Share

WARUNG TENGAH MALAM
WARUNG TENGAH MALAM
Penulis: pujangga manik

1-PEMBELI DIMALAM HARI

Malam sangat sunyi di depan warung yang ku jaga ini hanya ada jalan yang sepi tidak ada lalu lalang kendaraan sama sekali di seberangnya hanya ada kebun milik warga tanpa diterangi oleh cahaya sedikitpun sehingga hanya lampu dari warung lah yang menerangi malam itu.

“Masih jam 23.00 malam.”

Aku melihat jam dinding di salah satu sudut warung, untuk mengusir sepi aku mengambil earphone di salah satu sudut etalase rokok yang ada di depanku untuk kupakai memutar musik di HP. Maklum di sini aku sendiri tidak bisa browsing internet karena terkendala sinyal, kalaupun ada harus ke bukit di ujung jalan dulu supaya bisa browsing atau W* sama temen-temen alumni tempat kuliah ku dulu sehingga hanya MP3-lah satu satunya menemani ku ketika jaga warung.

Tak

Lampu warung mendadak mati, suasana menjadi gelap gulita. Aku kaget dan reflek melepaskan earphoneku dan menyalakan senter di HP mencari-cari lilin seperti apa yang ditulis di catatan yang dibuat oleh Ibuku pada sore hari karena menurutnya listrik sering mendadak mati pada waktu waktu tertentu.

Lampu yang padam harus segera diganti dengan lilin dan jangan dibiarkan terlalu lama, aku tak paham sebenarnya apa maksud Ibuku mungkin karena hanya penerangan warung satu satunya. Makanya ketika mati lampu penerangan satu-satunya hanya dengan lilin, akupun mencari lilin di setiap sudut warung tetapi tak menemukan juga lilin yang dimaksud Ibu.

“Mana ya?” pikirku sambil mencari-cari dengan senter HP.

Dengan kegelapan total di waktu itu susana mendadak tidak enak, hawa yang sebelumnya normal-normal saja sekarang terasa aneh. Rasa takut pun perlahan muncul dan tak lama kemudian.

Sreeet, sreet, HEEEH HEEEEH

Tiba-tiba muncul suara dari seberang jalan suara yang berat dan arahnya mendekati warung.

***

Sebelumnya perkenalkan namaku Ujang Darsa panggil saja aku Ujang. Nama yang sangat familiar di tatar sunda. Aku hidup selama 18 tahun di salah satu kampung yang bernama Kampung Sepuh di selatan kota Bandung, meskipun begitu aku adalah satu dari sekian banyak orang di Kampung Sepuh yang bisa berkuliah di kota Bandung dan di tahun ini aku baru saja lulus di salah satu Universitas Negeri di kota Bandung.

“Jang, kamu masih belum punya kerjaan juga?" Ibuku menanyakan kabarku via telepon.

“Belum Bu di masa pandemi ini susah nyari kerja,Ujang sudah melamar kesana-kemari, tetapi belum ada panggilan, apalagi Ujang baru lulus tahun ini yang belum berpengalaman jadi semakin sudah Ujang cari kerja,” jawabku dengan sedikit murung.

"Ya sudah kalau Ujang belum dapat kerja, sambil nunggu panggilan kerja ujang sementara bisa tinggal dirumah dulu daripada di Bandung. kalau di sini kan Ujang tidak perlu khawatir masalah makan dan kebutuhan lainnya," jawab Ibuku yang mencoba menghiburku.

Aku menutup telepon dari Ibuku dan duduk di atas kasur di kosan. Sudah 3 bulan semenjak aku lulus, aku belum mendapatkan pekerjaan. Apalagi di masa pandemi ini lowongan kerja semakin sedikit.

Sudah melamar kesana kemari, tetapi belum ada hasil, Banyak pikiran yang membebaniku pada waktu itu. Dan beberapa hari setelah Ibu menanyakan kabar via telepon akhirnya aku memutuskan untuk pulang, setidaknya kalau pulang meskipun aku belum mendapatkan pekerjaan aku masih bisa bantu orang tua di kampung.

Kampungku jaraknya sekitar 100 km dari kota Bandung. Apabila kita berangkat dari kota Bandung lurus ke arah selatan melewati Kabupaten Bandung, melewati beberapa gunung dan beberapa hutan.

