Kondisi warung tampak tidak karuan, seluruh dagangan di atas etalase yang awalnya tertata rapi terlihat berantakan. Semua jajanan telah hilang dan berhamburan hingga keluar warung, seperti ada sesuatu yang datang dan memakan makanan yang ada di warung hingga dibawa keluar.
Tetapi ada hal aneh, di lantai banyak berserakan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Uang tersebut berserakan di sekitaran warung.
Aku mengambil salah satu uang yang tercecer di lantai tersebut.
“Apa ada perampok yang mencoba mencuri warung?” pikirku.
Aku pun berlari ke dalam warung dan mengecek rak uang, aku membuka perlahan rak tersebut untuk melihat dalamnya. Karena ditakutkan bahwa uang yang berserakan adalah uang yang ada di dalam rak. Dan ketika aku buka laci uang di rak, terlihat uang yang ada di dalam rak masih utuh bahkan terlihat belum tersentuh sama sekali.
“Ini jadi uang siapa?”
Semakin malam warung yang ku jaga ini semakin aneh dan bertambah aneh dari mulai kemunculan makhluk genderuwo, aku tersesat dan terjebak di pasar malam, hingga melihat keadaan warung yang kacau yang disertai uang yang berserakan di lantai.
Aku mencoba membereskan kembali semua kekacauan yang ada di warung. Uang yang tercecer aku kumpulkan kembali dan menyimpanya dengan amplop, karena takut ada yang datang dan membawa uang tersebut, karena itu bukan uang yang ada di warung.
Aku mengambil barang-barang yang berserakan di lantai, mengembalikanya barang-barang dagangan itu ke tempat semula. Nampaknya yang membuat warung berantakan kali ini hanya mengambil jajanan anak-anak, karena seperti rokok atau kebutuhan mandi bahkan rak uang di dalam warung tidak tersentuh sekalipun.
Aku mengambil sapu yang disimpan di pojokan warung, mencoba membersihkan sisa sisa bekas makanan yang tercecer di sekitar warung, membawa dus-dus kosong yang ada di lantai dan membuangnya ke tempat sampah.
Aku duduk di kursi depan warung setelah membersihkan dagangan yang tercecer di lantai dan membuang dus-dus kosong yang isinya habis dimakan, tak sengaja aku melihat bungkus-bungkus makanan anak-anak yang sudah dibuang berserakan di jalan sepertinya mereka datang ke warung membawa makanan, memakanya dan membuang bungkusnya sepanjang jalan.
Karena kulihat bungkus kosong itu mengarah ke jalan kecil di pinggir warung. Jalan setapak menuju sawah di belakang perkampungan.
Awalnya aku akan ingin menyusuri jalan setapak untuk mengetahui siapa yang membuat warung berantakan. Tapi aku mengurungkan niat karena aku tahu apabila aku meninggalkan warung lagi, aku takut ada hal yang aneh akan terjadi lagi sehingga aku lebih baik menunggu hingga dini hari dan mencari tahu ketika pagi datang.
Aku pun kembali ke dalam warung dan duduk di sana. Melihat ke arah luar warung yang kembali hening seperti tidak terjadi apa-apa. Badanku menyender ke arah tembok karena rasa kantuk mulai menyerang.
Mata ini sepertinya sudah lelah dengan keadaan pada malam itu, tubuhku juga sudah mulai merasa kecapean dan aku pun berpikir mungkin sedikit memejamkan mata menjadi obat atas rasa kantuk ini.
“Hahahahahaha, ahahahahaha!!!!”
Trak, trak ,trak
“Hayu kadieu hayu kadieu (yu kesini yu kesini),”
“Hayu urang neangan duit deui (ayo kita cari uang lagi),”
Aku yang terlelap tidur di warung kembali terbangun, mendengar suara gaduh dari luar warung. Seperti suara anak-anak yang sedang berlarian kesana kemari dan bermain dengan teman sebayanya. Mereka berlari sambil tertawa riang dan sesekali mengobrol dengan bahasa sunda.
