Share

04 - Penghuni Rumah Misterius

INHERITED HUSBAND

04 – PENGHUNI RUMAH MISTERIUS

Seumur hidup, Rengganis jarang berlari.

Berat tubuhnya menghalangi kecepatan larinya. Baru beberapa meter saja, dia sudah ngos-ngosan. Tapi saat ini, kedua tungkainya berlari secepat kilat. Napasnya berembus di udara saat mulutnya terbuka, dia memacu kakinya agar segera pergi dari sana.

Dari lelaki aneh dan rumah menyeramkan itu.

Sepertinya dia tersesat. Sepertinya dia salah alamat. Sepertinya dia tidak sengaja masuk ke alam gaib yang ada di hutan ini.

Rengganis menelan ludahnya, kembali memacu kakinya agar berlari secepat mungkin. Dia bisa melihat gerbang besi hitam yang terbuka. Dia terengah, jantungnya bertalu-talu di dada, berdenging di telinganya, adrenalin menderas dalam aliran darahnya, dia hampir oleng, tapi ketakutan dan kengeriannya mengalahkan segalanya.

Di otaknya saat ini hanya ada satu tujuan: LARI.

Langkahnya semakin mendekat, tangannya menggapai hendak meraih gerbang, saat tiba-tiba saja tidak ada angin tidak ada hujan, gerbang itu melayang dan menutup di hadapannya.

Sreett! Brakk!

Gerbang menutup, gerendel terkunci dengan sendirinya.

Sontak Rengganis mengerem mendadak. Dia berusaha mengatur napasnya sambil mengerjap tidak percaya.

“Nyai, mau kemana?”

Rengganis menoleh kaget. Dia terbelalak saat menyadari kalau Narendra sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap.

Gimana caranya lelaki itu bisa berdiri di belakangnya tanpa terlihat habis berlari?

“Eh, um ….” Otaknya blank. Dia tidak bisa mengarang alasan apa pun.

Narendra mendekat, Rengganis mundur perlahan. Seberkas senyum membayang di wajah Narendra, ia menyadari ketakutan yang memancar dari gadis gendut ini. Jakunnya bergerak naik turun saat ia menahan dahaganya.

“Nyai sudah datang jauh-jauh kemari, silakan masuk dulu. Kamarnya sudah siap.”

Kamar? 

Langkah Rengganis semakin menjauh, dia berjalan mundur dengan waspada.

Narendra melanjutkan, “Maaf kalau saya membuatmu terkejut.”

Bukan terkejut, Rengganis berada dalam fase shock. Dia terus mundur sampai punggungnya menabrak gerbang besi. Angin berhembus cukup kencang, membuatnya kembali menggigil. Keringat menetes di dahinya yang lengket.

“Hari sudah malam, sebaiknya masuk dan beristirahat di kamar.”

Rengganis menggeleng.

“Kenapa?” tanya Narendra yang menangkap gelengannya.

Rengganis menelan ludahnya susah payah, dia berusaha menemukan kembali suaranya, “A-aku …. Sebaiknya pulang saja.”

Ya, ya. Lebih baik pulang dari pada tinggal di rumah berhantu itu. Dia tidak mau ambil risiko bermalam di tempat yang asing.

Alis Narendra naik, dia bertanya sambil mengulum senyumnya, “Naik apa?”

“Eh ….” Rengganis menyadari kalau ia berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Dia sedang berada di tengah hutan yang gelap gulita. Tanpa kendaraan dan tanpa petunjuk arah.

“Nyai,” panggil Narendra lagi, dia mengulurkan tangannya, “mari masuk.”

Suaranya terdengar lembut. Rengganis menatap tangannya yang terulur ke arahnya, terasa mengundang. Ada dorongan yang tak kasatmata yang membuatnya mengulurkan tangannya menyambut tangan Narendra. Rengganis melangkah ragu dan perlahan.

Tapi sorot mata Narendra membuatnya berjalan mendekat. Seakan terhipnotis oleh lelaki gagah nan tampan itu, Rengganis menerima uluran tangannya.

Perlahan tapi pasti, Narendra mengajak Rengganis untuk berjalan kembali ke rumah.

“Saya akan jelaskan semuanya di rumah.” bisiknya seakan menjawab pertanyaan yang berhamburan di dalam pikiran Rengganis.

*

Rasanya hanya sekejap saja mereka sampai di depan pintu rumah, padahal Rengganis tau benar dia sampai ngos-ngosan untuk lari dari teras sampai ke gerbang.

Narendra membuka pintu ganda itu dan menyilakan Rengganis masuk. “Wilujeng sumping, Nyai.”

(Selamat Datang, Nyai.)

Bulu roma Rengganis kembali berdiri begitu mendengar kalimat Narendra. Refleks dia melepaskan tangan mereka. Bunyi yang tadi didengarnya kini menampakkan wujudnya. Di tengah ruangan yang luas itu sedang digelar pesta yang meriah.