Hingga akhirnya ada tanda jalan kecil yang terbuat dari kayu yang menunjukkan arah ke Kampung Sepuh dengan jalan yang masih berbatu dan hutan yang lebat sehingga kampungku agak sulit diakses sehingga masih belum semodern di kota.

Mungkin untuk sebagian orang yang pertama kali ke kampungku akan menyebutnya hidden paradise. Karena letaknya diapit oleh dua tebing yang menjulang tinggi dengan air terjun di kedua sisinya membuatnya menjadi pelengkap keindahan kampungku ini.

Kampungku dari dulu hingga sekarang terkenal menjadi tempat persinggahan untuk orang-orang yang datang ke gunung sepuh. Salah satu gunung yang ada di ujung kampung yang dipercaya oleh beberapa orang menjadi tempat untuk mencari kekayaan dan mencari ilmu untuk mempermudah hidupnya.

Biasanya mereka berhenti di gunung Sepuh untuk beristirahat dan membeli perbekalan untuk bersemedi beberapa hari hingga beberapa bulan tergantung perjanjian dengan para makhluk gunung sepuh.

Aku naik motor dari Kota Bandung pagi hari dan tiba di kampung sore hari, sungguh perjalanan yang melelahkan. Tak jarang aku beberapa kali berhenti untuk sekadar ngopi dan beristirahat.

Mengingat ini bukan perjalanan yang bisa ditempuh satu atau dua jam dengan jalan yang berliku dan beberapa hutan dan gunung yang harus dilewati sehingga membutuhkan stamina dan tenaga yang terisi penuh.

Beberapa kali motorku tidak bisa jalan akibat terhalang batu besar di jalan atau terjebak di lumpur. Tak jarang aku pun turun dan mendorong motor supaya motor tersebut bisa keluar dari lumpur tersebut.

Akhirnya sekitar jam 4 sore aku sampai di gapura selamat datang di depan kampung. Dengan gapura kecil yang terbuat dari bambu dan di atasnya terdapat tulisan.

WILUJENG SUMPING DI KAMPUNG SEPUH (SELAMAT DATANG DI KAMPUNG SEPUH)

Akupun melewati gapura selamat datang itu dan masuk ke Kampung Sepuh, sejenak kulihat pemandangan kampung yang sudah kutinggalkan selama beberapa tahun karena aku kuliah di kota. Sebuah kampung asri di mana aku lahir dan hidup di sini hingga akhirnya aku merantau untuk kuliah di kota Bandung beberapa tahun yang lalu.

Jalan yang lurus, membentang melewati Kampung Sepuh dan berakhir ke gunung sepuh. Di kiri dan kanan jalannya berjajar rumah-rumah tradisional khas sunda, beberapa masih berbentuk rumah panggung dan beberapa lagi sudah modern. Penduduk Kampung Sepuh umumnya adalah petani dan beberapa dari mereka menjual hasil pertaniannya di sekitaran kampung atau menjualnya ke kampung tetangga.

Beberapa dari mereka juga sengaja merantau ke Kota untuk mendapatkan pekerjaan. Biasa para anak muda Kampung Sepuh yang lebih menginginkan bekerja di pabrik daripada menjadi petani, karena menurut mereka bekerja di pabrik lebih menjanjikan.

Kulihat dari kejauhan salah satu rumah panggung kecil di ujung jalan Kampung Sepuh, rumah dengan dinding berwarna putih yang sudah memudar. Di sana adalah tempatku tinggal sewaktu kecil hingga aku lulus SMA.

Tidak jauh dari rumah itu terdapat salah satu warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari. Warung satu-satunya di Kampung Sepuh dengan dagangan yang aku anggap cukup lengkap, dari mulai sayuran, alat mandi, alat makan, makanan, minuman hingga voucher pulsa dan bensin eceran.

Warung tersebut menjadi tempat untuk para warga membeli segala kebutuhanya, tak jarang para Ibu-ibu setiap pagi datang ke warung untuk membeli sayur mayur sekaligus bergosip ria dengan warga kampung yang lainya sehingga tiap hari warung itu sangat ramai oleh pembeli.

Aku pun memarkirkan motorku di sisi jalan tepat di depan rumahku. Perlahan-lahan aku menurunkan tas carrier yang berisi baju-bajuku dan perlengkapan yang kubawa dari kostan. tak lama kudengar suara teriakan yang samar-samar dari warung.