Suaranya sangat berisik itu sangat menggangguku. Mereka berlarian kesana kemari dengan tertawa riangnya. Aku mencoba menghiraukanya karena rasa kantuk yang begitu kuat, akhirnya mencoba tidur kembali. Tapi itu tidak berhasil, karena suara anak-anak itu sangat berisik membuatku tidak bisa tidur.
Salah satu dari mereka mencoba mendekati warung melihat lihat dari jalan ke arah warung.
“Ah geus euweuh jajanan na (ah sudah tidak ada jajanan nya),”
“Aya dijero, hayu geura (ada di dalam, yuk ikutin cepet),”
Aku mendengar mereka berbicara tentang warung. Seketika aku berpikir, mungkin anak-anak ini yang menyebabkan warungku berantakan. Aku yang masih ngantuk waktu itu mencoba berdiri dan melihat ke arah luar warung.
Dengan tubuhku yang masih lemas karena dibangukan secara mendadak, aku mencoba membuka mataku dan melihat ke arah luar warung. Tapi aku seakan tidak percaya apa yang kulihat ini.
"Astaga..." aku seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
Kulihat ternyata yang membuat warung berantakan adalah sosok makhluk kecil berjumlah lima makhluk yang berlarian di sekitar warung, dengan tubuh setengah dari tubuh bagian atas seperti orang dewasa berwarna putih, botak dan bertaring, serta memakai sempak warna putih yang sudah kotor dan bagian bawah seperti anak-anak pada umum nya dengan tinggi yang menyerupai anak-anak pula.
Mereka berlari-lari riang seperti sedang bermain dan dua diantaranya menuju ke arah warung, kulihat mereka tertawa-tertawa di ikuti oleh teman-temannya.
“Ahahahahahahaaha.”
“Tuh tinggali warungna aya anu ngajagaan ayeuna mah (tuh lihat warungnya ada yang jaga sekarang),” ujar salah satu dari mereka menunjuk tepat ke arahku yang sedang berdiri melihat mereka dari dalam warung.
Dengan muka yang buruk rupa mereka menunjuk tepat ke arahku, aku pun sontak kaget dan reflek untuk jongkok di bawah etalase. Aku langsung duduk dan berdiam di sudut etalase dekat rak uang mencoba menyembunyikan diri berharap mereka tidak mendekat dan melihatku.
“Itu tuyul kan, beneran itu tuyul kan?” pikiranku langsung membayangkan sosok makhluk yang diceritakan Ibu, tentang makhluk kecil yang suka mencuri uang yang deskripsinya cocok dengan apa yang Ibu ceritakan ketika aku kecil.
Badanku kembali merinding, ketakutanku kembali muncul. Aku duduk di sudut etalase berharap makhluk itu tidak menemukan ku yang sedang bersembunyi ini.
Sudah cukup aku melewati malam yang tidak aku perkirakan sebelumnya dengan kejadian menyeramkan sepanjang malam, sekarang di depan warung muncul sosok tuyul pula, sungguh malam ini terasa berat sekali rasanya ingin sekali segera dini hari.
Dua dari mereka mulai mendekati warung dengan tawa riang.
“Ahahahahaha, ahahahaha!!!”
“Jajan... Jajan.”
Rasa takutku semakin besar ketika mereka mendekat, keberanian ku sepertinya habis setelah bertemu banyak makhluk di malam ini. Tidak ada keberanian yang tersisa seperti kejadian yang sebelumnya.
Aku hanya bisa diam. Berharap mereka tidak menemukanku.
krotak, krotak
Makhluk itu sudah di depan etalase mencoba mengambil barang di atas etalase, kulihat dari sela-sela barang yang ditumpuk di dalam etalase mereka berusaha meraih barang dengan tubuh kecilnya, kulihat tubuhnya yang putih kusam dengan pusar yang menonjol dan wajah yang buruk rupa serta taring di mulutnya.
