Share

5. Mendatangi Freya

"Kenapa Mas nggak cerita padaku bahwa Mas sudah bertemu dengan Freya?" Aku menunjukkan foto yang terpampang di aplikasi W******p.

Melihat foto yang terpampang di ponselku, raut wajah Mas Abdu berubah. Dia menelan ludah kemudian dia segera mengambil duduk di sofa single di hadapanku.

"Mama dapat foto itu dari mana?" Jakunnya terlihat naik turun, pertanda dia menelan ludah berkali-kali dan gugup.

"Sebuah nomor asing mengirimkannya tadi siang," jawabku ketus. "Apa Mas bisa mengelak lagi setelah melihat foto ini?"

"Bukan begitu, Ma." Mas Abdu berhenti sejenak. "Kami memang bertemu. Itu pun hanya sekali. Freya meminta tolong pada Papa untuk memeriksa listrik di rumahnya. Saat itu Papa sedang makan siang seorang diri dan kami nggak sengaja bertemu." Mas Abdu menunduk, menatap kaki meja di depannya. Hah! Kelihatan sekali jika dia sedang berbohong. Omongannya berbelit-belit.

"Kenapa nggak menghubungi admin kantor saja, Mas? Kenapa Mas yang harus menangani hal sepele seperti itu? Dan kenapa Mas berbohong padaku?" Kucecar dia dengan pertanyaan yang beruntun.

"Jika Papa cerita, apa manfaatnya, Ma? Yang ada kita bertengkar lagi. Dan apa Mama lupa, Freya itu teman kita di masa sekolah. Apa Mama ingat?" Mas Abdu berusaha memojokkanku. Namun, itu tak berpengaruh apa-apa buatku. Sebab aku sudah menyimpan banyak jawaban atas semua kilahannya.

"Ya, tentu saja. Aku selalu ingat jika Freya adalah mantan kekasih Mas dan Mas pernah dia tolak sehingga Mas berlari ke aku." Kutantang Mas Abdu dengan tatapan sesadis mungkin.

"Ck! Sudahlah, Ma. Papa lelah dan tidak mau berdebat. Obrolan tentang Freya sudah cukup sampai di sini dan Papa harap tidak ada lagi setelahnya." Mas Abdu berdiri, beranjak dari sofa dan masuk ke kamar. Terdengar pintu kamar terbanting keras. Aku tau sekali dia sedang kesal.

Namun, hatiku belum merasa puas atas jawaban-jawaban yang telah diberikan Mas Abdu. Pastilah dia berbohong. Jika dia tidak bisa memberiku jawaban, aku bisa menanyai hal ini pada Freya secara langsung. Ya, aku akan menemuinya besok dan mendatangi kediamannya.

Mengembuskan napas kecewa, aku pun berdiri, menutup pintu, menguncinya. Lalu melangkah ke kamar Taksa.

***

Setelah kupastikan pintu kelas Taksa ditutup gurunya, kunyalakan lagi mesin motor dan kukendarai. Aku mengangguk pada ibu-ibu saat melewati mereka yang sedang menunggu anak-anaknya di warung Bu Haji.

"Mama Taksa nggak nungguin, toh?" Mama Joshua yang hari ini memakai lipstik merah cabe bertanya padaku.

"Enggak, Mam. Ada urusan sebentar. Mari ...." Aku melambai padanya dari atas motor.

Motor yang kukendarai melewati simpang empat. Aku mengambil jalan lurus, kemudian melaju di jalanan aspal yang sudah rusak. Terus ke kiri lalu ke kanan. Kuhentikan motorku di sebuah rumah berpintu putih. Sebatang pohon nangka berbuah lebat tumbuh di sudut kanannya. Permukaan halaman asri penuh dengan rumput gajah mini.

Belum sempat aku mengetuk pintu, seorang ibu-ibu berusia 50-an membuka daunnya. Beliau menggunakan daster batik hijau berlengan pendek. "Mau cari siapa, ya, Nak?" Dia bertanya ramah.

"Freya ada, Bu?"

"Oh, Freya sedang cuci piring. Duduk dulu, Nak. Sebentar saya panggilkan." Ibu itu berlalu ke dalam.

Dengan ragu aku memasuki rumah dan duduk di kursi sofa tepat di belakang pintu. Kuedarkan pandangan. Rumah sederhana namun rapi. Tak banyak foto yang terpajang di tembok. Hanya beberapa foto hitam putih pernikahan ibu yang membuka pintu tadi.

