Share

2. Membuntuti Mas Abdu

Seperti biasa Mas Abdu berangkat ke kantor pukul 07.00. Setelah yakin sedan putihnya berjalan pergi, aku kembali ke ruang makan, meraih gawai di atas meja kemudian mencari nama Niko—adikku—di daftar kontak. Lalu dalam hitungan detik aku sudah melakukan panggilan ke nomornya.

"Assalamualaikum, Dek! Kamu sibuk nggak hari ini?" Tanpa membuang waktu aku langsung bertanya pada dia yang mengangkat panggilan teleponku di menit pertama.

"Nggak, Mbak. Kenapa?"

"Kamu bisa nggak anterin mbak hari ini?" Aku balik bertanya.

"Bisa. Emang Mbak mau ke mana?"

"Nanti aja mbak kasih tau kalo kamu udah tiba di sini. Mbak mau beres-beres rumah dulu. Kalo udah kelar, Mbak telepon kamu lagi, ya?"

"Oke, Mbak."

Aku mematikan panggilan telepon, membuang napas kasar kemudian meraih sapu dan kemoceng. Tunggu saja kamu Mas Abdu. Aku akan mengintai gerak-gerikmu hari ini. ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tingkahmu di luaran sana. Enak saja. Sedangkan aku sendiri, lihatlah. Hendak keluar saja harus bebenah isi rumah dulu. Huh!

***

"Sebenarnya kita mau kemana, sih, Mbak?" Niko bertanya sambil menyetir. Dia fokus menatap jalanan di depannya.

"Mbak mau mengintai Mas Abdu, Dek," jawabku sembari sesekali melirik ke Taksa yang sedang tertidur pulas di jok belakang. Kasihan anakku itu. Dia terpaksa tidur siang di dalam mobil pamannya. Jika saja bukan karena ulah si papa, saat ini Taksa pasti sedang tidur nyaman di ranjang tidurnya.

"Mengintai?" Dahi Niko berkerut pertanda bingung.

"Sikap kakak iparmu itu beberapa hari ini mencurigakan," jawabku. "Tiap malam selalu begadang. selalu berlama-lama di ruang kerja. Pernah dua kali mbak pergoki dia sedang berbicara dengan seseorang via telepon. Padahal waktu itu udah tengah malam. Entah dengan siapa." Aku menggerutu panjang lebar.

"Mungkin lagi teleponan dengan klien, Mbak. Kan Mas Abdu tenaganya dibutuhkan seharian full alias 24 jam. Iya, kan?" Sepertinya Niko mencoba berpikir positif.

"Tapi yang Mbak dengar dia panggil 'sayang-sayang', Dek. Itu bukan hal yang wajar."

"Sayang?"

"Dan pas mbak tanya ke dia, ada aja alasannya. Kamu tau sendiri, kan, kalo Mas Abdu itu pintar berkilah."

"Terus sekarang tujuan kita kemana ini, Mbak?"

"Ke kantor Mas Abdu aja dulu. Kita parkirin mobil dari jarak jauh. Nanti kita ikuti kemana dia pergi sehabis pulang dari kantor."

"Aku ikut perintah Mbak aja, deh. Tapi aku berharap semoga kecurigaan Mbak nggak terbukti." Niko menggaruk kepala. Tampaknya adikku satu-satunya itu tak dapat menolak kehendak dari sang kakak perempuan.

***

Niko memarkirkan mobil tepat di bawah pohon yang rindang. Tempat yang tidak mencurigakan jika dilihat dari kantornya Mas Abdu. Sedari tadi pandanganku tak lepas dari bangunan tiga lantai itu, mengawasi dan mencari sosok pria yang kunikahi tujuh tahun yang lalu. Kulirik jam di layar ponsel. Biasanya lima menit lagi Mas Abdu sudah turun dari lantai dua di mana kantornya berada.

Benar saja, sosoknya terlihat menuju ke parkiran yang terletak di halaman gedung kantor. Dia melangkah santai tapi tegap sebagaimana ciri khas caranya berjalan. Aku memerintah Niko agar bersiap-siap. Sebab kulihat Mas Abdu sudah masuk ke dalam mobilnya. Kemudian sedan putih itu perlahan meninggalkan area parkir.

Kami menjaga jarak aman agar tidak mencurigakan. Aku sangat yakin, Mas Abdu tidak langsung menuju ke rumah. Sebab jalan yang dia lewati saat ini tidak mengarah ke sana.

"Kamu lihat sendiri kan, Ko, ini bukan jalan menuju ke rumah Mbak." Aku tersenyum sinis. "Pasti dia ingin bertemu dengan selingkuhannya itu."

"Istighfar, Mbak. Nggak boleh berburuk sangka dan jangan ikuti nafsu amarah. Kita cari bukti dulu. Mbak nggak boleh menuduh tanpa alasan." Niko menenangkan.

"Kok kamu jadi bela Mas Abdu, sih. Kamu adiknya Mbak atau dia?" Aku mencebik.

"Bukan begitu. Aku hanya ingin Mbak berpikir dengan kepala dingin dan nggak salah bertindak." Niko berbicara dengan suara lembut dan mendamaikan hati. Ucapan Niko barusan ada benarnya juga. Aku terlalu mengikuti rasa curiga. Tapi kecurigaanku bukan tanpa dasar. Sikap dan perbuatan Mas Abdu lah penyebabnya.

