“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).”
Tiba-tiba terdengar suara wanita itu memesan kopi kepadaku.
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).”
Wanita itu mengulang ucapannya kepadaku, tapi ketika wanita itu berbicara tiba-tiba badanku merinding. Seakan-akan ada aura mistis yang menakutkan terpancar dari wanita itu.
Wanita duduk dan menghadap ke arah jalan sehingga aku hanya melihat punggung nya dengan rambut panjang yang hampir menyentuh lantai. Dengan baju putih yang lusuh dan rambut panjang yang kusut terlihat beberapa daun kering yang menempel di rambutnya semakin membuatku semakin yakin bahwa wanita itu bukan manusia.
Wanita itu duduk terdiam tanpa sesekali menggerakan tanganya, sesekali wanita itu memainkan rambutnya yang panjang dengan menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya.
Badanku merinding kembali, ketakutan yang tadi hilang kembali muncul. Tapi aku mencoba memberanikan diri kali ini untuk menjawab apa yang dipesankan oleh makhluk yang duduk di depan warung itu. Mengingat dalam pesan Ibu apabila ada sesosok wanita yang datang harus dibuatkan kopi.
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam),” wanita itu kembali berbicara kepadaku dengan nada yang menyeramkan.
“Hihihihihihi.......”
Kali ini dia mulai tertawa, tertawa yang khas yang membuat suasana semakin menakutkan.
“Muhun teh, di antos nya teh (iya teh, ditunggu ya teh),” aku menjawab dengan bahasa Sunda untuk menunggu karena akan aku buatkan pesanan wanita itu.
Badanku masih merinding ketika menjawab pesanan itu. Lalu wanita itu tiba-tiba mengangguk dan kembali tertawa.
“Hihihihihihi”
Akupun segera mengambil kopi sachet dari etalase depan dan membawanya ke belakang warung sambil berlari. Aku mengambil air dan memanaskanya di atas kompor kecil. Meskipun aku sudah memberanikan diri tapi tetap saja jantungku berdetak kencang badanku merinding dan tidak bisa menghilangkan ketakutanku saat ini.
Badanku menyender ke tembok di belakang warung, Sambil ku menunggu air mendidih. Sesekali mendengar suara ketawa wanita itu lagi, suara yang menyeramkan yang membuat aku ingin lari menjauh, tapi karena aku bertanggung jawab untuk menjaga warung ini. Aku mau tidak mau harus melayani wanita itu untuk dibuatkan kopi seperti yang dipesankan Ibuku sore hari.
“Hihihihihi”
"Hihihihihi"
"HIHIHIHIHI!!!!!!!!"
Suara tertawa itu kembali terdengar, semakin lama kudengar semakin menyeramkan. Tapi anehnya kali ini suara ketawa wanita itu sepertinya dekat sekali. Seperti beberapa langkah dari tempatku berdiri.
Aku melihat sekelilingku dan di sana hanya ada tumpukan barang-barang dagangan tidak ada tanda-tanda wanita itu. Aku takut apabila wanita itu mendekat dari depan warung ke belakang, karena menurut pesan Ibu. Aku tidak boleh melihat wajahnya, Kulihat ruangan belakang tampak tidak ada tanda-tanda makhluk itu mendekat.
Tapi mengapa suara itu malah sangat dekat terdengar, ya?
Aku pun melangkah menuju ke warung. Memastikan bahwa wanita itu masih duduk di sana. Aku berjalan dan tiba-tiba.
“Kang pesen kopi.”
Terdengar ada suara dari arah kamar mandi. Akupun reflek menengok ke arah kamar mandi, dan ternyata aku melihat sesuatu yang lebih menyeramkan dari wanita yang ada di depan.
Di kamar mandi terdapat sosok wanita yang sedang menatapku dengan senyum, wajahnya terlihat pucat, kusam, dengan mata yang melotot dan rambut panjang serta baju yang berwarna merah.
