Pasar malam yang kulihat ini seperti pasar malam yang ada di waktu-waktu tertentu di kampung, di sisi kanan dan kiri jalan berjajar stan makanan yang menggugah selera sembari diterangi obor dan lampu minyak.
Stan makanan yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia dengan bangku dan meja kecil tempat pengunjung stan duduk dan menikmati makanan di malam itu. Orang-orang yang hilir mudik kesana kemari menikmati suasana pasar malam, mereka saling bercengkrama satu sama lain dan di iringi oleh sesekali tawa senang dari pengunjung.
Di ujung deretan stan terdapat satu panggung kecil yang terbuat dari kayu dengan penerangan obor di kedua sisinya di atasnya terdapat satu panggung kecil yang tertutup oleh kain berwarna hitam dan batang pisang di atasnya, dan di belakangnya terdapat dalang yang sedang melakukan pagelaran wayang golek dan diiringi oleh gamelan khas Sunda.
“Daging bakar, daging bakar...”
“Buah, buah buah...”
“Yang haus yang haus yang haus...”
Suara-suara dari penjual stan saling bersahutan di malam itu, aku tidak berpikir aneh sama sekali meskipun waktu menunjukkan jam 02:00 pagi. Karena di kampung ku apabila ada hajatan yang menggelar wayang golek biasanya itu akan berlangsung hingga dini hari sekitar jam 05:00 pagi.
Aku perlahan mulai terhanyut dalam kemeriahan pada malam itu, aku mulai sadar tubuhku mulai terasa lapar karena melihat masakan yang dijual oleh stan-stan makanan sungguh menggugah selera. Kucoba mampir ke tukang sate untuk membeli beberapa porsi dari salah satu penjual di stan yang berjejer dekat panggung untuk sekedar mengganjal perutku yang mulai lapar.
“Bu, satenya satu porsi ya,” kataku kepada penjual stan sate.
Aku Pun duduk di meja kecil sembari menunggu sate yang sedang dibakar oleh penjual di stan, waktu itu aku seakan lupa dengan tujuan awalku untuk kembali ke warung, aku seperti terhipnotis untuk menikmati malam dan menonton pertunjukan wayang golek di panggung.
Sungguh apa yang kulihat ini adalah hal yang jarang aku temukan di kota besar dan hanya bisa kunikmati lagi sepulangnya aku kuliah dari Bandung, karena jarang aku menghadiri pasar malam dengan pertunjukan wayang di Bandung. Paling kalaupun ada itu hanya pertunjukan wayang di gedung dan menurutku feelnya kurang terasa seperti saat ini.
Perlahan-lahan pandanganku tertuju kepada pertunjukan wayang golek, wayang yang sedang menari di atas panggung yang digerakkan oleh dalang di belakangnya. Diiringi dengan gamelan yang senantiasa menyelaraskan gerakan tarian wayang yang ada di atasnya, di iringi suara sindennya yang sungguh merdu suaranya terdengar hingga ke seluruh pasar.
Jadi teringat masa lalu, masa di mana aku dan teman-temanku semasa sekolah sengaja begadang untuk menonton wayang apabila ada hajatan atau nikahan di kampungku atau di kampung sebelah.
Kita sengaja membawa perlengkapan tidur dan membawa bekal dari rumah masing-masing karena pertunjukan wayang biasanya sampe dini hari. Sehingga aku pun hafal beberapa tokoh wayang golek dari mulai keluarga Semar, Pandawa Lima, Kurawa, Hanoman dan tokoh lainya sampai ketika ada suatu adegan yang sedang ditunjukkan di panggung aku sering menebak-nebak cerita apa yang akan dalang bawakan.
Kulihat di panggung sesosok wayang yang rupanya seperti buta berdiri dengan tegap menari diiringi dengan suara gamelan dan lagu sinden. Sosoknya yang tegap dan tarianya yang gagah dia menari di atas panggung.
“Sepertinya saya hafal dengan cerita ini,” pikirku.
Suara gamelan dan sinden selesai mengiringi tarian dari sesosok wayang itu, dan tibalah sang dalang mengubah suaranya menjadi sosok yang ada di dalam wayang tersebut.
“Aing batara kala (saya batara kala),” ucap dalang dengan lantang
Tangan wayang tersebut bergerak dan menepuk dada nya dengan gagahnya.
“Mana jelema anu edek di dahar ku aing (mana manusia yang akan saya makan),”
Wayang itu memperkenalkan diri sebagai batara kala, dan di dalam ceritanya berniat untuk memakan manusia.
