Share

01 - Perempuan Ekstra Besar

SUAMI WARISAN

01 – PEREMPUAN EKSTRA-BESAR

Jadi gendut itu sulit.

Rengganis tau dengan pasti kalau kemeja yang ada di gantungan itu tidak akan muat padanya, tapi ia kadung jatuh cinta dengan kemeja itu.

Maka, dengan tekad sekuat baja, Rengganis nekat mencoba kemeja yang sudah ia impi-impikan itu.

“Mbak, ukuran yang Mbak mau enggak ada. Ini ukuran yang paling besar.”

Sudah kuduga, gumam Rengganis dalam hati.

Pramuniaga yang bermake-up menor itu berusaha menampilkan senyum profesionalnya. Di tangannya tersampir sehelai kemeja dengan ukuran paling besar yang bisa ia temukan dalam tumpukan stok barang.

Mata Rengganis melirik label ukuran yang berada di balik kerah kemeja, XL. Dia berusaha tetap tenang, walau rasanya ingin menjerit keras-keras.

Kenapa sih, enggak bikin ukuran EXTRA LARGE?!

Rengganis mengulurkan tangannya menyentuh bahan halus dari kemeja itu. Dia mendesah saat kain itu bersentuhan dengan kulitnya.

“Maaf, Mbak…” Pramuniaga itu jadi tidak tega melihat keputus-asaan dalam mata Rengganis. Dia jadi iba karena sepertinya calon pembelinya ini sangat menginginkan kemeja itu, “tapi coba Mbak cek di toko sebelah, pasti di sana ada ukuran yang cocok dengan Mbak.”

Rengganis menoleh pada toko yang dimaksud si pramuniaga, toko pakaian khusus bagi perempuan yang mempunyai ukuran ekstra sepertinya. Dengan cepat, Rengganis mengembalikan kemeja yang ia inginkan itu dan bergumam, “Makasih, Mbak.”

Senyum ramah pramuniaga itu berubah jadi ringisan saat Rengganis berjalan pergi dari toko. Perempuan itu ikutan mendesah saat melihat bahu calon pembelinya yang terkulai lemas.

Andai saja kemeja ini lebih besar, atau pembelinya itu lebih kurus ….

Rengganis memutar tumitnya dan bergegas pergi dari sana, meninggalkan kemeja-yang-tak-ada-ukurannya itu dengan hati mendongkol. Lebih baik dia kembali ke kantor saja, menyibukkan diri dengan pekerjaan daripada mengutuki kemeja sialan itu.

*

Orang pikir, jadi desainer itu glamor.

Namun, pada kenyataannya bekerja di belakang layar fashion itu jauh dari kata glamor, apalagi kalau mereka melihat seperti apa penampilan Rengganis, salah satu calon desainer jenius di balik rancangan rumah mode terkenal di Indonesia.

Rengganis bukan tipikal sosok desainer yang sering dilihat pemirsa TV. Dia tidak seperti Anne Avantie, bukan juga Stella Mc.Cartney, apalagi Victoria Beckham. Dia lebih mirip desainer Indonesia bertubuh besar yang sering muncul di TV.

Ya, secara fisik, dia lebih mirip sang desainer terkenal itu. Tapi sayangnya, untuk karir, Rengganis masih receh dibandingkan nama-nama besar yang disebutkan tadi.

“Nis, jangan lupa besok deadlinenya submit sketsa!”

Rengganis mendongak dari kegiatannya membuat dress form pada sebuah manekin. Ada sebuah peniti yang terselip di bibirnya, dia hanya mengacungkan jempolnya pada Rika, koleganya yang tadi mengingatkan soal deadline.

Rika hanya mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan Rengganis yang sibuk dengan rancangan terbarunya.

Meja kerjanya berantakan dengan kertas-kertas, potongan contoh kain, pensil berbagai warna, gunting dan peralatan lainnya. Sampai-sampai saat ponselnya berdenting, Rengganis perlu waktu untuk mengacak-acak tumpukan barang sebelum menemukan ponsel yang terselip di antara laptop dan buku tebal.

Rengganis menyibakkan poninya yang menghalangi mata dan mendorong kacamata yang melorot di hidungnya sebelum membuka kunci layar ponselnya.

Ada beberapa notifikasi yang masuk; notif komentar I*******m, notif Grup Chat Alumni, notif update w******l favoritnya dan notif SMS spam.

