"Kenapa Mas nggak cerita padaku bahwa Mas sudah bertemu dengan Freya?" Aku menunjukkan foto yang terpampang di aplikasi W******p.
Melihat foto yang terpampang di ponselku, raut wajah Mas Abdu berubah. Dia menelan ludah kemudian dia segera mengambil duduk di sofa single di hadapanku."Mama dapat foto itu dari mana?" Jakunnya terlihat naik turun, pertanda dia menelan ludah berkali-kali dan gugup."Sebuah nomor asing mengirimkannya tadi siang," jawabku ketus. "Apa Mas bisa mengelak lagi setelah melihat foto ini?""Bukan begitu, Ma." Mas Abdu berhenti sejenak. "Kami memang bertemu. Itu pun hanya sekali. Freya meminta tolong pada Papa untuk memeriksa listrik di rumahnya. Saat itu Papa sedang makan siang seorang diri dan kami nggak sengaja bertemu." Mas Abdu menunduk, menatap kaki meja di depannya. Hah! Kelihatan sekali jika dia sedang berbohong. Omongannya berbelit-belit."Kenapa nggak menghubungi admin kantor saja, Mas? Kenapa Mas yang harus menangani hal sepele seperti itu? Dan kenapa Mas berbohong padaku?" Kucecar dia dengan pertanyaan yang beruntun."Jika Papa cerita, apa manfaatnya, Ma? Yang ada kita bertengkar lagi. Dan apa Mama lupa, Freya itu teman kita di masa sekolah. Apa Mama ingat?" Mas Abdu berusaha memojokkanku. Namun, itu tak berpengaruh apa-apa buatku. Sebab aku sudah menyimpan banyak jawaban atas semua kilahannya."Ya, tentu saja. Aku selalu ingat jika Freya adalah mantan kekasih Mas dan Mas pernah dia tolak sehingga Mas berlari ke aku." Kutantang Mas Abdu dengan tatapan sesadis mungkin."Ck! Sudahlah, Ma. Papa lelah dan tidak mau berdebat. Obrolan tentang Freya sudah cukup sampai di sini dan Papa harap tidak ada lagi setelahnya." Mas Abdu berdiri, beranjak dari sofa dan masuk ke kamar. Terdengar pintu kamar terbanting keras. Aku tau sekali dia sedang kesal.Namun, hatiku belum merasa puas atas jawaban-jawaban yang telah diberikan Mas Abdu. Pastilah dia berbohong. Jika dia tidak bisa memberiku jawaban, aku bisa menanyai hal ini pada Freya secara langsung. Ya, aku akan menemuinya besok dan mendatangi kediamannya.Mengembuskan napas kecewa, aku pun berdiri, menutup pintu, menguncinya. Lalu melangkah ke kamar Taksa.***Setelah kupastikan pintu kelas Taksa ditutup gurunya, kunyalakan lagi mesin motor dan kukendarai. Aku mengangguk pada ibu-ibu saat melewati mereka yang sedang menunggu anak-anaknya di warung Bu Haji."Mama Taksa nggak nungguin, toh?" Mama Joshua yang hari ini memakai lipstik merah cabe bertanya padaku."Enggak, Mam. Ada urusan sebentar. Mari ...." Aku melambai padanya dari atas motor.Motor yang kukendarai melewati simpang empat. Aku mengambil jalan lurus, kemudian melaju di jalanan aspal yang sudah rusak. Terus ke kiri lalu ke kanan. Kuhentikan motorku di sebuah rumah berpintu putih. Sebatang pohon nangka berbuah lebat tumbuh di sudut kanannya. Permukaan halaman asri penuh dengan rumput gajah mini.Belum sempat aku mengetuk pintu, seorang ibu-ibu berusia 50-an membuka daunnya. Beliau menggunakan daster batik hijau berlengan pendek. "Mau cari siapa, ya, Nak?" Dia bertanya ramah."Freya ada, Bu?""Oh, Freya sedang cuci piring. Duduk dulu, Nak. Sebentar saya panggilkan." Ibu itu berlalu ke dalam.Dengan ragu aku memasuki rumah dan duduk di kursi sofa tepat di belakang pintu. Kuedarkan pandangan. Rumah sederhana namun rapi. Tak banyak foto yang terpajang di tembok. Hanya beberapa foto hitam putih pernikahan ibu yang membuka pintu tadi."Siapa, ya, Bu?" Derap langkah terdengar mendekat. Aku segera berdiri. "Oh, Gauri rupanya. Duduk dulu, aku buatkan minum, ya." Dia mengusap tangannya yang basah pada celana tidur yang dia kenakan."Eh, nggak usah repot-repot, Fre." Aku menolak."Nggak apa-apa. Santai aja. Jarang-jarang kamu ke sini." Freya mengibaskan tangan sembari tersenyum dan kembali lagi ke dalam.Lima menit kemudian dia datang dengan nampan plastik berisi dua gelas teh dan sepiring bolu pandan. Jemarinya satu persatu memindahkan gelas-gelas dan piring ke atas meja di depanku.Please, Fre! Jangan bersikap baik seperti ini. Aku takut menjadi tidak bisa mengatakan hal ini padamu. Kutatap dia yang sedang tersenyum manis padaku. "Tumben. Hal apa yang membuat seorang Gauri mampir ke gubukku ini?""Ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan padamu." Aku berkata setelah memantapkan hati."Apa itu? Ngomong aja." Freya menatapku dengan raut serius."Apa betul beberapa hari yang lalu kamu bertemu suamiku?""Iya. Kenapa, Gauri? Bukannya Mas Abdu udah cerita?"Aku menggeleng. "Aku mengetahui hal ini dari orang lain melalu foto yang dikirimkannya." Kubuka ponsel. Kuperlihatkan foto itu pada Freya.Sambil melihat, alisnya berkerut. "Bukan seperti yang terlihat, Gauri. Pertemuan kami bahkan nggak lebih dari sepuluh menit." Freya menggeleng. "Aku menghubungi admin kantor perusahan tempat Mas Abdu bekerja. Aku ingin pegawai listrik untuk mengganti kabel-kabel itu. Kamu lihat?"Freya menunjuk ke atas. Tepat di bawah atap rumah yang tidak berplafon, terlihat kabel-kabel yang semrawutan.Aku mengangguk."Aku nggak tau Mas Abdu mengetahui perihal itu dari mana. Kurasa admin kantor memberitahu dia. Lalu Mas Abdu meneleponku, mengajakku bertemu. Dia bilang ingin berbicara perihal kabel-kabel itu." Freya melanjutkan. Kulihat ada sorot kejujuran pada matanya."Aku tau diri, Gauri. Sudah cukup aku jadi bahan gunjingan di kampung ini. Saat Mas Abdu mengajakku bertemu di luar, aku ragu. Tapi, karena ini hal yang sangat penting aku temui aja dia. Setelah selesai berbicara mengenai semua permasalahan, aku pamit pulang. Bahkan aku menolak saat Mas Abdu menawarkan makan siang dan ingin mengantarku ke rumah."Aku mengembuskan napas. Jadi, selama ini Mas Abdu yang telah berbohong. Licik sekali dia."Aku pernah merasakan sakitnya dikhianati. Nggak mungkin aku melakukan sesuatu hal yang paling kubenci, apalagi pada temanku sendiri." Freya menunduk. Kali ini wajahnya terlihat sedih.Rasa bersalah datang menyergap. "Maafin aku, Fre. Aku menemui karena hal ini. Sebab Mas Abdu selalu mengelak tiap kali aku bertanya."Freya tersenyum lagi. "Nggak apa-apa, Gauri. Kamu melakukan hal yang benar. Tanya aja jika ada sesuatu yang salah menurutmu. Agar nggak ada kesalah pahaman antara kita.""Makasih, Fre." Aku meraih segelas teh yang sudah disuguhkan. Kuteguk perlahan-lahan.Aku mengenal Freya sudah lama sekali. Aku sudah tau sejak dulu sifatnya yang lembut, pendiam dan sayang pada keluarga. Rasa cemburu dan curiga, telah menutup logikaku tentang kepribadian Freya.Secara sembunyi-sembunyi, kulirik perempuan bermata sipit yang sedang mengunyah bolu pandan itu. Ah, Mas Abdu brengsek! Aku rasa, dia yang mencoba mendekati janda manis ini. Akan kubikin perhitungan padanya agar dia tidak bermain-main dengan komitmen dan janji dari sebuah pernikahan.Setelah menghabiskan teh, aku pamit dengan alasan ingin menjemput Taksa. Freya mengantarkanku hingga pekarangan rumah. Dia juga membungkuskan beberapa potong bolu untuk anakku. Tentu saja rasa bersalah semakin mendera sanubariku. Ah, Mas Abdu memang brengsek!***Aku mengendarai lagi laju motor ke arah sekolah Taksa dengan benak yang berkecamuk. Di satu sisi aku marah pada Mas Abdu yang sudah mengarang cerita dan kebohongan. Di sisi yang lain ada perasaan malu serta rasa bersalah pada diri Freya.Setelah tiba di tanah lapang tepat di depan warung makanan Bu Haji, kuparkirkan motor di sana. Mengunci setang motor, aku melangkah mendekati Mama Joshua yang sedang duduk sendirian."Kok, sendirian, Mama Joshua? Mana yang lain?