Iya. Berwarna merah bukan warna putih seperti sosok yang ada di depan warung. Dia tertawa dengan menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kulihat tangannya yang keriput dengan kuku yang panjang seperti yang siap menerkam apabila aku di dekatnya.
Wanita itu tertawa. Tertawa yang lebih jahat dan lebih menakutkan.
“Hahahahahaa, hihihihihihi....... kang pesen kopi, hihihihihi”
Aku tiba-tiba tidak bisa bergerak. Badanku seperti menolak untuk berjalan lagi, aku seperti terdiam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Wanita itu terus menerus tertawa dan menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
Aku ingat apabila yang datang adalah wanita yang berbaju merah. Aku harus bilang bahwa kopinya habis. Tapi mulutku saat ini seakan susah untuk berbicara karena sosok itu sangat dekat denganku tempatku berdiri.
“Hahahahaha.., hihihi..., hihihihihi”
Wanita itu kembali tertawa. Dan tiba-tiba wanita baju merah itu perlahan mundur ke arah tembok sambil tertawa dan kemudian menghilang.
Sesaat setelah wanita berbaju merah itu menghilang tubuhku kembali bisa di gerakan, suaraku bisa lagi berbicara. Dan ku dengar kali ini adalah suara dari air yang mendidih dari arah dapur.
Blub.blub.blub
Aku pun kembali ke dapur melanjutkan membuat kopi untuk wanita baju putih yang sedang menunggu di depan warung, seperti yang dipesankan Ibu. Ku buka sachet kopi dan ku masukan ke atas gelas lalu air yang sudah mendidih ku masukan ke gelas berisi kopi, dan aku aduk supaya air dan kopinya tercampur.
Kopi yang sudah selesai ku buat. Kubawa kembali kopi tersebut ke depan warung, dan ketika ku sampai ke warung. Yang aku lihat bukanlah sosok wanita berbaju putih yang sedang duduk di sana. Melainkan sesosok wanita yang berbaju merah.
Kepala wanita itu kemudian berbalik ke arahku, dengan wajah yang menyeramkan dia pun berkata.
“Kang pesen kopi?” dia pun kembali bertanya dengan disertai tawa yang menyeramkan
“Hihihihihihi”
Badanku kembali bergerak. Kopi yang ada di tanganku tidak bisa digerakkan. Aku hanya bisa memandang wajahnya yang menyeramkan di depan warung. Karena aku ingat pesan dari Ibu
Apabila yang memakai baju merah memesan kopi, bilang kalau kopinya habis
Aku pun mencoba menjawab meskipun dengan terbata-bata.
“Euh... euh... kopinya habis teh,” jawabku.
Tiba-tiba setelah aku berbicara seperti itu. Aura dari luar warung tiba-tiba mencekam, kali ini bahkan udara yang masuk dari luar seperti menusuk kulit. Angin mendadak bertiup kencang hingga bisa menggoyangkan beberapa barang dari etalase warung.
Wanita berbaju merah itu sepertinya menjadi marah atas jawabanku yang mengatakan kopinya habis. Dia pun berdiri dan menatap ke arahku dari kejauhan.
Kulihat rambut yang terurai ke bawah perlahan terangkat, ada aura hitam kecil di sela-sela rambutnya, matanya kian melotot ke arahku. Dan tidak ada tertawaan lagi yang muncul dari mulutnya kali ini.
“Eta kopi jang saha (itu kopi buat siapa),” wanita itu berbicara dengan nada marah sambil menunjuk kepada kopi yang dia pegang.
Dia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan urat-urat yang muncul di wajahnya. Kuku yang ada di tangannya malah semakin memanjang.
“ETA KOPI JANG SAHAAAAAAAAA??????” wanita itu berbicara lagi kali ini dia berteriak dengan tangan yang menunjuk kepadaku.
Aku hanya bisa diam tubuhku tidak bisa digerakan, kakiku terasa berat untuk berlari. Tanganku hanya bisa bergetar sambil memegang kopi. Wajahku hanya bisa menatap makhluk itu tanpa bisa memalingkan wajahku.
