Share

07 - Pertemuan Kedua

INHERITED HUSBAND

07 – PERTEMUAN KEDUA

Kali ini Rengganis pergi ke lokasi rumah warisannya menggunakan sepeda motor.

Kalau gue dateng pake motor sendiri, gue bisa segera pergi dari rumah itu. Biar enggak kaya kemarin, tau-tau terjebak di sana sama lelaki aneh itu. Uh, siapa lagi namanya? Kok bisa lupa, sih?! gerutu Rengganis dalam hati.

Entah kenapa Rengganis bisa mengingat kejadian tapi lupa nama. Apa karena kebiasaannya yang ingat wajah, lupa nama?

Tapi enggak mungkin, lelaki itu punya kesan tersendiri. Enggak mungkin dia lupa namanya. Wajahnya masih terpatri jelas dalam ingatannya.

Pokoknya, nyampe sana, gue harus, HARUS tau siapa dia dan kenapa dia ada di rumah Tante Nirmala? Eh, rumah gue. Sekarang itu rumah punya gue!

Walau tanda tangannya masih basah di atas kertas yang ditanda tanganinya – dan sekarang berada di tangan Pak Tomi – rumah itu secara legal telah jadi miliknya.

Jadi dia berhak mengusir siapa pun orang yang tidak dikehendakinya.

Dengan tekad kuat dan kantung camilan yang berat, Rengganis berangkat menuju perbatasan antara Sukabumi dan Bogor. Perlengkapannya kali ini komplit. Dia juga percaya diri karena membawa kendaraan sendiri. Yakin bahwa dia tidak akan terkatung-katung di jalan.

Rengganis masih ingat rute menuju rumah itu. Ingatannya masih segar hingga ia tidak tersesat di jalan.

Setelah menempuh empat jam perjalanan non-stop, Rengganis sampai di depan gerbang menjelang azan Ashar.

Dia menghentikan motornya di depan gerbang yang tertutup rapat. Rengganis turun dari jok motornya dan hendak membuka gerbang, tapi aksinya sudah keduluan pihak lain. Gerbang itu melayang terbuka, seakan tau kalau dia sudah datang.

Rengganis tidak langsung naik kembali ke motornya, dia menghampiri gerbang dan mengamatinya. Memastikan kalau gerbang ini bukan otomatis. Bukan gerbang yang bisa dibuka-tutup menggunakan teknologi remote control. Tidak, dia yakin sekali kalau gerbang ini manual. Harus dibuka-tutup dengan tangan.

Seketika, bulu kuduknya kembali meremang mengetahui bahwa gerbang ini melayang terbuka oleh kekuatan yang tak kasatmata.

Dia semakin yakin kalau kejadian kemarin bukan mimpi. Gerbang ini memang berhantu. Rengganis buru-buru kembali ke motornya dan melaju masuk ke halaman rumah.

Seorang lelaki berdiri di teras. Sikapnya menunjukkan kalau dia sudah menunggu kedatangan Rengganis. Tatapan mereka bertemu saat Rengganis memarkirkan motornya di depan teras. Dia melepaskan helm sambil memandangi lelaki bertubuh tegap itu. Kedua otot lengannya bertonjolan ketika ia melipat tangannya di depan dada.

“Assalamualaikum…,” sapa Rengganis. Ia menegakkan tubuhnya, berdiri di samping motornya yang masih menyala.

“Waalaikum salam warahmatulahi wabarakatuh…,” suara dalam itu menjawab salamnya.

Ah, ternyata dia bukan dedemit, pikir Rengganis. Mana ada dedemit yang menjawab salamnya?

Lelaki itu mengulum senyum, seakan mendengar pikirannya. “Wilujeng sumping, Nyai.”

Mata Rengganis melebar begitu mendengar sapaan yang pernah didengarnya sebelum ini. Seakan kalimat itu mempunyai daya magis hingga ada perasaan aneh yang melingkupi dadanya.

“Ka-kamu… kenapa kamu lakukan itu?” tanya Rengganis tanpa basa-basi.

“Lakukan apa?” balasnya tanpa rasa bersalah.

“Kemarin!” seru Rengganis sambil mengacungkan tangannya, “kenapa kemarin bisa jadi sekarang?!”

Lelaki itu menelengkan kepalanya dengan alis berkerut, “Maksudnya?”

Rengganis gelagapan, di otaknya ada banyak rentetan kalimat, tapi mulutnya tidak sinkron dengan kecepatan otaknya. Dia jadi tertegun oleh gempuran emosi di dalam dirinya sendiri.

“Ke-kemarin itu diulang! Sekarang harusnya tanggal 6, kenapa balik jadi tanggal 5 lagi?!”

Kali ini mata lelaki itu yang melebar, dia terperangah, “Kamu ….”