Rengganis menghembuskan napasnya. Notifikasi yang tidak terlalu penting, nanti saja dia cek lagi. Namun, belum sempat Rengganis menutup layar ponselnya, benda itu berbunyi. Kali ini menerima panggilan telepon.

Rentenir Geblek muncul di layar.

Jantung Rengganis hampir kolaps. Napasnya tercekat. Sontak, serangan cemas itu kembali datang. Keringat mulai bermunculan di keningnya.

Aduh, mana gajian masih lama!

Rengganis mematung memandangi layar ponselnya dengan tampang horor. Gimana, nih?

Dering ponselnya yang disetel volume medium mendadak saja terdengar lebih nyaring daripada biasanya.

Rengganis menoleh kiri-kanan, seakan si Rentenir Geblek itu bisa muncul tiba-tiba dan menyergapnya, tapi di dalam studio ini tidak ada siapa-siapa, hanya dia dan manekin setengah jadi.

Rengganis berdeham untuk melancarkan sirkulasi udaranya yang mulai mampet. Dia menarik napasnya dalam-dalam. Tenang, Nis, ini bukan masalah besar. Semua orang pernah telat bayar cicilan. Lo hanya perlu kasih tau kalau akan segera melunasi utangnya.

Utang dengan bunga yang hampir saja mencekik lehernya.

Rengganis memencet tombol jawab, “Ha-halo?”

Ugh, kenapa dia malah terdengar panik dan gugup.

“Heh, Ndut!” terdengar suara kasar lelaki dari seberang sana, “kapan mau bayar?!”

Tak ada sapaan sopan, tak ada basa-basi. Langsung saja pada inti. Si Rentenir Geblek ini tidak suka gosip atau percakapan ringan, yang ada di otaknya hanya duit, duit dan duit.

“Ehm, maaf, Bang—”

Belum juga selesai Rengganis menjawab, Rentenir itu langsung memotong, “Alaaahhh… enggak usah banyak alasan! Dari kemaren lo bilang, tar-sok, tar-sok, aja! Besokannya itu kapaaannn?!”

Rengganis memejamkan matanya. ‘Tar-Sok’ yang dimaksud si Rentenir itu adalah ‘Ntar dan Besok’ dua kata yang paling sering diucapkannya setiap kali ditagih utang.

Dua kata sakti bagi setiap orang untuk ngeles, mencari alasan menunda pembayaran.

“Iya, Bang. Maaf, saya lagi banyak kerjaan, jadi belum sempat transfer…”

“Bilang aja lagi enggak ada duit!”

Nah, itu tau.

“Jadi kena tambah bunga, ya?”

Rengganis meringis dan hanya bisa pasrah, “Iya, Bang…”

“Besokan jangan lupa transfer bunganya! Gue tungguin! Kalau enggak dibayar juga bunganya, gue satronin ke tempat kerja lu!”

“Aduh, Bang… jangan dong…”

“Nah, makanya… jangan bikin malu emak-bapak lu!”

“Iya, Bang…”

“Kalo aja lo bahenol, gue pacarin, deh! Sayang lo endut, enggak demen gue sama cewek gendut!”

Sialan. Pake body-shaming segala! Rengganis sudah gregetan, tapi saat ini si Rentenir itu sedang di atas angin, dia terpaksa menggigit lidahnya agar tidak berkata kasar.

Dia tidak ingin Rentenir Geblek itu datang ke kantornya dan menodai reputasinya. Jangan sampai ada orang yang tau kalau dia punya utang ke rentenir.

“Iya, Bang. Sore ini saya kirim trasferan bunganya.” Akhirnya daripada panjang urusannya, Rengganis terpaksa mengambil hati si Rentenir itu.

“Nah, gitu doongg… jadi demen ‘kan gue. Oke deh, dadah bye-bye, Ndut!”

Pip. Tuuutt…. Tuuttt….

Rengganis menghembuskan napasnya, dia terduduk di kursinya. Terpaksa dia menguras tabungannya untuk membayar utang.

*

SUAMI WARISAN

02 – KABAR TAK TERDUGA

Waktu berlalu, matahari mulai meluncur ke batas cakrawala saat Rengganis yang kehilangan selera untuk melanjutkan sisa pekerjaannya memilih untuk membaringkan kepalanya yang pusing di atas meja.

Dia memandangi manekin setengah telanjang itu. Sekali lagi, dia menghembuskan napasnya. Terlilit utang itu memang tidak enak.

Kapan dia bisa terbebas dari jerat utang dan bunganya?