Membuatku tambah ketakutan, aku pun berpaling dan tidak ingin melihat mereka, aku hanya duduk diam di pojokan etalase berharap mereka tidak menemukanku.
Lalu tiba-tiba
Suara itu mendadak hilang, Hening seperti sebelumnya. Suara yang ketawa itu mendadak hilang. Aku mencoba melihat lagi dari dalam etalase dan mereka semua mendadak menghilang.
Aku menarik nafas panjang dan bersyukur mereka sudah hilang. Aku duduk dipojok dengan rasa kantuk yang menyerang tapi tubuhku ini menolak untuk tidur karena terganggu suara seram oleh tuyul tadi.
"Sepertinya sudah tidak ada," pikirku
Aku pada saat itu hanya ingin tidur dan berharap bangun pada dini hari karena sudah cukup malam ini banyak kejadian aneh yang menimpa diriku.
Tubuhku yang sedang duduk pun ku coba angkat tuk berdiri. Dan ketika ku berdiri dari kursi di depan warung kulihat ada sesosok wanita yang berbaju putih sedang duduk di sana.
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Tiba-tiba terdengar suara wanita itu memesan kopi kepadaku. “Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Wanita itu mengulang ucapannya kepadaku, tapi ketika wanita itu berbicara tiba-tiba badanku merinding. Seakan-akan ada aura mistis yang menakutkan terpancar dari wanita itu. Wanita duduk dan menghadap ke arah jalan sehingga aku hanya melihat punggung nya dengan rambut panjang yang hampir menyentuh lantai. Dengan baju putih yang lusuh dan rambut panjang yang kusut terlihat beberapa daun kering yang menempel di rambutnya semakin membuatku semakin yakin bahwa wanita itu bukan manusia. Wanita itu duduk terdiam tanpa sesekali menggerakan tanganya, s
"Jang, Jang bangun bangun bangun,” Ibuku mencoba membangunkanku. Aku yang pingsan di lantai pada waktu itu perlahan bangun, aku membuka mata secara perlahan dan aku melihat Ibuku yang sedang berusaha membangunkanku dengan wajah yang nampak panik. Aku perlahan-lahan bangun dan duduk di lantai, akupun melihat gelas kopi yang pecah di sisiku dan air kopi yang telah mengering menyisakan bubuk kopi yang berserakan di lantai tercampur dengan pecahan-pecahan gelas. “Ujang tidak apa-apa kan,” kata Ibuku. “Ibu tau akhirnya akan jadi seperti ini, makanya kemarin Ibu tidak yakin kalau Ujang ingin jaga warung di malam hari,” kata Ibuku s
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu sosok laki-laki tua berjubah putih yang duduk sambil memandang pemandangan di bawahnya. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali sepasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapapun yang menginjakan kaki di sana. Tapi yang dilakukan oleh kakek-kakek itu hanya terdiam duduk menyandarkan tubuhnya ke
Aku terbangun dari mimpiku siang itu, dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku dan belakang kepala yang panas seperti seseorang yang baru sembuh dari kesurupan. Kulihat mencoba duduk dan bersandar di dinding kamar, memikirkan arti dari mimpi itu. Semuanya terlihat sangat nyata seperti memutar waktu kembali ke masa lalu, masa di mana kampung ini masih hutan belantara. Aku kembali melihat sekeliling kamar yang tampak kosong pada siang itu, hanya angin berhembus dari jendela kamar menggerakan tirai jendela merah tua yang sudah lama dipasang. Aku lalu berdiri menuju ruang tengah mencoba mencari tahu sosok yang ada di mimpi itu dengan mencarinya di arsip-arsip keluargaku yang disimpan oleh almarhum Bapak di lemari kamarnya. Ketika aku keluar ternyata Ibuku sudah menungguku, dia duduk terdiam seperti menungguku bangun. Di sampingnya ada tas carrier yang sepe