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan.Wanita berusia setengah abad berdarah Batak itu menjawab, "Iya ... yang lain tadi pada pulang. Saya malas pulang, Mama Taksa. Nanggung banget. Lebih baik saya nunggu di sini aja."Aku meraih ponsel di kantong celana, membuka layarnya dan melihat jam digital. Lima belas menit lagi anak-anak akan keluar kelas.Tak lama setelah aku mengambil duduk di sebelah Mama Joshua, seorang ibu-ibu lain datang mendekat dan ikut bergabung. Dia mengendong anaknya yang
"Sekarang katakan padaku, Mas! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang Mas inginkan?" tanyaku lagi."Aku masih mencintai Freya hingga saat ini, Gauri ...." Mas Abdu berbicara lirih. Tatapannya masih terpaku pada lantai kamar.Tentu saja aku syok mendengar pengakuannya barusan. Bagaikan dentuman gemuruh mengisi seluruh ruang kepalaku. Jika dia mencintai wanita lain, mengapa Mas Abdu menikahiku? Aku pikir hanya aku satu-satunya wanita yang ada di hatinya.Tanpa sadar, langkahku mundur hingga bersandar pada tembok kamar. Aku butuh tempat untuk menopang tubuhku yang tiba-tiba melemas."Maaf, jika kejujuran ini menyakiti hatimu, Gauri." Mas Abdu belum berani menatapku. Aku masih butuh beberapa detik mencerna tiap ucapannya. Setelah mendapati seluruh tenagaku yang meluruh, aku berdiri, melangkah ke arah meja rias di sudut kamar, aku menarik kursinya lalu duduk di situ."Ceritakan padaku semuanya, Mas. Tanpa ada satu pun yang ditutupi. Sehingga aku bi
Lonceng pulang sekolah berbunyi. Abdu gegas berdiri setelah gurunya meninggalkan kelas terlebih dahulu. Ali sudah menunggunya di ambang pintu kelas. Pemuda berambut keriting itu seperti biasa memberi tumpangan untuk Abdu tiap pulang sekolah."Mampir dulu bentar, yuk, ke rumah Dodot." Ali berbicara sambil memutar-mutar gantungan kunci motor di telunjuk kanannya."Mau ngapain?" Abdu bertanya."Nggak ngapa-ngapain, sih. Pengin mampir aja. Udah lama kita nggak kumpul di sana." Ali membetulkan posisi ranselnya."Bentar aja, ya. Nanti Bibi nyariin aku," jawab Abdu."Takut dimarahi, ya?" Ali meledek."Aku cuma nggak mau ribut. Itu aja." Abdu mengedik bahu. Dia berjalan mengiringi langkah Ali ke arah parkiran motor.Setelah Ali menyalakan mesin, mereka berdua naik ke atas kuda besi keluaran tahun 2000 itu, platnya sudah dilepas, berwarna biru dongker dengan list merah jambu. Terkadang Abdu tersenyum sendiri melihat kendaraan milik sahabatnya
"Li, aku pinjam motormu, ya?" Abdu berdiri meraih kunci motor Ali yang tergeletak di atas meja ruang tamu rumah Dodot."Mau jemput Freya lagi?" Ali bertanya sambil mengunyah gorengan. "Jadi obat nyamuk lagi, dong, akunya!" Ali menggoda Abdu. Sesungguhnya dia turut senang setelah sosok Abdu berubah menjadi periang. Bukan seperti Abdu yang dulu, minder dan tak bersemangat sebelum bertemu Freya."Kan ada Dodot. Ya, kan, Dot?" Abdu menatap Dodot sambil memakai sepatu di ambang pintu, lalu mengikat talinya menjadi simpul yang rapi.Dodot yang awalnya sedang rebahan di lantai keramik, bergerak bangkit dan duduk, membuat gerakan seolah sedang menyelipkan rambut ke telinga kemudian melambai pada Ali. Sontak Abdu tergelak melihatnya."Apa dosaku, Ya Allah!" Ali bergidik kemudian melempar sebiji cabe rawit tepat mengenai hidung Dodot yang bangir. Dodot tertawa lepas memperdengarkan suara baritonnya.Abdu bersenandung, melangkah ke motor Ali yang terparkir di