“Ujaaaaang sudah nyampe??” teriak Ibuku dari warung menghampiriku yang baru saja tiba.

Drap drap drap terdengar suara langkah kaki yang menghampiriku.

Ibuku dengan sedikit berlari datang menghampiriku, dengan sedikit tergesa-gesa karena ingin segera melihat anaknya yang baru pulang dari kota.

Ibuku seperti Ibu-ibu di kampung pada umumnya, memakai kebaya dengan rambut yang disanggul. Ibu memelukku dan kemudian membantuku untuk membawa tas berisi baju dan perlengkapan yang aku bawa di kost dari Bandung.

Setelah sedikit beristirahat kami pun berbincang tentang keadaanku saat ini.

“Iya, Bu, Ujang masih belum dapat kerja semenjak lulus, jadi ujang rasa ujang pulang terlebih dahulu sambil nunggu pandemi ini reda, Bu,”  kataku sambil menghela napas.

“Yaudah gak apa-apa tinggal aja dulu di sini, Ibu dengar di Bandung banyak yang tertular jadi mendingan pulang aja di sini mah aman, agak bahaya Bandung sekarang,” jawab Ibuku dengan nada khasnya.

Aku hanyalah anak Ibu satu-satunya dan ketika aku kuliah 1 tahun yang lalu Bapak meninggal dunia dan akhirnya tinggallah Ibu sendirian di kampung, sehingga ketika aku kuliah 1 tahun terakhir Ibu hanya sendirian dirumah.

Setelah satu tahun meninggal aku belum pernah mengunjungi makam Bapak karena ada skripsi yang harus segera aku selesaikan. Sehingga tidak bisa pulang kampung untuk menemani Ibu dan dengan berat hati meninggalkan Ibu dirumah sendirian.

Penghasilan keluarga juga hingga saat ini hanya dari warung yang lokasinya di sebelah rumah yang dijaga oleh Bapak, meskipun awalnya aku merasa aneh karena warung itu tidak pernah tutup selama dua puluh empat jam, seminggu, sebulan bahkan setahun pun warung tetap saja buka.

Ibu dan Bapak bergantian menjaga warung. Ketika pagi hingga sore Ibu menjaga warung dan ketika malam tiba Bapak yang menjaga warung hingga pagi hari.

Sungguh aneh memang mengingat ini hanyalah kampung kecil yang ketika waktu magrib terlihat sepi, jarang sekali ada lalu lalang kendaraan apalagi di malam hari. Aku berpikir mungkin itu semua demi biaya kuliahku yang tidak sedikit sehingga hingga malam pun warung tersebut masih buka.

Meskipun ada satu hal yang dilarang oleh Bapak kepadaku sewaktu aku kecil. Aku dilarang untuk mengunjungi warung di malam hari. Aku hanya bisa mengunjungi warung siang hari dan ketika magrib tiba aku harus pulang dan diam di rumah hingga pagi tiba.

Aku membuka kamarku yang sudah lama ku tinggalkan. Serasa nostalgia melihat kamarku sekarang, setelah beberapa tahun hidup di kota ketika kuliah muncul lagi kenangan-kenangan semasa kecil setelah melihat kamar ini.

Kamar yang sederhana yang berukuran 4x2 meter dengan kasur yang masih terbuat dari kapuk dan meja belajar kecil di sudut kamar. Lalu ada kursi kecil tempat di mana dulu Ibu duduk setiap malam menceritakan dongeng-dongeng sebelum tidur saat aku kecil.

Tak jarang ketika aku bandel karena belum tidur di malam hari Ibu juga menakuti ku dengan cerita seperti, jurig jarian (hantu yang suka mengganggu dan suka tinggal di tempat sampah atau tempat yang kotor), lulun samak (hantu sungai yang suka menenggelamkan anak-anak yang bermain di sungai), aul (manusia serigala yang katanya tinggal di gunung sepuh dan dekat dengan kampung), serta genderuwo (makhluk yang tinggi besar berbulu yang suka menculik anak kecil). Ibu bercerita tentang hal yang menyeramkan dengan tujuan supaya aku cepat tidur dan tidak main terlalu malam di rumah.