Kapan dia bisa lepas dari panggilan telepon berisi ancaman sekaligus body-shaming dari si Rentenir Geblek itu?

Kapan dia bisa makan enak dan tidur nyenyak?

Kapan, oh kapan?

Ponselnya kembali berdenting menandakan ada pesan yang masuk. Rengganis tidak mengindahkan, dia malah mengetuk-ngetuk mejanya dengan ujung pensil, membuat nada-nada seirama detak jantungnya. Pikirannya melayang, dia mengkalkulasi. Jika terus begini, utangnya baru akan lunas tiga tahun lagi. Bunganya akan terus melambung tinggi dan utangnya akan terus membengkak seperti tubuhnya.

Ugh, seandainya dia bisa segera mendapatkan uang untuk melunasi utangnya. Seandainya dia menang lotere. Seandainya dia dapat duit kaget.

Seandainya dia dapat warisan …

Ah, kalau dia dapat warisan berarti orang tuanya ada yang meninggal. Rengganis bergidik ngeri, ngaco ah! Jangan mikir yang enggak-enggak!

Rengganis menarik tegak kepalanya dan meraih ponsel yang kembali bergetar.

Ada email baru masuk.

Rengganis penasaran karena itu bukan email kantor, spam atau pun informasi langganan yang biasanya masuk. Nama yang tertera di sana adalah Nirmala.

Nirmala? Tante Nirmala? Pikir Rengganis. Dia teringat dengan bibinya yang sudah lama tidak bertemu. Terakhir kali bertemu saat dia diterima masuk sekolah desain. Tante Nirmala terlihat senang karena Rengganis berhasil mencapai impiannya masuk ke sekolah desain. 

Rengganis mulai membaca isi emailnya.

Rengganis Sayang,

Sebelumnya, maaf kalau berita ini datang tiba-tiba. Jika kamu sudah membaca surat ini, artinya Tante sudah tiada.

Sebenarnya Tante ingin sekali bertemu denganmu setelah pertemuan kita tiga tahun yang lalu, kamu terlihat sehat dan bersemangat. Tante suka melihat sikap positif kamu. Tapi sayangnya, keadaan tidak memungkinkan untuk bertemu.

Walau begitu, Tante berusaha mengikuti kabar perkembanganmu dari Mamamu. Tante dengar kamu sekarang sedang belajar untuk jadi desainer, ya?

Tante doakan semoga kamu berhasil mencapai cita-citamu. Tante yakin kamu akan jadi desainer yang sukses!

Rengganis,

Sekali lagi maaf karena Tante menuliskan ini, tapi hanya kamu satu-satunya yang Tante percaya. Jadi tolong jangan menolak, ya.

Tante sudah menitipkan Wasiat pada Pak Tomi, Tante ingin kamu sebagai pewaris Tante. Seluruh harta Tante, terutama rumah beserta isinya khusus untukmu, Sayang.

Tante hanya berpesan, jangan pernah menjual rumah dan barang-barang berharga yang ada di dalamnya. Semoga kamu bisa menjaga dan menghargai warisan ini.

Tante yakin kamu orang yang bisa dipercaya dan akan menjaga amanat Tante sebaik-baiknya. Sekali lagi, terima kasih ya, Sayang.

Selamat tinggal.

Nirmala.

Rengganis membelalak. Ap-apa maksudnya ini?!

Tante Nirmala meninggal? Beneran udah meninggal? Kok bisa kirim email? Ah, ini pasti prank!

Dia duduk termangu sementara ponsel di dalam sakunya kembali bergetar-getar menerima pesan.

Ganis, kamu di mana? – Papa

Ganis, Tante Nirmala meninggal. Cepat pulang! – Mama

Nis, lu dicariin sama semua orang, buruan angkat teleponnya! – Maya

Nis, Boss nyuruh lo email semua rancangan yang udah pernah lo buat. Doi perlu segera. Kirim ASAP! – Rika

Mbak, saya tunggu transferan uang kontrakannya segera. Atau pindah aja kalau enggak mampu bayar! – Ibu Kontrakan

Ponselnya kali ini berbunyi nyaring, nama Papa muncul di layarnya.

Rengganis buru-buru menjawab, “Ya, Pa?”

“Nis, cepetan pulang, Tante Nirmala meninggal.”

*

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nani Mulyani
Masih nyimak …seruuuu
goodnovel comment avatar
Kikiw
openingnya sih keren ya!
goodnovel comment avatar
TISYAMAN
Rengganis kurus juga gak bakal mau sama tuh rentenir! wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status