Wanita itu perlahan terbang ke arahku sambil menunjuk ke arah kopi yang aku buat. Angin dari luar warung semakin kencang kali ini kulihat jelas wajahnya yang benar-benar tampak marah. Dan aku hanya bisa terdiam.
Tiba-tiba wanita itu berada tepat di depan wajahku, kulihat sangat jelas wajahnya yang putih dan keriput, mata yang melototi ku dengan tatapan yang marah dan kuku yang panjang dari tanganya yang seolah-olah akan menerkamku.
Badanku tiba-tiba lemas, gelas berisi kopi yang kupegang pun jatuh. Aku pun tersungkur di lantai karena tidak kuat menahan aura yang dikeluarkan oleh wanita itu. Sehingga aku pun pingsan di dalam warung di malam itu.
"Jang, Jang bangun bangun bangun,” Ibuku mencoba membangunkanku. Aku yang pingsan di lantai pada waktu itu perlahan bangun, aku membuka mata secara perlahan dan aku melihat Ibuku yang sedang berusaha membangunkanku dengan wajah yang nampak panik. Aku perlahan-lahan bangun dan duduk di lantai, akupun melihat gelas kopi yang pecah di sisiku dan air kopi yang telah mengering menyisakan bubuk kopi yang berserakan di lantai tercampur dengan pecahan-pecahan gelas. “Ujang tidak apa-apa kan,” kata Ibuku. “Ibu tau akhirnya akan jadi seperti ini, makanya kemarin Ibu tidak yakin kalau Ujang ingin jaga warung di malam hari,” kata Ibuku s
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu sosok laki-laki tua berjubah putih yang duduk sambil memandang pemandangan di bawahnya. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali sepasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapapun yang menginjakan kaki di sana. Tapi yang dilakukan oleh kakek-kakek itu hanya terdiam duduk menyandarkan tubuhnya ke
Aku terbangun dari mimpiku siang itu, dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku dan belakang kepala yang panas seperti seseorang yang baru sembuh dari kesurupan. Kulihat mencoba duduk dan bersandar di dinding kamar, memikirkan arti dari mimpi itu. Semuanya terlihat sangat nyata seperti memutar waktu kembali ke masa lalu, masa di mana kampung ini masih hutan belantara. Aku kembali melihat sekeliling kamar yang tampak kosong pada siang itu, hanya angin berhembus dari jendela kamar menggerakan tirai jendela merah tua yang sudah lama dipasang. Aku lalu berdiri menuju ruang tengah mencoba mencari tahu sosok yang ada di mimpi itu dengan mencarinya di arsip-arsip keluargaku yang disimpan oleh almarhum Bapak di lemari kamarnya. Ketika aku keluar ternyata Ibuku sudah menungguku, dia duduk terdiam seperti menungguku bangun. Di sampingnya ada tas carrier yang sepe
Aki Karma sosok yang dituakan di Kampung Sepuh saat ini, dia adalah sosok yang sering diminta untuk menjadi penasehat apabila ada musyawarah di kampung. Selain itu Aki Karma adalah teman dekat Bapak. Sepeninggal Bapak, Aki Karma sering membantu Ibu apabila Ibu kehabisan stok dagangan. Dengan menyewakan satu-satunya kendaraan pick up miliknya dan berangkat ke kota untuk membeli barang dagangan untuk stock di warung. Aki Karma sebenarnya bukan penduduk asli Kampung Sepuh, dia adalah penduduk asli salah satu kampung di utara kota Bandung. dan ketika dia memutuskan untuk tinggal di Kampung Sepuh satu-satunya teman Aki Karma pada waktu itu adalah Bapak. Karena Bapak yang dulu membantunya dan akhirnya Aki Karma pun seperti mempunyai hutang budi kepada Bapak. Aki Karma dulunya adalah pemimpin salah satu kelompok pa