"Siapa, ya, Bu?" Derap langkah terdengar mendekat. Aku segera berdiri. "Oh, Gauri rupanya. Duduk dulu, aku buatkan minum, ya." Dia mengusap tangannya yang basah pada celana tidur yang dia kenakan.

"Eh, nggak usah repot-repot, Fre." Aku menolak.

"Nggak apa-apa. Santai aja. Jarang-jarang kamu ke sini." Freya mengibaskan tangan sembari tersenyum dan kembali lagi ke dalam.

Lima menit kemudian dia datang dengan nampan plastik berisi dua gelas teh dan sepiring bolu pandan. Jemarinya satu persatu memindahkan gelas-gelas dan piring ke atas meja di depanku.

Please, Fre! Jangan bersikap baik seperti ini. Aku takut menjadi tidak bisa mengatakan hal ini padamu. Kutatap dia yang sedang tersenyum manis padaku. "Tumben. Hal apa yang membuat seorang Gauri mampir ke gubukku ini?"

"Ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan padamu." Aku berkata setelah memantapkan hati.

"Apa itu? Ngomong aja." Freya menatapku dengan raut serius.

"Apa betul beberapa hari yang lalu kamu bertemu suamiku?"

"Iya. Kenapa, Gauri? Bukannya Mas Abdu udah cerita?"

Aku menggeleng. "Aku mengetahui hal ini dari orang lain melalu foto yang dikirimkannya." Kubuka ponsel. Kuperlihatkan foto itu pada Freya.

Sambil melihat, alisnya berkerut. "Bukan seperti yang terlihat, Gauri. Pertemuan kami bahkan nggak lebih dari sepuluh menit." Freya menggeleng. "Aku menghubungi admin kantor perusahan tempat Mas Abdu bekerja. Aku ingin pegawai listrik untuk mengganti kabel-kabel itu. Kamu lihat?"

Freya menunjuk ke atas. Tepat di bawah atap rumah yang tidak berplafon, terlihat kabel-kabel yang semrawutan.

Aku mengangguk.

"Aku nggak tau Mas Abdu mengetahui perihal itu dari mana. Kurasa admin kantor memberitahu dia. Lalu Mas Abdu meneleponku, mengajakku bertemu. Dia bilang ingin berbicara perihal kabel-kabel itu." Freya melanjutkan. Kulihat ada sorot kejujuran pada matanya.

"Aku tau diri, Gauri. Sudah cukup aku jadi bahan gunjingan di kampung ini. Saat Mas Abdu mengajakku bertemu di luar, aku ragu. Tapi, karena ini hal yang sangat penting aku temui aja dia. Setelah selesai berbicara mengenai semua permasalahan, aku pamit pulang. Bahkan aku menolak saat Mas Abdu menawarkan makan siang dan ingin mengantarku ke rumah."

Aku mengembuskan napas. Jadi, selama ini Mas Abdu yang telah berbohong. Licik sekali dia.

"Aku pernah merasakan sakitnya dikhianati. Nggak mungkin aku melakukan sesuatu hal yang paling kubenci, apalagi pada temanku sendiri." Freya menunduk. Kali ini wajahnya terlihat sedih.

Rasa bersalah datang menyergap. "Maafin aku, Fre. Aku menemui karena hal ini. Sebab Mas Abdu selalu mengelak tiap kali aku bertanya."

Freya tersenyum lagi. "Nggak apa-apa, Gauri. Kamu melakukan hal yang benar. Tanya aja jika ada sesuatu yang salah menurutmu. Agar nggak ada kesalah pahaman antara kita."

"Makasih, Fre." Aku meraih segelas teh yang sudah disuguhkan. Kuteguk perlahan-lahan.

Aku mengenal Freya sudah lama sekali. Aku sudah tau sejak dulu sifatnya yang lembut, pendiam dan sayang pada keluarga. Rasa cemburu dan curiga, telah menutup logikaku tentang kepribadian Freya.

Secara sembunyi-sembunyi, kulirik perempuan bermata sipit yang sedang mengunyah bolu pandan itu. Ah, Mas Abdu brengsek! Aku rasa, dia yang mencoba mendekati janda manis ini. Akan kubikin perhitungan padanya agar dia tidak bermain-main dengan komitmen dan janji dari sebuah pernikahan.

Setelah menghabiskan teh, aku pamit dengan alasan ingin menjemput Taksa. Freya mengantarkanku hingga pekarangan rumah. Dia juga membungkuskan beberapa potong bolu untuk anakku. Tentu saja rasa bersalah semakin mendera sanubariku. Ah, Mas Abdu memang brengsek!

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
masih menjadi teka teki rupanya....lanjuutt thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status