Share

6. Pertengkaran Hebat

Aku mengendarai lagi laju motor ke arah sekolah Taksa dengan benak yang berkecamuk. Di satu sisi aku marah pada Mas Abdu yang sudah mengarang cerita dan kebohongan. Di sisi yang lain ada perasaan malu serta rasa bersalah pada diri Freya.

Setelah tiba di tanah lapang tepat di depan warung makanan Bu Haji, kuparkirkan motor di sana. Mengunci setang motor, aku melangkah mendekati Mama Joshua yang sedang duduk sendirian.

"Kok, sendirian, Mama Joshua? Mana yang lain?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan.

Wanita berusia setengah abad berdarah Batak itu menjawab, "Iya ... yang lain tadi pada pulang. Saya malas pulang, Mama Taksa. Nanggung banget. Lebih baik saya nunggu di sini aja."

Aku meraih ponsel di kantong celana, membuka layarnya dan melihat jam digital. Lima belas menit lagi anak-anak akan keluar kelas.

Tak lama setelah aku mengambil duduk di sebelah Mama Joshua, seorang ibu-ibu lain datang mendekat dan ikut bergabung. Dia mengendong anaknya yang berusia kisaran dua tahun dengan kain batik panjang.

"Mama Nisa tumben cepat jemput?" Ternyata Mama Joshua mengenalnya dan menyapa.

"Iya, Mam. Aduuh ... terpaksa saya membawa si bontot menjauh dari rumah," jawab Mama Nisa dengan wajah sedikit pucat.

"Kenapa gitu, Mam?" tanya Mama Joshua ingin tau.

Mama Nisa berjalan semakin mendekat dan berdiri sangat dekat dengan kami yang sedang duduk di bangku panjang. Sambil berbisik dia bilang, "Tetangga saya sebelah rumah teriak-teriak. Berantem sama suaminya. Suaminya ketahuan selingkuh dan istrinya mengamuk membabi buta." Mama Nisa berhenti dan menelan ludah. "Namanya aja tinggal di perumahan yang hanya dibatasi selapis tembok, pasti dengar banget teriakan-teriakan mereka."

"Ya ampun ... ngeri kali, Mama Nisa. Nggak ada yang mencegah atau bagaimana kah? Takut nanti terjadi hal yang nggak-nggak." Mama Joshua ikut berkomentar.

"Selama pertengkaran mereka tadi, si suami nggak banyak bersuara. Hanya istrinya yang bicara sumpah serapah mencaci maki. Itu sebabnya saya pergi bawa anak saya ini. Takut semua ucapan nggak baik itu didengar dan di-copy. Duh ... benar-benar seram, Mam. Semoga nanti pas pulang mereka sudah berhenti bertengkar," jelas Mama Nisa panjang lebar.

Aku hanya mendengarkan saja obrolan mereka tanpa sedikit pun ikut berkomentar. Keterangan Mama Nisa mengingatkan aku pada masalahku sendiri.

Bagaimana jika aku dan Mas Abdu nanti bertengkar seperti pasangan tetangga Mama Nisa? Pastilah Mas Abdu tersulut emosi setelah dia kucecar dengan bantahan dan bukti dari semua kebohongannya.

Aku tidak ingin Taksa mendengar pertengkaran kami. Pastilah tidak baik untuk tumbuh kembangnya. Ah, haruskah aku diam saja di atas semua kebohongan Mas Abdu ini? Aku sungguh bingung. Berilah petunjuk padaku Ya Allah. Aku mengembuskan napas panjang-panjang, tak kudengarkan lagi obrolan antara Mama Joshua dan Mama Nisa. Sebab benakku melanglang buana, memikirkan nasib pernikahanku sendiri.

***

Mendekati waktu kepulangan Mas Abdu sepulang bekerja, rumah sudah bersih dan tertata rapi. Taksa pun sudah wangi sehabis kumandikan. Menghabiskan waktu sore, seperti kebiasaanku sehari-hari, aku duduk di sofa ruang tamu sembari bermain ponsel.

Kali ini Taksa menemaniku sambil bermain bersama beberapa anak tetangga di bawah teras rumah. Setengah jam kami berada di sana, terlihat mobil sedan putih Mas Abdu melaju kencang.

Taksa menoleh dan memancarkan raut senang saat melihat kedatangan ayahnya. Dia meloncat-loncat girang tatkala mobil itu sudah memasuki pekarangan rumah kami. "Papa pulang! Papa pulang!" teriak bocah berpipi tembam itu.

Namun, yang mengagetkanku, Mas Abdu keluar dari mobil dengan membanting pintunya sangat keras. Wajahnya menyimpan kemarahan seraya menatapku. Bahkan dia mengabaikan putranya yang sudah merentangkan tangan untuk menyambutnya.