"Tadi malam Laila bilang, Minggu besok katanya si Freya ulang tahun. Gimana kalo party yang direncanakan kita bikin hari itu aja, Du," saran Ali saat dua sahabat itu sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Dodot. Seperti biasa, mereka berkumpul sehabis pulang dari sekolah."Ulang tahun? Aku malah nggak tau sama sekali. Freya nggak bilang apa-apa." Abdu menatap Ali serius."Dia bilang ke adikku malah jangan kasih tau ke kamu. Katanya nggak mau merepotkan. Takut kamu kasih kado." Ali mengangkat bahu. "Kayaknya Laila cerita semua tentang kamu, deh. Termasuk kamu nggak pernah dikasih uang saku."Abdu menarik napas. "Seharusnya Laila jangan cerita-cerita mengenai hal itu.""Yah, kan, bagus, Du. Kamu jadi tau kalo Freya nerima kamu karena dia benar-benar tulus." Ali menambahkan. "Banyak pemuda di kampung yang dia tolak, padahal anak orang berduit. Contohnya aja si Luki. Itu tandanya pacarmu itu nggak matre."Abdu termenung. Setelah mengetahui hari ulang ta
Seorang gadis berkulit putih sedang mematut diri di depan cermin. Dia merapikan rambutnya yang hitam pekat lurus sebahu dengan jemarinya. Berkali-kali dia membetulkan tali pinggang hijau muda yang mempunyai rumbai-rumbai panjang. Kerah baju kaosnya pun tak luput dari perhatiannya.Melangkah keluar kamar kemudian Freya menghampiri ibunya yang sedang duduk di ambang pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur."Bu, Freya mau pergi dulu, ya. Ada temen yang bikin acara." Gadis yang duduk di bangku SMP kelas 3 itu pamit pada ibunya sembari mencium tangan."Sendirian atau ada yang jemput?"Freya tersipu menatap ibunya. "Fre dijemput Kak Abdu, Bu.""Pulangnya jangan kesorean, ya. Jangan sampai Magrib," ujar wanita yang menurunkan gen kulit putih ke putrinya itu.Freya melangkah ke ruang tamu, duduk di sofa, menunggu kedatangan Abdu sembari berdebar. Berulang kali dia mengembuskan napas untuk menenangkan rasa gugupnya. Meski sudah sering kali ber
Hingga sore menjelang, Abdu tak jua kunjung datang. Atas bujukan Wulan pula, dia mengajak Freya mampir ke rumahnya yang tak jauh dari rumah Dodot tersebut. Wulan juga berjanji akan mengantar Freya dengan motornya setelah dia menjemput motornya dulu ke rumah.Ali tidak bisa mencegah. Dia membiarkan saja kedua gadis itu pergi menjauh. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran atas apa yang telah terjadi antara sahabatnya dan Freya, yang menurutnya sangat janggal. Ali tidak percaya jika Abdu dan Freya bisa bertengkar hebat di satu bulan usia hubungan mereka. Apalagi hari ini gadis itu berulang tahun.Setelah jam 7 malam, baru lah Abdu datang. Baju singletnya basah, kemeja yang semula terpakai rapi, sudah tersampir di bahunya. Wajahnya pun terlihat sangat lelah."Kemana aja, sih, Du? Kenapa kamu pergi ninggalin Freya begitu aja? Kamu tau nggak tadi dia menangis? Apa yang sebenarnya sudah terjadi?" Ali menyambut dengan pertanyaan yang bertubi-tubi."Aku dari kebun da
Abdu menunggu Freya di jalanan setapak, tempat mereka pertama kali bertemu. Dia gelisah sekaligus gugup, takut jika gadis itu tak mau lagi bicara padanya.Satu jam menunggu, gadis yang dia nantikan terlihat melangkah mendekat. Freya berjalan menunduk, tidak menyadari Abdu yang berdiri di hadapannya. Ketika melihat sepasang sepatu Abdu, barulah dia mendongak."Hai!" sapa Abdu kikuk."Kakak nunggu aku? Kebetulan ada sesuatu yang ingin aku sampein ke Kakak." Tak diduga, respons Freya seperti biasa, tersenyum manis."Apa itu?""Sambil jalan, yok!" Freya melanjutkan langkahnya. Abdu nurut, mensejajarkan langkahnya dengan langkah Freya.Beberapa menit mereka melangkah dalam diam. Hingga langkah mereka hampir mencapai ujung jalan setapak itu, Freya berhenti dan menghadapkan badannya ke Abdu."Kak, Steve udah kembali. Beberapa hari yang lalu dia datang padaku."Hening."Jadi ...." Freya tidak melanjutkan. Dia membuang muka saat