat sebuah pesan Messenger yang tertera di layar utama. Kubaca nama pengirimnya. Freya Maheswari.

[Udah sampai rumah, Kak?]

Kubaca pesan itu berulang kali seraya mengerutkan dahi. Aku langsung paham arti dari pesan itu. Ternyata mereka berdua sering berkomunikasi tanpa sepengetahuanku.

Suara pintu kamar mandi yang dibuka terburu-buru, membuatku bergegas meletakkan kembali ponsel Mas Abdu ke tempat semula. Kulihat dia masih berbalut handuk meraih ponselnya.

Sambil tersenyum Mas Abdu menatap layar benda itu dan segera menghilang ke dalam kamar. Sungguh, aku tidak menduga suamiku bisa berkhianat dan main serong di belakangku. Padahal, aku adalah istri yang mendukungnya sedari nol di saat dia tidak memiliki apa-apa, harta maupun jabatan.

Tunggu saja kamu, Mas. Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan memergoki dan mengumpulkan bukti perselingkuhanmu. Awas kau nanti. Tiba-tiba saja sebuah rencana muncul ke dalam pikiranku.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status