"Lebih baik sekarang Mas jujur, untuk siapa buket bunga dan pakaian wanita yang Mas beli tadi sore?" Aku bertanya dengan nada tinggi dan begitu tiba-tiba. Mas Abdu sontak kaget dan menatapku dengan wajah yang tak biasa.
Namun, sedetik berikutnya wajah Mas Abdu berubah sinis. "Oh, bagus! Ternyata benar dugaan saya." Mas Abdu buka suara, sedikit menunduk kemudian membuka laci meja kerja di depannya. Dia mengeluarkan buket bunga yang tadi kulihat dan juga sebuah kado terikat pita merah jambu."Sengaja saya simpan. Rencananya buat kejutan nanti malam. Tepat di hari ulang tahun pernikahan kita." Selesai berbicara rahang Mas Abdu mengeras. Jika sedang marah dia akan menyebut dirinya dengan kata ‘saya’.Tanganku yang sejak awal berkacak pinggang, seketika terhempas ke sisi badan. Syok tentu saja. Rasa cemburu telah membuatku lupa segalanya, termasuk ulang tahun pernikahan kami yang jatuh pada hari esok.Rasa bersalah membuatku jadi salah tingkah. Apalagi saat melihat tak ada senyum yang melekat pada wajah Mas Abdu. "Maaf, Mas. Aku lupa ...," bisikku lirih."Pasti lah lupa! Mama terlalu sibuk mengikuti hawa nafsu dan api cemburu." Setelah meletakkan dua benda yang dia pegang tadi keatas meja, Mas Abdu keluar ruangan meninggalkanku yang termenung sendiri. Semenit kemudian, terdengar suara berdebam, berasal dari pintu yang dibanting dengan sekuat tenaga.***Aku berdiri di depan pintu kamar, menarik napas dalam-dalam sembari mengumpulkan keberanian. Aku harus minta maaf pada Mas Abdu karena aku yang bersalah kali ini. Memutar gerendel pintu, kemudian aku mendorongnya perlahan. Terlihat Mas Abdu sedang berbaring di tempat tidur ukuran nomor satu yang terbuat dari kayu jati sembari memandangi ponselnya. Tak sedikit pun dia mengacuhkan kedatanganku.Menutup kembali pintu kamar, aku berjalan mendekatinya. Responnya tetap sama, acuh tak acuh. Lima menit aku terdiam, mencari kata-kata yang bisa mengalihkan perhatiannya. "Mas, maafin aku!" Dia masih diam. "Mas!" Hening. "Mas Abdu!"Matanya melirik sedikit, tapi kembali fokus menatap layar ponsel. Mengembuskan napas, kemudian aku duduk di tepian tempat tidur, membelakanginya."Mas tau nggak, sikap Mas berubah beberapa minggu ini. Itu sebabnya aku mengawasi gerak-gerik Mas." Lagi-lagi hening, tak ada jawaban darinya. "Di awal aku memergoki Mas sedang menelepon seseorang. Dan ... saat Freya mengirimkan pesan singkat ke ponsel Mas. Saat itu Mas terlihat bahagia. Apa aku nggak boleh curiga, Mas?" Mataku berembun, terasa sedikit basah. "Apa salah jika aku menaruh rasa cemburu? Aku ini istrimu, Mas, dan Freya adalah masa lalumu." Aku mulai terisak.Mendengar nama Freya disebut, Mas Abdu segera mengubah posisi menjadi duduk. Wajahnya memamerkan raut seperti seseorang sehabis dipergoki melakukan kejahatan. "Papa waktu itu kebetulan bertemu Freya di jalanan. Karena merasa kasihan melihat dia berjalan kaki sendirian, dia Papa tumpangi. Tapi hanya sebatas simpang lorong rumahnya. Nggak Papa antar ke rumah, kok. Papa juga mikirin omongan tetangga, Ma. Apa kata tetangga nanti kalo melihat Papa jalan berdua dengan Freya?" Mas Abdu terdiam sejenak. "Dia mengirimkan pesan hanya untuk mengucapkan terima kasih. Hanya itu, nggak lebih," lanjutnya lagi.Penjelasan Mas Abdu barusan membuat bahuku berguncang. Aku terisak masih dengan posisi membelakangi Mas Abdu. Suamiku itu beringsut mendekat. Kurasakan tangannya mengelus punggungku perlahan."Kenapa Mas nggak cerita sedari awal? Kenapa Mas menutupi? Kenapa Mas membiarkanku menjadi istri yang bodoh karena dibakar api cemburu?"Mas Abdu meraih tubuhku dalam dekapan. "Sudahlah, Ma. Jangan dibahas lagi. Papa sudah memaafkan Mama, kok."Setelah melepaskan pelukan, Mas Abdu turun dari tempat tidur, melangkah keluar kamar. Namun, tak lama kemudian dia kembali lagi membawa kado dan buket bunga yang tadi tersimpan di laci meja kerjanya."Selamat hari pernikahan, Ma." Mas Abdu menyodorkan kedua barang itu padaku. Aku menyambut barang pemberiannya masih dengan mata yang berlinang."Semoga pernikahan kita langgeng dan nggak ada lagi cobaan setelah hari ini." Mas Abdu mendekat ... lebih mendekat dan akhirnya mengecup keningku.