Narendra menjentikkan jarinya dan musik berhenti. Begitu pula dengan orang-orang yang ada di sana. Mereka serentak menoleh pada Narendra, kemudian mata mereka bergerak memandang Rengganis yang berdiri di sebelahnya dengan pandangan bertanya.

Rengganis terpaku di tempatnya. Dia pernah melihat kerumunan seperti ini. Semua orang yang ada di sana terlihat tinggi, langsing, dan cantik.

Semuanya perempuan yang terlihat rupawan.

Mendadak rasa minder Rengganis muncul, menggantikan ketakutannya. Di tengah ruangan yang penuh dengan manusia yang cantik menawan ini, dia terlihat seperti itik buruk rupa di antara para angsa.

“Sampurasun,” suara Narendra yang berat dan berwibawa menggema dalam ruangan, dia berdiri di samping Rengganis, menghadap para tamu pestanya, “ini Rengganis, keponakannya Nirmala, dia yang diwarisi rumah ini, yang artinya Rengganis adalah istri saya mulai saat ini.”

Kepala Rengganis menoleh cepat, kepalanya hampir saja lepas dari engselnya. Dia membelalak pada Narendra, “Istri?!”

Narendra tersenyum sambil menoleh padanya, “Sumuhun, Nyai.”

Glek.

“Gimana?” tanya Rengganis tidak paham.

Tangan Narendra merangkul bahunya, “Saya akan jelaskan, tapi sebelumnya, saya akan membubarkan pesta ini. Ayo, masuk dulu ke kamar.”

Rengganis tidak punya kuasa atas tubuhnya sendiri, karena rasanya ia bergerak di luar batas kemauannya. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, ia menurut saat Narendra membimbingnya ke sebuah kamar.

“Mangga linggih, Nyai.” Narendra mendudukkannya di sisi ranjang yang empuk. Tidak seperti penampilan luar rumah, interior kamar termasuk modern.

(Silakan duduk, Nyai.)

Narendra hendak berbalik saat Rengganis menahannya, “Tunggu.”

“Ya?”

“Eh, um ….” Mendadak saja isi otaknya menguap, dia kebingungan dengan segalanya; keadaan, situasi, tempat dan orang asing yang ditemuinya.

Narendra seakan mengerti, dia tersenyum menenangkan. “Saya akan menyuruh orang-orang ini untuk pulang, setelah itu kita akan berbincang.”

Sikap, kata-kata dan sorot matanya menjadi perpaduan yang membingungkan. Dada Rengganis sesak, dia ketakutan, penasaran juga terkagum-kagum.

Siapa lelaki ini?

Apa hubungannya dengan Tante Nirmala?

Kenapa dia bilang kalau aku adalah istrinya?!

Seakan bisa membaca pikirannya, Narendra mengulurkan tangannya, menyentuh puncak kepala Rengganis. Dia menunduk dan berbisik, “Saya Narendra dari Pajajaran. Saya dan Nirmala terikat oleh pernikahan, tapi karena sekarang Nirmala sudah tiada, maka kamu, sebagai pewarisnya menggantikan posisinya sebagai istri saya.”

Rengganis mengerjap, seketika itu juga Narendra menghilang dari hadapannya.

Hah!

Rengganis tergeragap. Lagi-lagi ia merinding. Demi Tuhan, dia hanya mengedip satu detik tapi lelaki itu sudah menghilang begitu saja!

Pintu terbuka, Rengganis berjingkat-jingkat mengintip apa yang terjadi di depan sana. Ia melihat Narendra berdiri di tengah ruangan dan bercakap-cakap sejenak. Para perempuan itu mengangguk, mereka seolah paham apa yang sedang terjadi.

Kemudian satu per satu dari mereka beranjak, mereka mendekat pada Narendra dan berpamitan.

Tapi yang membuat Rengganis terkesiap adalah cara mereka berpamitan.

Para perempuan itu mengantri di hadapan Narendra, memeluk dan berciuman sebelum berlalu pergi.

Refleks, Rengganis menutup mulutnya dengan tangan. Menahan agar kekagetannya tidak lepas dari tenggorokannya.

Narendra meraih pinggang langsing salah satu perempuan dan menciumnya keras di mulut, tanpa sengaja ia bertatapan dengan Rengganis yang berdiri di ambang pintu. Perempuan itu terlihat shock, matanya membeliak, horor terlihat jelas dari maniknya.

Mata Narendra berkilat, ia menyeringai sebelum menarik energi dari mangsanya.

*

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Kikiw
misteri horornya dapet banget yaa!!
goodnovel comment avatar
Endah Setyawati
tsaaahhh.. ikut merinding..
goodnovel comment avatar
Bintang Dalimunthe
Bergidik tp penasaran..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status