Share

02 - Wasiat Keluarga

SUAMI WARISAN

02 – WASIAT KELUARGA

Dengan alasan masih berkabung atas kematian Tante Nirmala, Rengganis mengungsi ke rumah orang tuanya. Dia kembali tidur di kamar lamanya yang rasanya semakin lama semakin sempit. Alasan sebenarnya Rengganis menginap di rumah karena dia tidak berani masuk ke kontrakan lantaran belum bayar sewa bulan ini.

Sebagai pengalih perhatian, Rengganis jadi kerja gila-gilaan. Dia bergadang semalam suntuk berusaha menyelesaikan rancangan pesanan bos-nya.

“Nis, ada yang mau ketemu sama kamu.”

Mama muncul di ambang pintu, beliau tertegun sejenak. Anak gadisnya sedang duduk di atas kasur dengan kertas-kertas bertebaran hampir menutupi seluruh kamar.

“STOP! Jangan injak gambarku!” seru Rengganis sambil mengacungkan tangannya, mencegah ibunya agar tidak masuk ke dalam kamar yang berubah seperti kapal pecah.

Mama mematung di ambang pintu, kakinya terhenti di udara saat hendak melangkah.

“Jangan ganggu kerjaanku, Ma. Ini penting banget!”

Ya, ibunya bisa melihat itu. Saking pentingnya, anaknya sampai sibuk hingga lupa waktu, lupa makan dan lupa mandi.

Beliau mengibaskan tangannya di depan hidungnya, “Sibuk sih sibuk, tapi buka jendelanya! Bau!”

Rengganis mendengus, dia menoleh ke belakang punggungnya dan menyibakkan tirai. Seketika cahaya matahari menerobos jendela. Dia menyipitkan matanya, “Ha, udah pagi, ya?”

Mama menghela napasnya, “Udah jam sebelas. Kamu belum mandi, ya? Ada tamu, tuh!”

Rengganis mendongak dari buku gambarnya, “Ha?” kacamatanya melorot sampai ujung hidung.

Mama menatap anak gadis bungsunya itu, penampilannya sungguh tidak layak untuk menerima tamu, “Ganti baju dulu, baru ketemu tamu!”

“Siapa?” tanya Rengganis heran. Jantungnya bertalu-talu di dada, jangan bilang kalau Rentenir Geblek itu berhasil melacaknya sampai rumah orang tuanya. Wah, berabe!

“Pengacara Tante Nirmala.”

Dahi Rengganis berkerut dalam, “Ngapain?”

Mama mengendikkan bahunya, beliau menggeser selembar kertas gambar yang berisi rancangan Rengganis menjauh dari kakinya, “Enggak tau. Papa lagi ngobrol sama beliau, tapi katanya dia mau ketemu sama kamu.”

Rengganis melemaskan otot-otot bahunya yang terasa kaku semalaman sibuk menggambar, “Emangnya ada urusan apa sih, Ma?” tanyanya masih kebingungan.

“Udah, mendingan kamu ganti baju aja dulu, terus turun ke bawah. Temui Pengacara Tante Nirmala, nanti ‘kan tau kenapa dia mau ketemu sama kamu.” Mama memutar tubuhnya hendak pergi dari sana, tapi kemudian beliau menghentikan langkahnya dan kembali berbalik pada Rengganis, “ikat rambutnya, bedakan, jangan turun sebelum rapi!”

Rengganis cemberut. Dia menarik kerah kausnya dan menghidunya. Urgh, dia memang bau. Pantas saja Mama marah-marah melihat anak gadisnya yang jorok.

Perlahan, berhati-hati agar tidak menginjak karya-karyanya yang bertebaran menutupi setiap jengkal kamar, Rengganis beranjak untuk berganti baju. Ia mengoleskan deodorant, berganti pakaian dan mengikat rambutnya yang berminyak.

Kemudian Rengganis masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi.

Setelah memastikan dia layak untuk bertemu dengan orang, Rengganis turun ke lantai bawah. Dilihatnya Papa duduk di sofa ruang tamu, sedang bercakap-cakap dengan lelaki asing yang belum pernah dia temui.

Rengganis berjalan perlahan menghampiri mereka dan berdeham, memberitahu kedatangannya.

Papa dan sang tamu menoleh.

“Oh, Nis. Ini Pak Tomi, beliau Pengacaranya Tante Nirmala.” Papa berdiri dan merentangkan tangannya menyentuh bahu anak gadisnya.

Rengganis mengangguk dan tersenyum malu-malu.

“Mbak Rengganis,” sapa lelaki berjas rapi, beliau berdiri dan mengulurkan tangannya “saya Tomi, senang berkenalan.”

Rengganis menjabat tangannya lemah dan bergumam lirih, “Rengganis.”

“Silakan bicara dengan Rengganis, Pak Tomi, saya ambilkan minum dulu.” Ujar Papa sembari beranjak meninggalkan dua orang tersebut, beliau sengaja memberikan kesempatan bagi Pak Tomi untuk mengutarakan maksud kedatangannya.

Pak Tomi mengangguk, “Baik, terima kasih, Pak.”

Sepeninggal Papa, Rengganis duduk dengan canggung di hadapan pengacara yang baru dikenalnya. Dia memerhatikan bahwa Pak Tomi sebaya dengan Papa, pembawaannya tenang dengan senyuman ramah membuatnya sedikit rileks.

“Ehm, begini Mbak Rengganis—”

“Panggil saya Ganis aja, Pak.” sela Rengganis pelan, dia menunduk dalam-dalam sembari menarik-narik ujung kausnya, gestur setiap kali ia bertemu orang baru.