***Aku terbangun mendapati Mas Abdu sudah tak ada lagi di sebelah. Kulirik jam dinding, masih pukul 02.00 dini hari. Kemana perginya dia, ya?Rasa kering di tenggorokan membuatku beringsut duduk. Aku meraih gelas kosong di atas nakas. Ah, aku lupa jika tadi sudah menghabisi isinya. Setelah memberiku kado sebagai hadiah ulang tahun pernikahan, Mas Abdu mencumbuku.Rona merah mencuat di pipi. Teringat kejadian tadi sebelum aku tertidur sebab kelelahan. Menyibak selimut yang menutupi tubuh, perlahan aku turun dari tempat tidur, melangkah mendekati gerendel pintu, meraih lalu membukanya hati-hati agar suara derit daun pintu tidak membuat Taksa terbangun. Perlahan pula aku menutupnya di belakangku."Maaf, ya, Yang. Mas nggak jadi kesana. Gauri membuntuti Mas. Padahal Mas udah bawa hadiah buat kamu."Suara Mas Abdu terdengar sayup-sayup dari ruang tamu. Aku syok tentu saja. Apalagi ini? Apakah kemesraannya barusan hanyalah akting belaka?Aku mencoba mnguasai diri. Kali ini aku tidak mau melabraknya. Biarkan saja mau sampai kapan kebohongan ini Mas Abdu tutup-tutupi. Hingga waktunya tiba, aku akan menangkapmu dengan selingkuhanmu itu, Mas. Tunggu saja nanti.Dengan hati bergemuruh kuentakkan kaki ke kamar mandi. Saat itu juga suara Mas Abdu tidak terdengar lagi. Pintu kamar mandi pun menjadi pelampiasan kemarahanku. Aku membantingnya sekuat tenaga hingga menimbulkan suara berdebam yang menggema ke seluruh ruangan di dalam rumah.***“Sstt ... Mbak Gauri!” Lamunanku terpecah saat Bu RT sudah berdiri di sebelah. Aku yang sedang memilih-milih sayuran, mau tidak mau menoleh ke arahnya.“Ya? Ada apa, Bu RT?”“Maaf sebelumnya, ya, Mbak Gauri. Suami saya cerita, beberapa hari yang lalu dia ngelihat si Janda turun dari sedan papanya Taksa.” Bu RT seolah-olah sedang berbisik, tapi suaranya cukup keras terdengar oleh pembeli yang lain. “Mereka berdua akrab, ya, Mbak?”“Oh ... mengenai itu, Mas Abdu cerita, kok, Bu. Katanya kasihan karena Freya berjalan kaki dari simpang gapura angkot. Kan cukup lumayan jauh.” Aku menyungging senyum, berusaha mengendalikan raut wajah. Jangan sampai, kemarahan mengubah ekspresiku dan membuat tukang gosip ini ikut senang di atas korban gibahannya.“Jangan dibiasain, lho, Mbak. Nanti malah kebablasan. Ujung-ujungnya Mbak Gauri yang bakal menyesal.” Bu RT tidak berbisik lagi. Matanya membulat dengan mimik menggurui. Sepertinya dia yang emosi kali ini. Sebab semua ucapannya terbantah oleh responku yang biasa saja.Masih tetap mengulum senyum, lantas, “Saya itu temenan sama Freya sejak jaman sekolah dulu, Bu. Nggak mungkin kalo mereka berkhianat di belakang saya. Saya juga percaya penuh dengan suami saya.” Aku meraih sayuran yang sudah terpilih, kemudian membawanya ke meja kasir. Bu RT memanyunkan bibir. Sebab gosipnya kali ini tak berhasil menjadi umpan bagiku.Selesai membayar, aku pamit padanya dan melangkah menuju motor yang terparkir. Hanya dibalas dengan anggukkan dan senyum yang masam olehnya. Aku tak mau ambil pusing meski hatiku cukup panas terpancing ucapan Bu RT tadi. Hanya saja aku tidak mau gegabah. Aku juga tidak mau bila responku akan membocorkan sebuah rencana yang sudah tersusun rapi yang kurencanakan sejak tadi malam.