Aku sedikit kaget dengan apa yang diucapkan wayang tersebut. Karena batara kala jarang sekali muncul dalam cerita wayang. Hanya di cerita-cerita tertentu saja wayang itu muncul. Dan biasanya ketika ada pertunjukan wayang tidak ada batara kala yang muncul, hanya wayang-wayang seperti cepot, dawala, gareng, semar yang mencoba menghibur penonton.
Ada satu cerita yang di dalamnya ada batara kala, dan aku tidak yakin bahwa yang kulihat ini adalah cerita yang sedang aku pikirkan, karena cerita yang aku ingat itu adalah cerita khusus untuk ritual tertentu. Dan ketika ada pertunjukan wayang untuk di pasar malam seperti ini tidak pernah ada cerita yang menghadirkan batara kala sebagai pemainnya.
Aku kembali melihat pertunjukan wayang itu, namun lama-kelamaan aku semakin yakin bahwa yang aku pikirkan dengan pertunjukan di depanku ini ceritanya persis sama.
“Bentar, bentar, kalau gak salah ingat ini kan cerita murwakala yang suka ada di acara ruwatan.”
Aku sontak berdiri melihat sekeliling pasar malam itu karena aku ingat ada satu pertunjukan wayang yang berbeda dari pertunjukan wayang kebanyakan kita lihat di pertunjukan wayang.
Pertunjukan wayang ini terkenal mistis karena apabila menonton pertunjukan wayang ini, wajib hukum nya untuk menontonnya sampai selesai, karena kalau tidak biasanya ketika pulang akan terjadi sesuatu yang diluar nalar, dan itu dinamakan acara ruwatan.
Berbeda dengan pertunjungan biasa, Pertunjukan wayang di acara ruwatan biasanya ditunjukan sebagai sarana pemenuhan syarat untuk suatu ritual. Bahkan dalangnya pun tidak bisa sembarangan. Salah satu syaratnya harus menonton pertunjukannya hingga selesai. Karena konon ketika pertunjukan wayang itu lewat jam 12 malam.
Maka para makhluk-makhluk akan bermunculan dan masuk ke dalam wayang itu sehingga suara wayang yang sedang ada di panggung adalah suara asli dari para makhluk-makhluk yang datang.
Banyak sekali cerita dari orang-orang yang memaksakan untuk pulang di tengah acara ruwatan, biasanya mereka diikuti oleh sesosok makhluk yang mengerikan yang menakut-nakuti sepanjang jalan, bahkan yang lebih seram nya lagi orang tersebut akan diculik oleh buta.
Aku kembali teringat tulisan yang diberikan Ibu sore hari dan juga ucapan Indah sewaktu pamit tadi mungkin apa yang mereka berdua pesankan adalah apa yang terjadi sekarang.
Di malam-malam tertentu akan ada suara yang ramai dan lampu yang terang seperti pasar dari arah kebun seberang jalan abaikan saja.
Dan aku malah menikmati suasana yang ada di pasar ini sehingga lupa tujuanku untuk kembali ke warung. Aku berdiri dari kursi tempatku menunggu makanan dan aku kembali ke stan untuk mengatakan bahwa aku membatalkan pesananku karena aku harus segera kembali ke warung.
Aku melihat pemilik stan makanan itu tiba-tiba menatapku dengan tajam, dia seperti marah ketika aku membatalkan pesanan satenya, kulihat matanya tiba-tiba berubah menjadi merah dengan urat-urat yang muncul dari kulitnya. Aku yakin dia bukan marah akibat aku membatalkan makanan yang sudah dipesan, tapi ada hal yang lain yang membuatnya marah.
“Kenapa di batalkan?, sudah tahu ya kalau kita semua bukan manusia!!”
Hiiiiii hiiii hiiii......
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang melengking dari stan tersebut, kulihat penjaga stan yang awalnya manusia perlahan kulitnya memudar. Kulitnya perlahan mengelupas menyisakan tubuh dengan daging tanpa kulit, rambutnya yang tadinya hitam berubah jadi putih, wajahnya muncul beberapa kerutan, benjolan bernanah dan mata yang menatapku berubah jadi merah.
Para pengunjung yang ada pun perlahan-lahan berubah dengan sendirinya mereka berubah menjadi bentuk yang menyeramkan, dengan gigi taring yang keluar dan rambut yang memanjang, badannya bongkok dengan kulit yang terkelupas menjadi warna hijau.
Hahaha... Hahahaha...
Terdengar beberapa tawa seperti sedang menertawakanku pada malam itu, tawa seperti mengejekku dan mencoba mempermainkanku. Tiba-tiba suara gamelan kembali terdengar, kali ini Sinden menyanyikan lagu yang nampak tidak asing. Lagu yang dipercaya oleh masyarakat sunda adalah lagu yang dipakai untuk memanggil makhluk halus.