Aku memilih diam untuk sementara dan terus mengawasi sedan Mas Abdu yang terus melaju. Tepat di sebuah toko bunga, dia memarkirkan mobilnya. Tampak dia melangkah masuk ke dalam toko itu. Sepuluh menit kemudian dia keluar dengan sebuah buket bunga mawar yang sangat indah. Wajahnya semringah sambil menghidu seikat bunga di tangan. Lantas kembali masuk ke sedan putihnya dan melaju.

"Tuh, kamu lihat, kan. Barusan dia beli bunga. Untuk siapa coba? Tujuh tahun menikah dia sama sekali nggak pernah kasih bunga ke Embak, Dek. Siapa lagi kalo bukan untuk selingkuhannya," ujarku berapi-api.

"Iya-iya, Mbak. Kita ikuti dia, oke." Kali ini Niko tidak membantah.

Mobil kami terus melaju mengikuti ke mana jalannya mobil Mas Abdu. Jalur yang ditempuh semakin menjauhi jalan menuju rumah kami. Kali ini terlihat Mas Abdu berhenti dan memasuki sebuah butik pakaian wanita yang mewah. Dadaku menggelegak. Tentu uang yang dihabiskan suamiku itu tidaklah sedikit untuk membeli gaun-gaun yang sangat mahal harganya.

"Ini udah kelewatan, Dek. Mbak mau samperin Mas Abdu sekarang juga." Tangan kiriku sudah meraih pegangan pintu mobil dan bersiap membukanya. Tapi, Niko berhasil mencegah.

"Jangan sekarang, Mbak. Kita belum punya banyak bukti." Niko menahan pergelangan tanganku yang lain.

"Kurang bukti apalagi? Buket bunga dan pakaian wanita, apa itu masih belum bisa dijadikan bukti, Dek?" Kutepis tangan Niko.

"Hanya buket bunga dan pakaian, Mbak. Bisa aja nanti Mas Abdu berkilah barang-barang itu untuk Mbak, kan." Lagi-lagi ucapan Niko benar.

Ah, bodohnya kamu Gauri. Aku merutuk dan dongkol sendiri dalam hati. Aku harus bisa menahan diri lebih lama hingga Mas Abdu dan selingkuhannya bertemu di depan mataku. Dengan begitu aku punya bukti yang bisa memberatkan dirinya.

Mobil kami terus melaju. Namun, jalur yang dipilih Mas Abdu kali ini menuju rumah. "Nah, kan. Apa aku bilang. Seandainya tadi Mbak turun marah-marah melabrak Mas Abdu, yang ada hanya rasa malu yang Mbak dapatkan." Niko nyengir.

"Diam kamu, Dek," ujarku sembari memalingkan wajah malu. Kemudian, "Lho, kok kita ke mini market?" Aku heran saat Niko memberhentikan laju mobil di sebuah mini market.

"Kita beli sesuatu dulu. Biar Mas Abdu nggak curiga. Bilang aja kita habis ajak Taksa jalan-jalan dan beli sesuatu."

Aku tersenyum. "Nggak sia-sia Embak punya adik sepintar kamu. Tunggu bentar, ya. Kebetulan minyak, gula, dan beras di rumah udah habis," ujarku seraya membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mini market, mengambil barang-barang yang diperlukan kemudian mengantre di kasir. Setelah membayar aku kembali ke dalam mobil. Kudapati Taksa sudah bangun dari tidurnya.

"Eh, anak mama udah bangun. Nih, susu. Kamu pasti haus, kan." Aku menyerahkan susu kotak pada Taksa dan air mineral pada Niko.

Setiba di rumah, Mas Abdu sudah menunggu di teras. Taksa berlari ke dalam pelukannya setelah dia keluar dari pintu mobil. "Papa!"

Meraih tubuh Taksa dan mengendongnya, Mas Abdu bertanya pada anak usia lima tahun itu. "Taksa dari mana, sih? Kok papa nggak diajak jalan-jalan?" Taksa hanya tersenyum sambil terus menyesap sekotak susu yang kuberikan padanya tadi.

"Mas udah makan?" Aku bertanya sembari salim padanya.

"Belum. Mama dari mana, sih?"

"Ngajakin Taksa jalan-jalan sekalian beli beras. Tuh, liat aja." Jariku menunjuk Niko yang berjalan mendekat sambil menenteng belanjaan yang kubeli di mini market tadi. Bagus juga ide adikku itu.

Meletakkan barang belanjaanku di sofa ruang tamu, Niko pamit pulang. Dia menolak ajakan Mas Abdu untuk makan bersama. Setelah memandangi mobil Niko yang berjalan menjauh, kubawa barang belanjaan ke dapur. Mataku melirik ke segala penjuru rumah, mencoba mencari keberadaan buket bunga yang dibeli Mas Abdu tadi. Jangankan penampakannya, aromanya saja tidak terendus indera penciumanku. Di manakah kira-kira suamiku menyimpannya?

Rasa penasaranku kian memuncak, hingga tiba waktu memasuki malam. Mas Abdu tidak juga memberikan buket bunga itu padaku. Lagi-lagi bisikan setan menguasai pikiran, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Akhirnya karena tidak bisa menahan kesabaran lagi, aku menuju ruang kerja Mas Abdu yang berada di sebelah ruang tamu. Pintunya tidak tertutup rapat, sedikit terbuka. Kudapati dirinya sedang tersenyum sendiri seraya menatap layar ponsel. Dengan gerakan cepat, kudorong pintu ruang kerjanya hingga terbuka lebar.

"Lebih baik sekarang Mas jujur padaku, untuk siapa buket bunga dan pakaian wanita yang Mas beli tadi sore?" Aku bertanya dengan nada tinggi dan begitu tiba-tiba. Mas Abdu sontak kaget dan menatapku dengan wajah yang tak biasa.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status