Setelah mandi dan ganti baju aku pun bergegas ke warung, sebuah warung di sebelah rumah yang sekarang dijaga oleh Ibu tanpa henti setelah Bapak meninggal. Warung dengan dinding kayu dengan tempat duduk di depan tempat warga kampung membeli keperluan nya dan tempat untuk mengobrol dengan pembeli lain yang nongkrong di sana.

Didalamnya ada satu etalase besar yang terbuat dari kaca yang di dalamnya terdapat barang-barang yang didagangkan seperti sabun,sampo dan makanan-makanan. Lalu di sebelahnya terdapat kursi kecil tempat Ibu duduk menunggu pembeli dan rak kecil untuk menyimpan uang dan ada dua ruangan lagi di belakang yaitu gudang dan kamar mandi.

Aku duduk di depan warung menunggu Ibuku melayani pembeli di warung tersebut, tak berapa lama Ibu pun menghampiriku. Karena sudah lama tidak bertemu, aku pun mengobrol banyak hal dengan Ibu, aku bercerita tentang kuliahku hingga aku lulus.

Aku juga menceritakan kehidupanku selama kost di Bandung hingga rencanaku kedepan setelah aku mendapatkan pekerjaan. Banyak hal yang aku sampaikan ke Ibu, Ibu pun tak jarang memberikan nasihat supaya aku tidak menyerah untuk mencari pekerjaan dalam obrolan itu juga banyak petuah-petuah yang Ibu sampaikan apabila aku harus meninggalkan kampung lagi untuk bekerja di Kota.

Tak terasa waktupun sudah menunjukkan jam 18:00. Ibuku kemudian menyuruhku untuk pulang dan beristirahat karena Ibu harus melanjutkan berjaga warung di malam hari. kemudian Ibuku berdiri dan kembali ke dalam warung.

Terlihat tubuhnya yang tidak lagi muda pun kembali ke dalam warung dan duduk di sana. Akupun berdiri dan melihat Ibuku yang sendirian ini menjaga warung siang dan malam. Aku yakin Ibu pasti lelah, meskipun wajahnya tidak menunjukkan bahwa dia kelelahan.

Timbul rasa ingin membantu Ibu untuk menggantikanya berjaga. Sebagai anak satu-satunya setidaknya bantuanku ini akan meringankan beban yang dipikul Ibuku. Aku pun berjalan ke dalam warung dan menghampiri Ibu, lalu aku pun berkata.

“Bu malam ini biar aku yang jaga warung, Ibu istirahat saja dirumah.”

Tetapi setelah aku berkata seperti itu, raut wajah Ibu sedikit berubah. Dari yang tadinya senang karena sudah bertemu dengan anaknya kembali setelah lama meninggalkan rumah. Kulihat wajahnya tampak berubah seakan-akan raut mukanya menyiratkan tidak menyetujui untuk aku jaga warung di malam hari.

Ibuku terdiam sebentar, lalu Ibuku berkata.

“Udah jang, Ujang aja yang istirahat. Ujang kan capek perjalanan jauh dari bandung, Ibu sudah biasa jaga di warung, Ujang istirahat aja kasian dari Bandung langsung begadang jaga warung” kata Ibuku yang menyarankan aku beristirahat.

Lalu aku pun duduk disamping Ibu dan kembali meyakinkan Ibu untuk menjaga warung itu. karena aku tidak tega melihat Ibuku berjaga seharian penuh tanpa ada yang menggantikannya.

“Ga apa-apa bu, sesekali Ibu istirahat dirumah mumpung ada aku malam ini biar aku aja yang jaga, tubuhku masih kuat nih di Bandung aja sering bergadang ngerjain tugas jadi ya cuman jaga warung mah bisa lah,” kataku sekali lagi meyakinkan Ibu.

Ibuku kembali terdiam, kali ini dia memandang wajahku dengan tatapan yang seolah-olah dia tidak setuju dengan ucapanku itu.

“Ujang yakin? ”  Ibuku menanyakan keseriusan ku  atas ucapanku barusan.

Kali ini tangan Ibuku memegang tanganku dengan erat, dia meyakinkanku lagi atas ucapanku barusan, seperti ada sesuatu yang tidak bisa tentang warung ini. Itu terlihat dari raut muka ibu yang khawatir apabila aku berjaga di warung di malam hari.

“Yakin Bu, mumpung Ujang dah di sini, Ibu jaga warung siang hari aja, biar pas malam aku aja yang jaga,” jawabku kembali menyakinkan Ibuku pada sore itu.