Bergegas Mas Abdu menghampiriku. Aku berdiri menyambut kedatangannya. "Saya mau bicara dengan kamu!" katanya tiba-tiba sambil berlalu masuk ke dalam kamar kami. Tentu saja hatiku berdetak dan bertanya-tanya, ada apa ini?

Namun, aku mencoba tenang, mendekati Taksa merayunya agar dia berhenti bermain. Juga secara halus kubilang pada teman-temannya bahwa hari akan memasuki Magrib. Sebaiknya mereka pulang saja ke rumah. Untungnya mereka nurut, begitu juga Taksa.

Setelah menutup pintu depan, aku menggiring Taksa ke kamarnya. Aku memasangkan earphone di telinganya dan membujuk agar dia tidak keluar kamar untuk beberapa waktu.

Mengembuskan napas sembari mempersiapkan diri, kuraih grendel pintu kamar lalu membukanya perlahan. Aku mendapati Mas Abdu sedang berkacak pinggang membelakangi masih dengan posisi berdiri.

"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada datar dan normal. Agar dia tau, aku tidak takut sama sekali padanya.

Mas Abdu memutar badan menghadapku, menatapku dengan tajam sembari menaikkan sebelah alisnya. "Apa maksudmu, Gauri? Apa yang kamu inginkan kali ini? Mengapa kamu datangi Freya? Mau ditaruh di mana mukaku sekarang, hah?!" Mas Abdu memberikan rentetan pertanyaan dalam satu tarikan napas.

Kamu? Aku tersenyum sinis dalam hati. Dari sapaan 'Mama' menjadi 'Kamu'? Semarah itukah Mas Abdu padaku sampai mengubah sapaan itu?

"Menurut Mas apa yang salah? Aku hanya mengunjungi teman lama, apa yang salah dari itu?" Aku menjawab santai.

"Mengunjungi? Kamu nggak dengar gunjingan para tetangga sekeliling? Mereka bilang kamu sudah melabrak Freya. Mau ditaruh di mana mukaku sekarang?!"

"Kenapa Mas jadi dengerin omongan tetangga, sih? Tinggal abaikan aja apa susahnya." Aku melangkah santai ke tempat tidur. Namun, sebelum aku sampai ke sana, tiba-tiba Mas Abdu menarik dan mencengkeram lengan kiriku. Membuatku menatapnya sangat dekat. Wajahnya masih dipenuhi raut emosi. Rahangnya berkedut.

"Dan gara-gara kamu Freya memblokir semua akunku. Bahkan dia tidak mengangkat telepon dariku. Bukan ini yang aku inginkan!" Akhirnya ucapan tak terduga meluncur dari bibirnya.

Aku tertawa senang sekali. Seperti baru saja mendapat doorprize. "Oh ... jadi itu penyebab sebenarnya, Mas. Mas nggak malu mengungkapkan itu padaku?" Kini senyum sinis mengembang dari wajahku. "Keceplosan, kan, akhirnya."

Dia melepaskan tangannya dari lenganku. "Bukan seperti itu, Gauri. Aku hanya nggak mau hubungan baik yang udah terjalin berakhir begitu aja karena gunjingan orang." Mas Abdu mencari alasan dan suaranya mulai melembut.

"Jujur aja, Mas. Nggak usah ditutup-tutupi lagi. Sebenarnya apa yang udah terjadi antara Mas dan Freya?" Kali ini suaraku yang agak sedikit meninggi. Namun, masih bisa kutahan. Sebab aku takut tetangga mendengarnya, terlebih Taksa "Aku udah tau kalo Mas bohong. Bahwa Mas yang menghubungi dan mengajak Freya bertemu di luar."

Mas Abdu terdiam. Dia mengenyakkan diri di sisi tempat tidur.  Kali ini tak ada lagi raut emosinya. Dia menatap lantai kamar, dengan sorot yang berbeda.

"Mas juga harus tau, aku pun menyimpan rasa malu sehabis bertemu Freya tadi pagi. Aku tau sejak awal bahwa Freya tidak mungkin melakukan hal-hal yang dibicarakan pengunjing di luar sana. Ini semua gara-gara kebohongan Mas sendiri. Apa Mas  tau itu?" Kutatap dia yang masih menunduk.

"Sekarang katakan padaku, Mas! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang Mas inginkan?" tanyaku lagi.

"Aku masih mencintai Freya hingga saat ini, Gauri ...." Mas Abdu berbicara lirih. Namun, terdengar jelas, menusuk ke hati dan juga indera pendengaranku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status