Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.
Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.
Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.
Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.
Dan bagiku, itu adalah penga
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Malam sangat sunyi di depan warung yang ku jaga ini hanya ada jalan yang sepi tidak ada lalu lalang kendaraan sama sekali di seberangnya hanya ada kebun milik warga tanpa diterangi oleh cahaya sedikitpun sehingga hanya lampu dari warung lah yang menerangi malam itu. “Masih jam 23.00 malam.” Aku melihat jam dinding di salah satu sudut warung, untuk mengusir sepi aku mengambil earphone di salah satu sudut etalase rokok yang ada di depanku untuk kupakai memutar musik di HP. Maklum di sini aku sendiri tidak bisa browsing internet karena terkendala sinyal, kalaupun ada harus ke bukit di ujung jalan dulu supaya bisa browsing atau W* sama temen-temen alumni tempat kuliah ku dulu sehingga hanya MP3-lah satu satunya menemani ku ketika jaga warung. Tak Lampu warung mendadak mati, suasana m
Tubuhku tiba-tiba langsung merinding, angin malam tiba-tiba berhembus ke dalam warung. Hawa dingin yang tidak biasa, yang membuatku bergidik merinding. Hawa yang tadinya tenang dan hanya terdengar suara binatang malam berubah menjadi hawa yang mencekam. Suara tersebut semakin mendekat dan menjadi jelas dan mengusik keheningan di malam itu. Malam yang tadinya hening dalam sekejap berubah menjadi malam yang menyeramkan. Senter di hp rupanya tidak terlalu membantu karena suara itu masih ada dan terdengar dengan jelas, suara sesosok makhluk yang seperti berjalan mendekat ke arah warung dengan nafas yang berat di seberang jalan. “Duh mana ya lilinya ko ga ada,” pikirku dalam keadaan panik pada malam itu. Sreeet, Sreeet, HEEEH, HEEEH
Aku berhenti beberapa langkah setelah keluar dari warung, kemudian melihat sekelilingku yang nampak berbeda dari kampung yang aku kenal. Harusnya jarak antara warung dan rumah tak sampai 15 meter jaraknya. Hanya terpisah oleh pekarangan dan kebun kecil depan rumah, tapi apa yang kulihat ini seperti tempat yang asing. Tempat yang seharusnya menjadi lokasi rumahku, terlihat hanya sebuah bangunan kosong yang sepertinya sudah lama ditinggalkan yang dimana dinding rumah tersebut sudah banyak yang lapuk dimakan usia, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, atapnya sebagian sudah tidak ada bahkan sebagian sudah berlumut dan ditutupi oleh ilalang serta tumbuhan liar yang merambat melalui tembok. “Ini dimana?” pikiranku kembali kacau setelah kejadian genderuwo tadi. Kampung
Pasar malam yang kulihat ini seperti pasar malam yang ada di waktu-waktu tertentu di kampung, di sisi kanan dan kiri jalan berjajar stan makanan yang menggugah selera sembari diterangi obor dan lampu minyak. Stan makanan yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia dengan bangku dan meja kecil tempat pengunjung stan duduk dan menikmati makanan di malam itu. Orang-orang yang hilir mudik kesana kemari menikmati suasana pasar malam, mereka saling bercengkrama satu sama lain dan di iringi oleh sesekali tawa senang dari pengunjung. Di ujung deretan stan terdapat satu panggung kecil yang terbuat dari kayu dengan penerangan obor di kedua sisinya di atasnya terdapat satu panggung kecil yang tertutup oleh kain berwarna hitam dan batang pisang di atasnya, dan di belakangnya terdapat dalang yang sedang melakukan pagelaran wayang golek dan diiringi oleh gamelan khas Sund
“Ujang tidak kenapa-kenapa kan?” tanya Indah. “Hmmm, iya, Ndah tidak kenapa-kenapa kok,” jawabku. Aku berbalik melihat ke pasar malam tadi, tiba-tiba yang kulihat malah pemandangan yang berbeda. Yang di hadapanku ini hanyalah sebuah lahan kosong yang membentang luas disertai pohon-pohon besar di kedua sisinya, tidak ada tanda-tanda bahwa tempat tersebut adalah pasar malam yang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Hanya lahan kosong dengan ilalang yang dikelilingi pohon besar. “Bukanya tadi di sini ada pasar malam Indah?” tanyaku kepada Indah. “Itu memang pasar malam jang, tapi bukan pasar malam untuk manusia.”
Kondisi warung tampak tidak karuan, seluruh dagangan di atas etalase yang awalnya tertata rapi terlihat berantakan. Semua jajanan telah hilang dan berhamburan hingga keluar warung, seperti ada sesuatu yang datang dan memakan makanan yang ada di warung hingga dibawa keluar. Tetapi ada hal aneh, di lantai banyak berserakan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Uang tersebut berserakan di sekitaran warung. Aku mengambil salah satu uang yang tercecer di lantai tersebut. “Apa ada perampok yang mencoba mencuri warung?” pikirku. Aku pun berlari ke dalam warung dan mengecek rak uang, aku membuka perlahan rak tersebut untuk melihat dalamnya. Karena ditakutkan bahwa uang yang berserakan adalah uang yang ada di dalam ra
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Tiba-tiba terdengar suara wanita itu memesan kopi kepadaku. “Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Wanita itu mengulang ucapannya kepadaku, tapi ketika wanita itu berbicara tiba-tiba badanku merinding. Seakan-akan ada aura mistis yang menakutkan terpancar dari wanita itu. Wanita duduk dan menghadap ke arah jalan sehingga aku hanya melihat punggung nya dengan rambut panjang yang hampir menyentuh lantai. Dengan baju putih yang lusuh dan rambut panjang yang kusut terlihat beberapa daun kering yang menempel di rambutnya semakin membuatku semakin yakin bahwa wanita itu bukan manusia. Wanita itu duduk terdiam tanpa sesekali menggerakan tanganya, s