Share

03 - Lelaki Warisan

INHERITED HUSBAND

03 – LELAKI WARISAN

Cerita mengenai email yang dikirimkan Tante Nirmala sebelum berita kematiannya datang, menyebar dengan cepat di W******p Group keluarga. Semua orang bertanya-tanya bagaimana bisa Nirmala seakan sudah meramalkan kematiannya sendiri.

‘Dia ‘kan memang orangnya aneh, suka sama yang berbau klenik, gitu. Jadi kayanya dia udah tau kalau mau meninggal…’ tulis seorang Uwa yang memang hobinya gosipin orang.

‘Trus sekarang semua hartanya dikasih ke Ganis, ya?’ tanya seorang Tante yang kelihatan berharap kecipratan warisan Nirmala.

‘Wah, mendadak kaya kamu, Nis! Selamat, ya!’

‘Traktir dong, Nisss…!’

‘Aseekk, tau-tau dapet rumah sama deposito aja, nih!’

‘Mau diapain warisannya, Nis?’

‘Jual aja rumahnya, beli yang deket kantor, Nis. Deposito bisa dibeliin mobil dan liburan ke LN. Yuhuuu…! Gue ikutan, yaakk!’

‘Nis, gimana ceritanya kamu bisa dapat warisan? Wah, diem-diem kamu suka ketemuan sama Nirmala, ya?’

‘Nis, kaya gimana sih rumah warisannya? Kamu udah tau?’

Duuh, Rengganis pusing sendiri dengan banyaknya pertanyaan dari saudara-saudara yang kepo. Dia mengetik dengan cepat.

‘Maaf, sodara-sodara, Uwa, Om dan Tante, saya juga enggak tau kenapa Tante Nirmala ngasih warisan ke saya aja, bukan ke anggota keluarganya yang lain. Bagi kalian yang kepo, sumpah beneran saya enggak ada main belakang sama Tante Nirmala. Saya enggak pernah ketemu sama beliau, sumpah suer, deh!

Ini aja kaget tiba-tiba dapat Surat Wasiat. Jadi tolong jangan berpikir yang macam-macam soal saya dan Almarhum Tante Nirmala. Mendingan kita doain aja supaya Tante Nirmala tenang di sana. Sekian dan terima kasih. Salam, Rengganis yang lagi kaget dan berduka.’

Send.

Rengganis tersenyum puas membaca pesan yang ditujukkan pada semua anggota keluarga di WAG. Tuh, jangan suudzon aja sama orang!

Iri bilang, bos!

Tapi sejujurnya semua pertanyaan yang diajukan oleh keluarganya memang sempat mampir di pikiran Rengganis.

Dia juga penasaran seperti apa rumah warisan dari Almarhumah Tante Nirmala?

*

Berbekal alamat yang diberikan oleh Pak Tomi, Rengganis nekat pergi untuk melihat seperti apa rumah warisannya.

Ternyata, rumah Tante Nirmala lebih jauh dari pada bayangannya. Ia harus tiga kali ganti angkutan umum dan dua kali naik ojek untuk sampai tempat tujuannya.

Langit sudah menggelap saat ojek yang ia tumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah pagar hitam tinggi.

“Di sini, Mang?” tanya Rengganis sangsi. Dia melepaskan helm bau apek yang dipakainya.

Ojek itu mengangguk, dia menerima helm dari tangan Rengganis, “Iya, Neng. Masuk aja ke dalem. Saya langsung pergi, ya. Udah kemaleman!”

Tanpa ba-bi-bu, sang Ojek pengkolan itu langsung ngacir dari sana.

Tinggal Rengganis berdiri mematung di depan pagar besi yang terkesan angker itu.

“Jadi, ini rumahnya?” gadis bermata jernih dengan tubuh berisi itu menatap rumah megah di hadapannya. Alisnya bertaut, mempertanyakan sesuatu yang belakangan ini menghantui dirinya dan keluarganya, ‘Aku tahu Tante Nirmala kaya, tapi … kenapa dia … malah mewariskan semua ini padaku?

Kerlip cahaya terlihat dari kejauhan, Rengganis menyipitkan matanya.

Apa itu? batinnya penasaran. Perlahan dia melangkah mendekat menuju gerbang besi itu. Tak ada papan nama, tak ada nomor rumah, apalagi penerangan jalan.

Jantungnya bertalu-talu di dada. Mendadak saja bulu romanya berdiri, suhu udara mulai menurun, angin berhembus membuatnya bergidik.

Rengganis memeluk kedua lengan dan menggosok-gosokkan telapak tangannya, berusaha mengusir dingin yang menggigit. Dia mengecek jam tangannya, baru pukul tujuh saja dinginnya sudah membuat giginya gemeletukan.

Tangannya mendorong pagar itu, suara berderit terdengar saat pagar bergeser membuka, memberinya jalan untuk masuk ke dalam halaman rumah warisannya.

Pak Tomi berpesan untuk menelepon si penjaga rumah, memberitahu kedatangannya. Tapi Rengganis sudah berkali-kali menelepon nomor yang diberikan Pak Tomi, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.

Rasa penasaran dan sukacita yang menggebu membuatnya nekat untuk jalan sendiri ke sini. Sekarang, dia menyesali kenapa tidak minta ditemani Papa untuk melihat rumah warisannya.

Kaok burung yang pulang ke sangkar membuat suasana makin mencekam, Rengganis mempercepat langkahnya menyeberangi halaman rumah yang luas. Dia menaiki tangga teras dan mengatur napasnya.