Aki Karma sosok yang dituakan di Kampung Sepuh saat ini, dia adalah sosok yang sering diminta untuk menjadi penasehat apabila ada musyawarah di kampung. Selain itu Aki Karma adalah teman dekat Bapak. Sepeninggal Bapak, Aki Karma sering membantu Ibu apabila Ibu kehabisan stok dagangan. Dengan menyewakan satu-satunya kendaraan pick up miliknya dan berangkat ke kota untuk membeli barang dagangan untuk stock di warung. Aki Karma sebenarnya bukan penduduk asli Kampung Sepuh, dia adalah penduduk asli salah satu kampung di utara kota Bandung. dan ketika dia memutuskan untuk tinggal di Kampung Sepuh satu-satunya teman Aki Karma pada waktu itu adalah Bapak. Karena Bapak yang dulu membantunya dan akhirnya Aki Karma pun seperti mempunyai hutang budi kepada Bapak. Aki Karma dulunya adalah pemimpin salah satu kelompok pa
Rombongan itu berjalan dengan barang bawaan yang banyak, salah satunya adalah domba hidup. Beberapa ayam cemani berwarna hitam, serta tak lupa satu set lengkap perlengkapan wayang karena sebagai persyaratan ritual. Mereka berjalan diterangi senter sebagai penerangan perjalanan mereka. Mereka berjalan beriringan dengan posisi Aki Karma di depan dan anggota grupnya di belakangnya, Aki Karma sudah diberitahu oleh sahabatnya itu untuk rute dan jarak yang ditempuh dari kampung menuju tempat pelaksanaan ritual di atas gunung. Tak lupa sahabatnya juga memberi tahu mantra-mantra khusus untuk memanggil para makhluk gunung dan melakukan perjanjian dengan nya. Hingga akhirnya mereka sampai di ujung jalan kampung, disana terlihat dua pohon beringin rindang di kiri kanan jalan dan jalan setapak kecil di tengahnya. Pohon beringin itu menjulang tinggi di kiri dan kanan jala
Sore itu nampak ramai seperti biasanya di Kampung Sepuh, nampak beberapa orang berjalan pulang dari sawah menuju rumahnya. Terlihat dari pakaianya yang kotor dengan lumpur dan beberapa dari mereka membawa bekal yang nampak kosong, sebagian lagi membawa kerbau melewati jalan menuju kandang, dengan alat untuk membajak sawah yang dia panggul di pundaknya. Warung Bapak ramai seperti biasanya, Bapak terlihat sedang menyeduh kopi untuk para petani yang pulang dari sawah, biasanya para petani beristirahat sejenak di warung, sambil mengobrol tentang keseharian mereka di sawah. Tak jarang mereka membahas hal-hal mengenai kejadian-kejadian di kampung. Terutama apabila ada kejadian diluar nalar yang terjadi di kampung atau di Gunung Sepuh, karena hal tersebut adalah hal yang biasa bagi mereka. Membicarakan tentang mahluk-mahluk tersebut bukan menjadi hal-hal yang tabu.
“Tok, tok, tok.” Dalang memukul kotak yang ada di sebelahnya sebanyak tiga kali, menandakan bahwa pertunjukan wayang akan dimulai. Tak lama para pemain gamelan memainkan musiknya, musik yang beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Terdengar juga riuh penonton yang sedang menonton pagelaran di malam itu mereka menonton pagelaran wayang itu dengan sangat antusias, karena sudah lama mereka tidak melihat pagelaran wayang. Sinden pun mulai menyanyi, menyanyi lagu-lagu sunda dengan nada tinggi. Nyanyian itu menggema ke setiap sudut, membuat para penonton terpana oleh nyanyian sinden itu. Pertunjukan wayang itu berlangsung meriah, para penonton yang hadir pun datang dari segala arah mereka sengaja datang untuk melihat pertunjukan. Sang dalang mengangkat wayang yang dia mainkan peran wayang dengan gagah