Bambung hideung
Bara-bara teuing diri
Leuheung bari dianggo ka suka galih
Situ pinuh balong jero
Mungkin bagi masyarakat jawa ada lagu lingsir wengi untuk memanggil makhluk halus. Sedangkan di masyarakat sunda, ada juga lagu yang menurut beberapa kepercayaan lagu ini dipakai untuk memanggil makhluk halus. Lagu itu namanya Bambung Hideung dan sekarang lagu tersebut dinyanyikan oleh sinden yang berada di atas panggung.
Suasana jadi berubah total. Awalnya hingar bingar yang terjadi pada malam itu berubah menjadi menyeramkan. Auranya tiba-tiba mencekam para pengunjung dan pemilik stan berubah menjadi sangat menakutkan.
Suara tawa mereka yang menyeramkan dan wujud mereka berubah jadi menambah kengerian. Lalu makanan yang dipajang di depan stan yang awalnya terasa enak berubah menjadi menjijikan, buah-buah yang dijual berubah jadi buah-buahan yang busuk.
Aku panik, bulu kuduk pun berdiri, keringat dingin bercucuran dari badanku, tubuhku merinding aku ingin berlari tapi seakan badan ini tidak bisa bergerak aku seperti terbujur kaku di dalam kondisi ini.
Di depanku pemilik stan menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil tersenyum dengan rambut yang putih yang menutupi sebagian wajahnya dan badan yang tidak tertutup oleh kulit hanya daging dan urat nadi di sekujur tubuh membuatku terasa ngeri dan jijik melihatnya.
“Mau kemana? Bukanya tadi pesen makanan, hihihihihi,” dia tertawa sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.
Perlahan aku pun bisa menggerakkan kakiku, aku pun berbalik meninggalkan stan tersebut berharap aku bisa berlari dan keluar dari pasar malam itu, tapi aku seolah-olah seperti sengaja dibuat untuk tidak bisa keluar dari pasar malam.
Aku terus berlari dengan kondisi panik di pasar malam yang kini dipenuhi makhluk-makhluk yang menyeramkan. Mereka menengok ke arahku sembari tertawa menyeramkan seperti mengejek bahwa aku tidak akan bisa keluar dari pasar malam ini.
Tiba tiba ketika aku berlari tubuhku tiba-tiba ditarik ke salah satu stan makanan yang ada di sana, dan anehnya tubuhku menembus stan tersebut sehingga aku terjatuh di tanah.
Aku sontak kaget karena sesuatu yang menarikku begitu cepat aku dengan cepat berdiri dan melihat siapa yang menarikku keluar dari pasar malam tersebut, dan ketika aku melihat sosok yang menarik itu ternyata.
“Indah?”
“Ujang tidak kenapa-kenapa kan?” tanya Indah. “Hmmm, iya, Ndah tidak kenapa-kenapa kok,” jawabku. Aku berbalik melihat ke pasar malam tadi, tiba-tiba yang kulihat malah pemandangan yang berbeda. Yang di hadapanku ini hanyalah sebuah lahan kosong yang membentang luas disertai pohon-pohon besar di kedua sisinya, tidak ada tanda-tanda bahwa tempat tersebut adalah pasar malam yang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Hanya lahan kosong dengan ilalang yang dikelilingi pohon besar. “Bukanya tadi di sini ada pasar malam Indah?” tanyaku kepada Indah. “Itu memang pasar malam jang, tapi bukan pasar malam untuk manusia.”