Rombongan itu berjalan dengan barang bawaan yang banyak, salah satunya adalah domba hidup. Beberapa ayam cemani berwarna hitam, serta tak lupa satu set lengkap perlengkapan wayang karena sebagai persyaratan ritual. Mereka berjalan diterangi senter sebagai penerangan perjalanan mereka. Mereka berjalan beriringan dengan posisi Aki Karma di depan dan anggota grupnya di belakangnya, Aki Karma sudah diberitahu oleh sahabatnya itu untuk rute dan jarak yang ditempuh dari kampung menuju tempat pelaksanaan ritual di atas gunung. Tak lupa sahabatnya juga memberi tahu mantra-mantra khusus untuk memanggil para makhluk gunung dan melakukan perjanjian dengan nya. Hingga akhirnya mereka sampai di ujung jalan kampung, disana terlihat dua pohon beringin rindang di kiri kanan jalan dan jalan setapak kecil di tengahnya. Pohon beringin itu menjulang tinggi di kiri dan kanan jala
Sore itu nampak ramai seperti biasanya di Kampung Sepuh, nampak beberapa orang berjalan pulang dari sawah menuju rumahnya. Terlihat dari pakaianya yang kotor dengan lumpur dan beberapa dari mereka membawa bekal yang nampak kosong, sebagian lagi membawa kerbau melewati jalan menuju kandang, dengan alat untuk membajak sawah yang dia panggul di pundaknya. Warung Bapak ramai seperti biasanya, Bapak terlihat sedang menyeduh kopi untuk para petani yang pulang dari sawah, biasanya para petani beristirahat sejenak di warung, sambil mengobrol tentang keseharian mereka di sawah. Tak jarang mereka membahas hal-hal mengenai kejadian-kejadian di kampung. Terutama apabila ada kejadian diluar nalar yang terjadi di kampung atau di Gunung Sepuh, karena hal tersebut adalah hal yang biasa bagi mereka. Membicarakan tentang mahluk-mahluk tersebut bukan menjadi hal-hal yang tabu.
“Tok, tok, tok.” Dalang memukul kotak yang ada di sebelahnya sebanyak tiga kali, menandakan bahwa pertunjukan wayang akan dimulai. Tak lama para pemain gamelan memainkan musiknya, musik yang beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Terdengar juga riuh penonton yang sedang menonton pagelaran di malam itu mereka menonton pagelaran wayang itu dengan sangat antusias, karena sudah lama mereka tidak melihat pagelaran wayang. Sinden pun mulai menyanyi, menyanyi lagu-lagu sunda dengan nada tinggi. Nyanyian itu menggema ke setiap sudut, membuat para penonton terpana oleh nyanyian sinden itu. Pertunjukan wayang itu berlangsung meriah, para penonton yang hadir pun datang dari segala arah mereka sengaja datang untuk melihat pertunjukan. Sang dalang mengangkat wayang yang dia mainkan peran wayang dengan gagah
Hamparan lapangan yang diisi oleh makam-makam yang berjajar rapi dengan pohon beringin di tengahnya membuat suasana tenang untuk para manusia yang berbaring untuk beristirahat selamanya disana. Angin yang berhembus di sekitar pepohonan makam membuat suasana semakin sejuk, terlihat daun-daun yang berguguran diterpa angin, dan daun itu turun ke atas makam-makam yang terlihat usang maupun makam yang masih baru. Terlihat disana dua orang yang sedang bercengkrama satu sama lain di sebuah makam, sesosok paruh baya dan seorang pemuda. Sesosok paruh baya itu Aki Karma dan sesosok pemuda itu adalah Ujang. Di depan makam Bapak Aki Karma bercerita tentang dirinya dan Bapak ketika hidup, dia juga menceritakan awal mula dia bertemu dengan Bapak hingga akhirnya Aki Karma menetap di Kampung Sepuh. Aki Karma mengambil dompet di saku belakang nya, dompet yang terlihat lusuh.