Share

3. Suami Pembohong

"Lebih baik sekarang Mas jujur, untuk siapa buket bunga dan pakaian wanita yang Mas beli tadi sore?" Aku bertanya dengan nada tinggi dan begitu tiba-tiba. Mas Abdu sontak kaget dan menatapku dengan wajah yang tak biasa.

Namun, sedetik berikutnya wajah Mas Abdu berubah sinis. "Oh, bagus! Ternyata benar dugaan saya." Mas Abdu buka suara, sedikit menunduk kemudian membuka laci meja kerja di depannya. Dia mengeluarkan buket bunga yang tadi kulihat dan juga sebuah kado terikat pita merah jambu.

"Sengaja saya simpan. Rencananya buat kejutan nanti malam. Tepat di hari ulang tahun pernikahan kita." Selesai berbicara rahang Mas Abdu mengeras. Jika sedang marah dia akan menyebut dirinya dengan kata ‘saya’.

Tanganku yang sejak awal berkacak pinggang, seketika terhempas ke sisi badan. Syok tentu saja. Rasa cemburu telah membuatku lupa segalanya, termasuk ulang tahun pernikahan kami yang jatuh pada hari esok.

Rasa bersalah membuatku jadi salah tingkah. Apalagi saat melihat tak ada senyum yang melekat pada wajah Mas Abdu. "Maaf, Mas. Aku lupa ...," bisikku lirih.

"Pasti lah lupa! Mama terlalu sibuk mengikuti hawa nafsu dan api cemburu." Setelah meletakkan dua benda yang dia pegang tadi keatas meja, Mas Abdu keluar ruangan meninggalkanku yang termenung sendiri. Semenit kemudian, terdengar suara berdebam, berasal dari pintu yang dibanting dengan sekuat tenaga.

***

Aku berdiri di depan pintu kamar, menarik napas dalam-dalam sembari mengumpulkan keberanian. Aku harus minta maaf pada Mas Abdu karena aku yang bersalah kali ini. Memutar gerendel pintu, kemudian aku mendorongnya perlahan. Terlihat Mas Abdu sedang berbaring di tempat tidur ukuran nomor satu yang terbuat dari kayu jati sembari memandangi ponselnya. Tak sedikit pun dia mengacuhkan kedatanganku.

Menutup kembali pintu kamar, aku berjalan mendekatinya. Responnya tetap sama, acuh tak acuh. Lima menit aku terdiam, mencari kata-kata yang bisa mengalihkan perhatiannya. "Mas, maafin aku!" Dia masih diam. "Mas!" Hening. "Mas Abdu!"

Matanya melirik sedikit, tapi kembali fokus menatap layar ponsel. Mengembuskan napas, kemudian aku duduk di tepian tempat tidur, membelakanginya.

"Mas tau nggak, sikap Mas berubah beberapa minggu ini. Itu sebabnya aku mengawasi gerak-gerik Mas." Lagi-lagi hening, tak ada jawaban darinya. "Di awal aku memergoki Mas sedang menelepon seseorang. Dan ... saat Freya mengirimkan pesan singkat ke ponsel Mas. Saat itu Mas terlihat bahagia. Apa aku nggak boleh curiga, Mas?" Mataku berembun, terasa sedikit basah. "Apa salah jika aku menaruh rasa cemburu? Aku ini istrimu, Mas, dan Freya adalah masa lalumu." Aku mulai terisak.

Mendengar nama Freya disebut, Mas Abdu segera mengubah posisi menjadi duduk. Wajahnya memamerkan raut seperti seseorang sehabis dipergoki melakukan kejahatan. "Papa waktu itu kebetulan bertemu Freya di jalanan. Karena merasa kasihan melihat dia berjalan kaki sendirian, dia Papa tumpangi. Tapi hanya sebatas simpang lorong rumahnya. Nggak Papa antar ke rumah, kok. Papa juga mikirin omongan tetangga, Ma. Apa kata tetangga nanti kalo melihat Papa jalan berdua dengan Freya?" Mas Abdu terdiam sejenak. "Dia mengirimkan pesan hanya untuk mengucapkan terima kasih. Hanya itu, nggak lebih," lanjutnya lagi.

Penjelasan Mas Abdu barusan membuat bahuku berguncang. Aku terisak masih dengan posisi membelakangi Mas Abdu. Suamiku itu beringsut mendekat. Kurasakan tangannya mengelus punggungku perlahan.

"Kenapa Mas nggak cerita sedari awal? Kenapa Mas menutupi? Kenapa Mas membiarkanku menjadi istri yang bodoh karena dibakar api cemburu?"

Mas Abdu meraih tubuhku dalam dekapan. "Sudahlah, Ma. Jangan dibahas lagi. Papa sudah memaafkan Mama, kok."