Pak Tomi tersenyum dan mengangguk “Baik, Mbak Ganis. Begini, kedatangan saya kemari hendak memberi informasi perihal Surat Wasiat mendiang Ibu Nirmala.”

Rengganis mengernyitkan dahinya. Apa urusan—tunggu, apa ini yang dimaksud Tante Nirmala dalam emailnya?

Melihat sorot kebingungan di mata Rengganis, Pak Tomi melanjutkan, “Mendiang Ibu Nirmala menitipkan Surat Wasiatnya kepada saya, untuk dibacakan selepas beliau berpulang.”

“T-tapi, Tante baru tiga hari dimakamkan …” Suara Rengganis menggantung dalam kebingungan, “kenapa Wasiatnya sudah dibacakan?”

Pak Tomi mengeluarkan sebuah dokumen dari tas kantornya sembari berkata, “Memang begitu amanatnya, Mbak. Ibu Nirmala ingin segera mungkin dibacakan Wasiatnya segera setelah beliau wafat.”

Rengganis tidak bisa berkata-kata, ia hanya mengangguk. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Dia memandang Pak Tomi yang sibuk dengan dokumen di tangannya.

“Begini, Mbak Rengganis, saya yakin Mbak bingung kenapa saya hanya meminta bertemu dengan Mbak.”

Rengganis mengangguk.

Pak Tomi tersenyum menenangkan, dia menyerahkan sebuah amplop pada Rengganis, “Ini surat dari Bu Nirmala untuk Mbak Rengganis, setelah baca suratnya, saya akan bacakan Wasiatnya.”

Dengan tangan sedikit gemetar, Rengganis menerima amplop putih itu. Dia mengamati amplop berbahan manila yang terkesan mewah. Setelah dibalik, amplop itu direkatkan oleh lilin berbentuk simbol yang terlihat asing.

Rengganis mengerutkan keningnya, dia jadi teringat dengan surat Hogwarts yang diterima oleh Harry Potter. Amplop itu terkesan mewah dan jadul, hingga rasanya Rengganis enggan untuk merusak lilin itu.

“Silakan dibaca, Mbak.” Pak Tomi melihat keengganan Rengganis. Sorot matanya mengatakan ia pun penasaran dengan isinya, tapi sebagai pengacara yang profesional, Pak Tomi tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi klien.

Bu Nirmala jelas-jelas mengatakan kalau surat itu adalah surat pribadi.

Rengganis menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuka amplop itu. Di dalamnya terdapat secarik kertas manila yang terlipat rapi. Saat Rengganis membukanya, tercium harum semerbak. Hidung Rengganis menghirup harum yang khas itu.

Parfum Tante Nirmala.

Ingatannya melayang akan kenangan adik ayahnya yang dicoret dari Kartu Keluarga gara-gara membangkang dan bersumpah tidak akan pernah menikah.

Rengganis ingat tragedi itu. Dia masih duduk di bangku kelas V SD tapi momen itu melekat dalam ingatannya.

Momen saat Tante Nirmala menghambur keluar dari rumah almarhum Aki dan berpapasan dengannya di pagar rumah. Rengganis kecil kaget melihat Tante Nirmala membawa koper sambil menangis. Tante bersimpuh di hadapannya, dengan berurai airmata, ia berkata, “Nis, janji sama Tante kalau kamu enggak akan pernah buang Tante, ya?”

Rengganis yang kebingungan hanya mengangguk.

Tante Nirmala sesegukan dan memeluknya sesaat sebelum pergi meninggalkan rumah itu, selama-lamanya.

Hingga akhir hayatnya, Tante Nirmala tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di rumah keluarga.

*

Papa datang bersama dengan Mama yang membawa nampan berisi minuman dan penganan kecil.

Pak Tomi mengucapkan terima kasih.

“Semuanya baik-baik aja?” tanya Papa yang tanpa sengaja melihat tangan Rengganis yang bergetar memegang kertas surat. “Ada apa, Nis?”

Mata Rengganis setengah berkaca-kaca saat ia selesai membaca isi surat dari Tante Nirmala, dia menoleh pada sang Pengacara. “P-Pak Tomi, i-ini… surat ini sama persis sama yang ada di email.”

“Email? Email apa, Mbak?” tanya Pak Tomi yang baru saja menyesap teh hangat buatan Mama.

Rengganis buru-buru membuka ponselnya dan menyodorkan email pertama dan terakhir yang dikirimkan Tante Nirmala untuknya.

Pak Tomi terperanjat, “Mbak, ini…?” dia bahkan tidak sanggup berkata-kata.

Rengganis mengangguk, “Iya, Pak.”

“Ada apa?” tanya Papa dengan nada waspada. Matanya bolak-balik melihat ke arah Rengganis kemudian Pak Tomi.

Rengganis menunjukkan email beserta surat yang isinya sama persis, “Email ini datang sebelum Papa telepon ngabarin kalau Tante Nirmala meninggal.”

Alis Papa naik, beliau mengamati email itu dan bergumam, “Mungkin ini email yang disetel waktunya, Nis…”

“Hah?” Rengganis mengambil kembali ponselnya, mengecek fakta yang terlewatkan itu.

Papa mengangguk, “Kita bisa setting waktu pengiriman email, ‘kan? Mungkin Nirmala pakai itu.”

“Ta-tapi… kalau email ini disetting, gimana bisa waktunya pas saat beliau meninggal?” tanya Rengganis.

Kedua lelaki itu saling berpandangan.

“Enggak mungkin Tante Nirmala bisa meramalkan kematiannya sendiri. Ya, ‘kan?”

*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
atau mungkin Nirmala mati dibunuh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status