***Aku berdiri di sisi tempat cucian piring. Tanganku bertumpu pada tepiannya. Aku sedikit termenung sebab masih terngiang di pikiran perihal omongan Bu RT saat di warung sayur tadi pagi. Meski sudah berusaha seolah tidak terjadi apa-apa, tetap saja hatiku gundah saat ini.Bahkan untuk melakukan kegiatan yang kusuka saja—yaitu memasak—aku sedikit malas-malasan. Biasanya dengan semangat, aku selalu mencari resep menu-menu baru di internet untuk kusajikan buat putra semata wayangku, Taksa.Sayur oyong yang kubeli tadi, tergeletak di atas meja makan, masih berada di dalam kantong plastik bersama bahan-bahan yang lain. Melangkah ke meja makan, kutarik salah satu kursi lalu duduk di sana.Melirik ke jam dinding dapur, kulihat pukul sepuluh kurang lima belas menit. Aku mengembuskan napas berat. Sebentar lagi aku harus menjemput Taksa dari sekolahnya. Mana sempat memasak kalau begini.Meraih kantong plastik belanjaan tadi, kubawa menuju kulkas. Membuka pintunya, ke
"Kenapa Mas nggak cerita padaku bahwa Mas sudah bertemu dengan Freya?" Aku menunjukkan foto yang terpampang di aplikasi W******p.Melihat foto yang terpampang di ponselku, raut wajah Mas Abdu berubah. Dia menelan ludah kemudian dia segera mengambil duduk di sofa single di hadapanku."Mama dapat foto itu dari mana?" Jakunnya terlihat naik turun, pertanda dia menelan ludah berkali-kali dan gugup."Sebuah nomor asing mengirimkannya tadi siang," jawabku ketus. "Apa Mas bisa mengelak lagi setelah melihat foto ini?""Bukan begitu, Ma." Mas Abdu berhenti sejenak. "Kami memang bertemu. Itu pun hanya sekali. Freya meminta tolong pada Papa untuk memeriksa listrik di rumahnya. Saat itu Papa sedang makan siang seorang diri dan kami nggak sengaja bertemu." Mas Abdu menunduk, menatap kaki meja di depannya. Hah! Kelihatan sekali jika dia sedang berbohong. Omongannya berbelit-belit."Kenapa nggak menghubungi admin kantor saja, Mas? Kenapa Mas yang harus menangani
Aku mengendarai lagi laju motor ke arah sekolah Taksa dengan benak yang berkecamuk. Di satu sisi aku marah pada Mas Abdu yang sudah mengarang cerita dan kebohongan. Di sisi yang lain ada perasaan malu serta rasa bersalah pada diri Freya.Setelah tiba di tanah lapang tepat di depan warung makanan Bu Haji, kuparkirkan motor di sana. Mengunci setang motor, aku melangkah mendekati Mama Joshua yang sedang duduk sendirian."Kok, sendirian, Mama Joshua? Mana yang lain?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan.Wanita berusia setengah abad berdarah Batak itu menjawab, "Iya ... yang lain tadi pada pulang. Saya malas pulang, Mama Taksa. Nanggung banget. Lebih baik saya nunggu di sini aja."Aku meraih ponsel di kantong celana, membuka layarnya dan melihat jam digital. Lima belas menit lagi anak-anak akan keluar kelas.Tak lama setelah aku mengambil duduk di sebelah Mama Joshua, seorang ibu-ibu lain datang mendekat dan ikut bergabung. Dia mengendong anaknya yang
"Sekarang katakan padaku, Mas! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang Mas inginkan?" tanyaku lagi."Aku masih mencintai Freya hingga saat ini, Gauri ...." Mas Abdu berbicara lirih. Tatapannya masih terpaku pada lantai kamar.Tentu saja aku syok mendengar pengakuannya barusan. Bagaikan dentuman gemuruh mengisi seluruh ruang kepalaku. Jika dia mencintai wanita lain, mengapa Mas Abdu menikahiku? Aku pikir hanya aku satu-satunya wanita yang ada di hatinya.Tanpa sadar, langkahku mundur hingga bersandar pada tembok kamar. Aku butuh tempat untuk menopang tubuhku yang tiba-tiba melemas."Maaf, jika kejujuran ini menyakiti hatimu, Gauri." Mas Abdu belum berani menatapku. Aku masih butuh beberapa detik mencerna tiap ucapannya. Setelah mendapati seluruh tenagaku yang meluruh, aku berdiri, melangkah ke arah meja rias di sudut kamar, aku menarik kursinya lalu duduk di situ."Ceritakan padaku semuanya, Mas. Tanpa ada satu pun yang ditutupi. Sehingga aku bi