Setelah melepaskan pelukan, Mas Abdu turun dari tempat tidur, melangkah keluar kamar. Namun, tak lama kemudian dia kembali lagi membawa kado dan buket bunga yang tadi tersimpan di laci meja kerjanya.

"Selamat hari pernikahan, Ma." Mas Abdu menyodorkan kedua barang itu padaku. Aku menyambut barang pemberiannya masih dengan mata yang berlinang.

"Semoga pernikahan kita langgeng dan nggak ada lagi cobaan setelah hari ini." Mas Abdu mendekat ... lebih mendekat dan akhirnya mengecup keningku.

***

Aku terbangun mendapati Mas Abdu sudah tak ada lagi di sebelah. Kulirik jam dinding, masih pukul 02.00 dini hari. Kemana perginya dia, ya?

Rasa kering di tenggorokan membuatku beringsut duduk. Aku meraih gelas kosong di atas nakas. Ah, aku lupa jika tadi sudah menghabisi isinya. Setelah memberiku kado sebagai hadiah ulang tahun pernikahan, Mas Abdu mencumbuku.

Rona merah mencuat di pipi. Teringat kejadian tadi sebelum aku tertidur sebab kelelahan. Menyibak selimut yang menutupi tubuh, perlahan aku turun dari tempat tidur, melangkah mendekati gerendel pintu, meraih lalu membukanya hati-hati agar suara derit daun pintu tidak membuat Taksa terbangun. Perlahan pula aku menutupnya di belakangku.

"Maaf, ya, Yang. Mas nggak jadi kesana. Gauri membuntuti Mas. Padahal Mas udah bawa hadiah buat kamu."

Suara Mas Abdu terdengar sayup-sayup dari ruang tamu. Aku syok tentu saja. Apalagi ini? Apakah kemesraannya barusan hanyalah akting belaka?

Aku mencoba mnguasai diri. Kali ini aku tidak mau melabraknya. Biarkan saja mau sampai kapan kebohongan ini Mas Abdu tutup-tutupi. Hingga waktunya tiba, aku akan menangkapmu dengan selingkuhanmu itu, Mas. Tunggu saja nanti.

Dengan hati bergemuruh kuentakkan kaki ke kamar mandi. Saat itu juga suara Mas Abdu tidak terdengar lagi. Pintu kamar mandi pun menjadi pelampiasan kemarahanku. Aku membantingnya sekuat tenaga hingga menimbulkan suara berdebam yang menggema ke seluruh ruangan di dalam rumah.

***

“Sstt ... Mbak Gauri!” Lamunanku terpecah saat Bu RT sudah berdiri di sebelah. Aku yang sedang memilih-milih sayuran, mau tidak mau menoleh ke arahnya.

“Ya? Ada apa, Bu RT?”

“Maaf sebelumnya, ya, Mbak Gauri. Suami saya cerita, beberapa hari yang lalu dia ngelihat si Janda turun dari sedan papanya Taksa.” Bu RT seolah-olah sedang berbisik, tapi suaranya cukup keras terdengar oleh pembeli yang lain. “Mereka berdua akrab, ya, Mbak?”

“Oh ... mengenai itu, Mas Abdu cerita, kok, Bu. Katanya kasihan karena Freya berjalan kaki dari simpang gapura angkot. Kan cukup lumayan jauh.” Aku menyungging senyum, berusaha mengendalikan raut wajah. Jangan sampai, kemarahan mengubah ekspresiku dan membuat tukang gosip ini ikut senang di atas korban gibahannya.

“Jangan dibiasain, lho, Mbak. Nanti malah kebablasan. Ujung-ujungnya Mbak Gauri yang bakal menyesal.” Bu RT tidak berbisik lagi. Matanya membulat dengan mimik menggurui. Sepertinya dia yang emosi kali ini. Sebab semua ucapannya terbantah oleh responku yang biasa saja.

Masih tetap mengulum senyum, lantas, “Saya itu temenan sama Freya sejak jaman sekolah dulu, Bu. Nggak mungkin kalo mereka berkhianat di belakang saya. Saya juga percaya penuh dengan suami saya.” Aku meraih sayuran yang sudah terpilih, kemudian membawanya ke meja kasir. Bu RT memanyunkan bibir. Sebab gosipnya kali ini tak berhasil menjadi umpan bagiku.

Selesai membayar, aku pamit padanya dan melangkah menuju motor yang terparkir. Hanya dibalas dengan anggukkan dan senyum yang masam olehnya. Aku tak mau ambil pusing meski hatiku cukup panas terpancing ucapan Bu RT tadi. Hanya saja aku tidak mau gegabah. Aku juga tidak mau bila responku akan membocorkan sebuah rencana yang sudah tersusun rapi yang kurencanakan sejak tadi malam.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status