Kondisi warung tampak tidak karuan, seluruh dagangan di atas etalase yang awalnya tertata rapi terlihat berantakan. Semua jajanan telah hilang dan berhamburan hingga keluar warung, seperti ada sesuatu yang datang dan memakan makanan yang ada di warung hingga dibawa keluar. Tetapi ada hal aneh, di lantai banyak berserakan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Uang tersebut berserakan di sekitaran warung. Aku mengambil salah satu uang yang tercecer di lantai tersebut. “Apa ada perampok yang mencoba mencuri warung?” pikirku. Aku pun berlari ke dalam warung dan mengecek rak uang, aku membuka perlahan rak tersebut untuk melihat dalamnya. Karena ditakutkan bahwa uang yang berserakan adalah uang yang ada di dalam ra
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Tiba-tiba terdengar suara wanita itu memesan kopi kepadaku. “Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Wanita itu mengulang ucapannya kepadaku, tapi ketika wanita itu berbicara tiba-tiba badanku merinding. Seakan-akan ada aura mistis yang menakutkan terpancar dari wanita itu. Wanita duduk dan menghadap ke arah jalan sehingga aku hanya melihat punggung nya dengan rambut panjang yang hampir menyentuh lantai. Dengan baju putih yang lusuh dan rambut panjang yang kusut terlihat beberapa daun kering yang menempel di rambutnya semakin membuatku semakin yakin bahwa wanita itu bukan manusia. Wanita itu duduk terdiam tanpa sesekali menggerakan tanganya, s
"Jang, Jang bangun bangun bangun,” Ibuku mencoba membangunkanku. Aku yang pingsan di lantai pada waktu itu perlahan bangun, aku membuka mata secara perlahan dan aku melihat Ibuku yang sedang berusaha membangunkanku dengan wajah yang nampak panik. Aku perlahan-lahan bangun dan duduk di lantai, akupun melihat gelas kopi yang pecah di sisiku dan air kopi yang telah mengering menyisakan bubuk kopi yang berserakan di lantai tercampur dengan pecahan-pecahan gelas. “Ujang tidak apa-apa kan,” kata Ibuku. “Ibu tau akhirnya akan jadi seperti ini, makanya kemarin Ibu tidak yakin kalau Ujang ingin jaga warung di malam hari,” kata Ibuku s
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu sosok laki-laki tua berjubah putih yang duduk sambil memandang pemandangan di bawahnya. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali sepasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapapun yang menginjakan kaki di sana. Tapi yang dilakukan oleh kakek-kakek itu hanya terdiam duduk menyandarkan tubuhnya ke
Aku terbangun dari mimpiku siang itu, dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku dan belakang kepala yang panas seperti seseorang yang baru sembuh dari kesurupan. Kulihat mencoba duduk dan bersandar di dinding kamar, memikirkan arti dari mimpi itu. Semuanya terlihat sangat nyata seperti memutar waktu kembali ke masa lalu, masa di mana kampung ini masih hutan belantara. Aku kembali melihat sekeliling kamar yang tampak kosong pada siang itu, hanya angin berhembus dari jendela kamar menggerakan tirai jendela merah tua yang sudah lama dipasang. Aku lalu berdiri menuju ruang tengah mencoba mencari tahu sosok yang ada di mimpi itu dengan mencarinya di arsip-arsip keluargaku yang disimpan oleh almarhum Bapak di lemari kamarnya. Ketika aku keluar ternyata Ibuku sudah menungguku, dia duduk terdiam seperti menungguku bangun. Di sampingnya ada tas carrier yang sepe
Aki Karma sosok yang dituakan di Kampung Sepuh saat ini, dia adalah sosok yang sering diminta untuk menjadi penasehat apabila ada musyawarah di kampung. Selain itu Aki Karma adalah teman dekat Bapak. Sepeninggal Bapak, Aki Karma sering membantu Ibu apabila Ibu kehabisan stok dagangan. Dengan menyewakan satu-satunya kendaraan pick up miliknya dan berangkat ke kota untuk membeli barang dagangan untuk stock di warung. Aki Karma sebenarnya bukan penduduk asli Kampung Sepuh, dia adalah penduduk asli salah satu kampung di utara kota Bandung. dan ketika dia memutuskan untuk tinggal di Kampung Sepuh satu-satunya teman Aki Karma pada waktu itu adalah Bapak. Karena Bapak yang dulu membantunya dan akhirnya Aki Karma pun seperti mempunyai hutang budi kepada Bapak. Aki Karma dulunya adalah pemimpin salah satu kelompok pa
Rombongan itu berjalan dengan barang bawaan yang banyak, salah satunya adalah domba hidup. Beberapa ayam cemani berwarna hitam, serta tak lupa satu set lengkap perlengkapan wayang karena sebagai persyaratan ritual. Mereka berjalan diterangi senter sebagai penerangan perjalanan mereka. Mereka berjalan beriringan dengan posisi Aki Karma di depan dan anggota grupnya di belakangnya, Aki Karma sudah diberitahu oleh sahabatnya itu untuk rute dan jarak yang ditempuh dari kampung menuju tempat pelaksanaan ritual di atas gunung. Tak lupa sahabatnya juga memberi tahu mantra-mantra khusus untuk memanggil para makhluk gunung dan melakukan perjanjian dengan nya. Hingga akhirnya mereka sampai di ujung jalan kampung, disana terlihat dua pohon beringin rindang di kiri kanan jalan dan jalan setapak kecil di tengahnya. Pohon beringin itu menjulang tinggi di kiri dan kanan jala