Lonceng pulang sekolah berbunyi. Abdu gegas berdiri setelah gurunya meninggalkan kelas terlebih dahulu. Ali sudah menunggunya di ambang pintu kelas. Pemuda berambut keriting itu seperti biasa memberi tumpangan untuk Abdu tiap pulang sekolah."Mampir dulu bentar, yuk, ke rumah Dodot." Ali berbicara sambil memutar-mutar gantungan kunci motor di telunjuk kanannya."Mau ngapain?" Abdu bertanya."Nggak ngapa-ngapain, sih. Pengin mampir aja. Udah lama kita nggak kumpul di sana." Ali membetulkan posisi ranselnya."Bentar aja, ya. Nanti Bibi nyariin aku," jawab Abdu."Takut dimarahi, ya?" Ali meledek."Aku cuma nggak mau ribut. Itu aja." Abdu mengedik bahu. Dia berjalan mengiringi langkah Ali ke arah parkiran motor.Setelah Ali menyalakan mesin, mereka berdua naik ke atas kuda besi keluaran tahun 2000 itu, platnya sudah dilepas, berwarna biru dongker dengan list merah jambu. Terkadang Abdu tersenyum sendiri melihat kendaraan milik sahabatnya
"Li, aku pinjam motormu, ya?" Abdu berdiri meraih kunci motor Ali yang tergeletak di atas meja ruang tamu rumah Dodot."Mau jemput Freya lagi?" Ali bertanya sambil mengunyah gorengan. "Jadi obat nyamuk lagi, dong, akunya!" Ali menggoda Abdu. Sesungguhnya dia turut senang setelah sosok Abdu berubah menjadi periang. Bukan seperti Abdu yang dulu, minder dan tak bersemangat sebelum bertemu Freya."Kan ada Dodot. Ya, kan, Dot?" Abdu menatap Dodot sambil memakai sepatu di ambang pintu, lalu mengikat talinya menjadi simpul yang rapi.Dodot yang awalnya sedang rebahan di lantai keramik, bergerak bangkit dan duduk, membuat gerakan seolah sedang menyelipkan rambut ke telinga kemudian melambai pada Ali. Sontak Abdu tergelak melihatnya."Apa dosaku, Ya Allah!" Ali bergidik kemudian melempar sebiji cabe rawit tepat mengenai hidung Dodot yang bangir. Dodot tertawa lepas memperdengarkan suara baritonnya.Abdu bersenandung, melangkah ke motor Ali yang terparkir di
"Tadi malam Laila bilang, Minggu besok katanya si Freya ulang tahun. Gimana kalo party yang direncanakan kita bikin hari itu aja, Du," saran Ali saat dua sahabat itu sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Dodot. Seperti biasa, mereka berkumpul sehabis pulang dari sekolah."Ulang tahun? Aku malah nggak tau sama sekali. Freya nggak bilang apa-apa." Abdu menatap Ali serius."Dia bilang ke adikku malah jangan kasih tau ke kamu. Katanya nggak mau merepotkan. Takut kamu kasih kado." Ali mengangkat bahu. "Kayaknya Laila cerita semua tentang kamu, deh. Termasuk kamu nggak pernah dikasih uang saku."Abdu menarik napas. "Seharusnya Laila jangan cerita-cerita mengenai hal itu.""Yah, kan, bagus, Du. Kamu jadi tau kalo Freya nerima kamu karena dia benar-benar tulus." Ali menambahkan. "Banyak pemuda di kampung yang dia tolak, padahal anak orang berduit. Contohnya aja si Luki. Itu tandanya pacarmu itu nggak matre."Abdu termenung. Setelah mengetahui hari ulang ta
Seorang gadis berkulit putih sedang mematut diri di depan cermin. Dia merapikan rambutnya yang hitam pekat lurus sebahu dengan jemarinya. Berkali-kali dia membetulkan tali pinggang hijau muda yang mempunyai rumbai-rumbai panjang. Kerah baju kaosnya pun tak luput dari perhatiannya.Melangkah keluar kamar kemudian Freya menghampiri ibunya yang sedang duduk di ambang pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur."Bu, Freya mau pergi dulu, ya. Ada temen yang bikin acara." Gadis yang duduk di bangku SMP kelas 3 itu pamit pada ibunya sembari mencium tangan."Sendirian atau ada yang jemput?"Freya tersipu menatap ibunya. "Fre dijemput Kak Abdu, Bu.""Pulangnya jangan kesorean, ya. Jangan sampai Magrib," ujar wanita yang menurunkan gen kulit putih ke putrinya itu.Freya melangkah ke ruang tamu, duduk di sofa, menunggu kedatangan Abdu sembari berdebar. Berulang kali dia mengembuskan napas untuk menenangkan rasa gugupnya. Meski sudah sering kali ber