Ibuku terlihat aga aneh ketika aku menjawab itu, Ibuku terlihat bingung, seperti tidak mau membiarkan anaknya untuk menjaga warung di malam hari.

Ibu kembali duduk dan terdiam, Seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak ada tanda-tanda keanehan dalam raut wajah Ibu. Pikiranku pada saat itu hanya khawatir akan kesehatanku karena setelah menempuh perjalanan panjang, aku harus berjaga di warung hingga pagi hari, sehingga ibu ingin aku beristirahat.

Setelah berapa lama Ibu berdiri mengambil pulpen serta secarik kertas dari buku catatan warung. Ibu pun menulis sesuatu di atas kertas dan memasukkannya ke amplop dan memberikannya kepadaku.

“Kalau Ujang beneran yakin, ini adalah catatan yang dulu sempat ditulis oleh Bapak sebelum meninggal ketika Ibu jaga malam, dan ini Ibu tulis lagi buat Ujang, tetapi buka itu pada saat jam 21:00 malam ya?”

Ibuku menyerahkan amplop itu kepadaku, sebuah amplop yang berisi catatan yang harus dibuka pas jam 21:00 malam. Awalnya aku bingung dengan catatan itu,apakah itu adalah harga dari seluruh barang dagangan ini. atau hanya secarik kertas yang isinya sebuah catatan apabila ada yang datang untuk membeli sesuatu yang barangnya harus dicari terlebih dahulu di dalam gudang. Pikiranku mulai membayangkan apa yang ada dalam catatan itu karena ibu berkata catatan itu harus dibuka jam 21:00 malam.

“Emang kenapa bu harus jam 21.00 malam,”  kataku yang tampak kebingungan

“Hmm, ini sebagai wasiat saja yang diturunkan oleh Bapak, Jang,” kata Ibuku dengan raut wajah yang khawatir.

“Owh ya sudah kalau gitu, Bu,” kataku.

“Ya sudah Ibu sekarang pulang aja ya, Ibu beristirahat dan datang lagi besok pagi,”

Ibuku mengangguk dan dia mengambil barang-barang di dalam warung untuk dia bawa pulang ke rumah. Ketika beberapa langkah berjalan keluar warung Ibu berbalik dan berpesan kepadaku.

"Ujang yang kuat ya jaga sampe pagi, memang berat untuk awal-awal Ibu juga seperti itu ketika ditinggal Bapak pertama kali, tetapi memang ini yang harus kita lakukan, Jang"

Tak lama Ibu bergegas pulang meninggalkanku sendirian di warung. Aku tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan Ibu, mungkin jaga malam harus mempunyai stamina yang kuat terutama untuk melawan kantuk karena jaga malam hari berbeda dengan siang hari.

Akupun melihat-lihat sekeliling warung, tak lupa aku juga melihat list catatan harga di dalam warung, mengingat-ingat harga dari setiap barang yang ada di warung supaya tidak ada kekeliruan harga ketika ada pembeli. Lalu aku pun duduk kembali di dalam warung dan memandang keluar warung di sore itu.

Memang Kampung Sepuh tidak seramai di kampung-kampung yang lain ketika magrib tiba, tidak seperti di tempat kostku dulu yang di Bandung yang banyak lalu lalang kendaraan, banyak mahasiswa yang nongkrong di depan kost mereka atau sekadar keluar mencari makanan.

Ketika malam Kampung Sepuh mendadak hening. Tidak ada kendaraan atau orang yang berlalu lalang di sekitaran kampung, kalaupun ada hanya beberapa saja yang mungkin kemalaman di jalan atau memang sedang ada keperluan di luar rumah.

Kecuali pada di waktu-waktu tertentu seperti ada yang nikahan atau sunatan, biasanya suka ada pertunjukan yang diadakan hingga malam hari, dan masyarakat pun tumpah ruah di sana menikmati pertunjukan di malam itu. Tak terasa jam 21:00 pun tiba. Selama aku berjaga hanya beberapa yang datang ke warung untuk membeli sesuatu. Dan aku pun ingat aku diberi catatan yang ditulis oleh ibuku sore itu.

Akupun mengambil amplop yang aku simpan di atas rak uang, pelan-pelan membuka amplop yang berisi catatan yang ditulis oleh Ibu.