“Ya, aku ingat! Aku ingat kita pernah bertemu, tapi aku lupa namamu. Aku ingat kemarin aku kemari, aku SUDAH datang kemari dan bertemu sama kamu! Kamu bilang…. Kita…. Aku….” kalimat Rengganis menggantung sementara ia berusaha mengingat-ingat kejadian yang terasa mimpi tapi nyata.

Ah, dia benar-benar bisa gila!

“Apa yang kamu ingat, Nyai?” tanya lelaki itu perlahan, sorot matanya terlihat waspada.

“Nyai! Ya, ya! Kamu panggil aku ‘nyai’ juga kemarin! Kamu bilang… ‘karena aku pengganti Nirmala, jadi aku adalah Nyai…’ ya, semacam itu. Jadi cepat jelaskan kenapa!”

Lelaki itu sama sekali tidak kaget mendengar semburan kata-kata dari gadis gendut yang lepek oleh keringat itu. Dia juga bisa merasakan rasa lapar di perutnya dan pegal di ototnya.

“Nyai, bagaimana kalau masuk dulu dan minum? Pasti lelah sudah datang jauh-jauh kemari. Saya akan menyiapkan makan malam.”

Mendengar ‘makan malam’ membuat perut Rengganis berkeriuk minta diisi. Dia melirik kantung plastik Indomaret yang berisi camilan. Ah, mana kenyang cuma makan PopMie dan roti yang sudah kering? Dia menginginkan makan malam lengkap nasi dan lauknya.

“Saya akan menyiapkan makan malam lengkap nasi dan lauknya.”

Tuh, ‘kan. Lelaki ini bisa baca pikiran. Dia ini semacam mahluk apa, sih? Apa orang indigo? Tapi kayanya orang indigo enggak ada yang sehebat ini.

Lelaki itu menarik napasnya sambil menahan senyum, dia merentangkan sebelah tangannya pada Rengganis sambil berujar, “Daripada menduga-duga saya ini apa, sebaiknya kita masuk dulu. Mari, Nyai…,”

Mau enggak mau, Rengganis menurut, dia mematikan mesin motor dan melepaskan kunci dari soketnya, kemudian mengikuti langkah si lelaki.

Bagus, kali ini dia tidak bertelanjang dada. Lelaki yang namanya masih melayang-layang di sudut otaknya, tidak bisa ia raih dan dia ucapkan itu memakai pakaian lengkap.

Rengganis memerhatikan pakaiannya; setelan berupa baju kemeja polos dan celana hitam yang longgar, panjangnya di atas mata kaki.

Dia tau lelaki ini memakai Pangsi, pakaian adat Sunda yang biasa dipakai para lelaki.

Rengganis mengikuti lelaki itu masuk ke dalam rumah. Suasana rumah itu sepi. Terlalu sepi.

Rasa mencekam itu masih tersisa.

Rengganis menarik napasnya dalam-dalam dan melangkah perlahan. Untuk pertama kalinya, ia bisa melihat-lihat rumah Tante Nirmala dengan leluasa.

Kemarin malam terlalu banyak kejadian hingga ia tidak menyadari betapa luas dan megah rumah tersebut.

Lelaki itu membawanya ke sebuah ruangan yang lebih mirip perpustakaan daripada ruang kerja. Mulutnya terbuka saat ia melihat deretan buku-buku yang memenuhi hampir seluruh dinding dalam ruangan itu. Bau kertas lama menyergap hidungnya.

“Ini tempat Nirmala dulu bekerja.” Lelaki itu membuka percakapan, dia mengitari sebuah meja kayu jati yang besar. Berdiri di belakangnya, terlihat gagah dan berwibawa. Sama sekali berbeda dengan ingatan Rengganis semalam.

Lelaki ini membawa aura yang tidak biasa.

Rengganis terpaku, dia masih ingat dengan jelas tatapan mata lelaki itu saat dia mencium dan memeluk perempuan-perempuan itu.

Tapi kali ini, sorot matanya tidak sebengis kemarin, sorot matanya terlihat …. sendu.

Lelaki itu berdeham dan melanjutkan, “Sebelumnya, saya minta maaf karena membuat kamu kebingungan, Rengganis. Saya memang memutar kembali waktu.”

Tenggorokan Rengganis tercekat saat dia bertanya, “Ke-kenapa?”

Senyuman membayang di wajahnya yang ganteng saat dia menjawab, “Karena saya ingin pertemuan kita menjadi pertemuan yang sempurna.”

*

Author’s Note: Penasaran dengan sosok Narendra, lelaki yang punya daya pikat dan aura magis ini?

Kira-kira siapa sih Narendra itu? Tulis tebakan kalian siapa sih sebenarnya sosok Narendra dari Pajajaran ini.

Kuy, ah dipenuhin kolom komentarnya, Mak!

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Haeriah To Dombiro
dunia magis kali yah,seru jg
goodnovel comment avatar
Titik Titik
dedemit kali yah semacam. genderewo
goodnovel comment avatar
Kikiw
yang jelas bkn manusia biasa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status