Rumah itu bertingkat dua, terbuat dari batu dan kayu. Walaupun terkesan tua, rumah itu masih terawat. Pintu ganda yang menjadi pintu masuk berwarna cokelat tua dengan gantungan dari kuningan. Rengganis meraih gantungan dan mengetuk tiga kali.

Tidak ada jawaban.

Dia menunggu sesaat, kemudian mengetuk lagi.

Lagi-lagi tak ada sahutan.

Rengganis mengerutkan keningnya, dia berdeham, suaranya serak saat ia berseru, “Assalamulaikuuum ….! Halo ….! Ada orang di sini?!”

Dia mulai celingukan, berusaha mengintip dari balik jendela yang tertutup rapat. Sayup-sayup terdengar suara berdentum dari dalam rumah.

Rengganis mendekat ke arah pintu, dia yakin mendengar suara dari balik pintu. Dentuman itu terdengar makin keras sampai-sampai dia menempelkan sebelah telinganya di dekat daun pintu.

Dum. Dum. Dum.

Ha? Apa itu, ya? Apa ada yang sedang bermain musik? Pikir Rengganis heran. Dia merasa ada yang sedang berpesta di dalam sana.

Siapa orang yang berpesta di tengah hutan begini?

Pak Tomi bilang kalau rumah ini hanya ditempati oleh Tante Nirmala dan beberapa pembantunya. Tapi semenjak Tante Nirmala dirawat di RS, pembantunya hanya tersisa satu orang.

“Namanya Pak Eman, beliau bertugas membersihkan rumah dan mengurus tanaman. Rumahnya tidak jauh di belakang kebun, jadi nanti kalau Mbak Rengganis ada perlu, bisa langsung komunikasikan pada beliau.” kalimat Pak Tomi terngiang di telinga Rengganis.

Ah, ya. Mendingan cari Pak Eman aja. Bisa jadi tidak bisa dihubungi karena susah sinyal. Maklum lokasi rumah ini di antah berantah.

Namun, Rengganis masih penasaran, dia merunduk dan sekali lagi membuka telinganya lebar-lebar, mendengarkan dengan saksama apa yang sedang terjadi di balik pintu itu.

Dum. Dum. Dum.

Suara itu masih terdengar. Dia yakin ada orang di dalam rumah. Siapa yang berpesta di rumah orang yang baru saja wafat?

Dasar enggak sopan!

Rengganis menarik napasnya kesal, dia merasa orang ini kurang ajar karena pesta di rumah orang tanpa izin dari pemiliknya!

Dum! Dum! Dum!

Deg. Deg. Deg.

Rengganis mengerutkan keningnya saat suara yang ia dengar berubah. Tiba-tiba saja rasa hangat menjalar dari telinganya. Daun pintu terasa lebih hangat dari pada tadi. Sudut matanya menangkap bayangan.

Perlahan, Rengganis mendongakkan kepalanya, matanya melebar saat bayangan itu menjelma menjadi sesuatu yang tinggi, padat dan hangat.

Mulut Rengganis terbuka, suaranya tercekat di tenggorokan saat ia berdiri berhadapan dengan seseorang yang menatapnya tajam.

“A …. A ….” Tangannya gemetar menunjuk orang yang berdiri di ambang pintu.

“Siapa kamu?”

Rasanya ada yang menyiramkan air dingin di atas kepalanya saat mereka berdiri berhadapan. Mata Rengganis yang membelalak perlahan menyusuri setiap jengkal wajahnya. Mata gelap yang bersinar tajam, dahi tinggi dengan kedua alis tebal, rahang yang terlihat kuat dan dagu yang terbelah.

Alisnya berkerut, tatapan matanya yang tajam mengingatkan Rengganis pada tatapan mata singa yang siap menerkam.

Rengganis mundur selangkah, lelaki itu maju mendekat.

Uh. Jantungnya langsung jumpalitan. Apalagi lelaki itu sama sekali tidak memakai baju atasan. Dadanya yang bidang dengan otot yang liat terlihat jelas di hadapannya.

“Ka-kamu siapa?” Rengganis balas bertanya dengan terbata. Dia berusaha tetap tenang walaupun rasanya mau pingsan.

“Narendra dari Pajajaran.” Suaranya yang dalam diikuti dengan gerakan tubuhnya yang berubah menjadi posisi siap saat menyebutkan namanya. Sikapnya seperti seorang prajurit.

“Ha?” Rengganis bertanya heran, “nga-ngapain kamu di-di rumah ini?”

“Ini rumah Nirmala.” jawabnya tenang, “kamu siapa?”

“A-aku …. Aku Rengganis, ponakannya Tante Nirmala.”

Kali ini mata lelaki yang bernama Narendra yang membelalak sembari menatapnya, “Kamu ….”

Rengganis mengangguk, “Y-ya, Tante Nirmala mewariskan rumah ini untukku.”

Perlahan, senyum merayap di wajah Narendra, sorot matanya melembut saat ia mengucapkan satu kalimat yang mengubah hidup Rengganis, selamanya, “Wilujèng Sumping, Nyai Rengganis. Mulai saat ini, saya adalah suamimu.”

*

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Kikiw
kena mental gak Nis kalo lakinya modelan gini? uwuw!!
goodnovel comment avatar
nana
wilujeng sumping...
goodnovel comment avatar
ana fitriani
langsung jatuh cinta lagi ma novelnya mb sera uwwu.............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status