“Apapun yang ujang baca Ujang harus turutin hal ini karena pembeli di malam hari berbeda dengan siang hari.

1. Jangan sekali-kali menuju rumah dari jam 9 malam hingga jam 5 pagi walaupun ingin ke toilet bisa ke toilet di belakang warung.

2. Jangan melamun atau pikiran kosong ketika jaga.

3. Jika listrik padam secara tiba, segeralah menghidupkan lilin.

4. Apabila terdengar suatu suara abaikan saja karena suara itu akan menghilang ketika lilin menyala.

5. Jangan sekali-kali mengecek sakelar tanpa menghidupkan lilin ketika lampu mati.

6. Jam 00:00 malam di malam-malam tertentu akan ada wanita yang datang dan duduk di kursi depan warung apabila memakai baju putih buatkan kopi hitam,  apabila memakai baju merah, bilang kalau kopinya habis.

7. Ketika dia menengok jangan sekali-kali menatapnya.

8. Apabila ada yang datang dan menanyakan Bapak antar dia ke belakang warung dan disuruh tunggu di belakang apabila terjadi ketukan dari belakang, datang ke belakang, dengarkan apa yang dia ceritakan.

9. Dan jangan sekali-kali menatap wajahnya.

10. Di malam-malam tertentu akan ada suara yang ramai dan lampu yang terang seperti pasar dari arah kebun seberang jalan abaikan saja, dan apabila ada beberapa anak kecil datang ke warung kasih saja permen dan jangan sekali-kali mengomentari penampilanya.

11. Dan terakhir terimalah apapun yang mereka berikan.

“Apa sih ini,” pikirku aku menutup catatan itu dan menyimpanya lagi di atas rak kecil tempat menyimpan uang. Akupun menggelengkan kepala, mengingat catatan itu terasa tidak masuk akal. Seperti Ibu sedang menakut-nakutiku seperti aku kecil dulu.

“Ah mungkin Ibu nakut-nakutin lagi seperti dulu waktu aku kecil supaya tidur cepat, ah ga mempan bu, masa udah lama tinggal di kota masih takut ama beginian,"  akupun kembali duduk di kursi di dalam warung. Melihat keadaan sekitar warung yang semakin malam semakin sepi di malam itu.

“Masih jam 11 malam,” aku melihat jam dinding di salah satu sudut warung, untuk mengusir sepi aku mengambil earphone di salah satu sudut etalase rokok yang ada di depanku untuk kupakai memutar musik di HP.

Maklum disini aku sendiri tidak bisa browsing internet karena terkendala sinyal, kalaupun ada harus ke bukit di ujung jalan dulu supaya bisa browsing atau W* sama temen-temen alumni tempat kuliahku dulu sehingga hanya MP3 lah satu satunya menemani ku ketika jaga.

Tak

Lampu warung mendadak mati, suasana menjadi gelap gulita, aku kaget dan reflek melepaskan earphone ku dan menyalakan senter di HP mencari-cari lilin seperti apa yang ditulis di catatan yang dibuat oleh Ibuku pada sore hari karena menurutnya listrik sering mendadak mati lampu pada waktu waktu tertentu.

Lampu yang padam harus segera diganti dengan lilin dan jangan dibiarkan terlalu lama, aku tak paham sebenarnya apa maksud Ibuku mungkin karena hanya penerangan warung satu satunya. Makanya ketika mati penerangan satu-satunya hanya dengan lilin, akupun mencari lilin di setiap sudut warung tetapi tak menemukan juga lilin yang dimaksud Ibu.

“Mana ya?” pikirku sambil mencari-cari dengan senter HP.

Dengan kegelapan total di waktu itu susana mendadak tidak enak, hawa yang sebelumnya normal-normal saja sekarang terasa aneh. Rasa takut pun perlahan muncul dan tak lama kemudian.

Sreeet, sreet, HEEEH HEEEEH

Tiba-tiba muncul suara dari seberang jalan suara yang berat dan arahnya mendekati warung.

Komen (23)
goodnovel comment avatar
Aira
Aku sangat suka
goodnovel comment avatar
AsR
namanya juga fiksi horror karangan, klo gamau ngawur nonton berita aja pak pak ..
goodnovel comment avatar
MagicQueen
makin penasaran nih..yuk ah lanjut baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status