SUAMI WARISAN
09 – ORANG KAYA BARU
Jadi begini rasanya jadi Orang Kaya Baru.
Rengganis tersenyum dalam hati saat ia menerima pesan balasan dari Ibu Pemilik Kontrakan.
Makasih, Neng Anis, transferannya udah diterima. Silakan masuk lagi ke dalam rumah – Ibu Kontrakan.
Biasanya Rengganis memilih untuk masuk ke dalam rumahnya di malam hari, agar tidak ada tetangga yang melihat dan menyapanya. Tapi kali ini berbeda, ia bergegas pergi ke rumahnya dengan mengendarai sepeda motor baru.
Saat melaju di dalam gang sempit yang penuh dengan anak-anak yang bermain, Rengganis sedikit kesulitan mengendarai motornya, maklum masih baru, jadi masih kagok. Dia takut menabrak atau menggores motornya yang masih gres.
Bocah-bocah yang tidak punya tempat untuk bermain itu berlarian di sepanjang jalan sempit dan padat. Orang berjalan lalu lalang sementara Rengganis berusaha berkonsentrasi untuk berkendara. Ya ampun, hendak masuk ke dalam rumah kontrakannya saja susahnya minta ampun.
“Eh, Neng Anis! Baru pulang, Neng? Dicariin tuh sama si Ibu!”
Duh, Rengganis meringis di balik helmnya. Betuk badannya yang khas sangat dihapal oleh ibu-ibu gang sempit yang sudah mengenalnya selama tiga tahun mengontrak rumah di lingkungan itu.
Siapa juga yang tidak menyadari keberadaannya? Rengganis praktis menghabiskan jatah ruang untuk dua kali orang dewasa.
Belum sempat Rengganis menyahut sapaan tetangganya, ibu yang doyan gosip itu melanjutkan, “Wah, motor baru ya, Neng? Kinclong bener!”
Kali ini Rengganis menjawabnya dengan senyuman lebar dan balas menyahut, “Iya, dong, Bu. Alhamdulillah ada rejeki kebeli motor baru.”
Tidak berselera melanjutkan obrolan, Rengganis kembali melaju meninggalkan tetangganya. Dia berseru pada anak-anak itu, “Awas, awas! Mau lewat!”
Bagaikan Nabi Musa yang membelah Laut Merah, Rengganis meluncur membelah kerumunan anak-anak yang badungnya minta ampun itu. Jiwa mereka yang bebas dan hasrat untuk bermain terkendala oleh terbatasnya ruang bermain anak, tapi mereka tidak habis akal, gang-gang sempit yang berkelok-kelok di antara lautan gedung pencakar langit mereka jadikan tempat bermain; main bola sepak, lompat tali sampai petak umpet. Apa saja jadi, yang penting berkeringat dan teriak-teriak.
Kadang kala, saking berisiknya, Rengganis sampai harus mengungsi ke café untuk menyelesaikan gambar rancangannya. Pulang setelah diusir dengan halus oleh pelayan café, yang berdoa dalam hati semoga si Mbak gendut ini beli lebih banyak camilan di kemudian hari.
Tapi dasar Rengganis adalah seorang desainer yang bokek, dia hanya memesan segelas besar latte dan sepotong Tiramisu. Jika lapar, diam-diam dia akan mencuil potongan roti yang ia seludupkan di tasnya.
Ah, kalau diingat masa-masa suram itu Rengganis ingin menangis rasanya. Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Situasi keuangannya yang seringkali sulit kini bisa ia lewati. Buktinya, dia bisa melunasi utang-utangnya.
Sekarang dia bisa leluasa masuk ke dalam rumah kontrakannya tanpa rasa bersalah karena menunggak bayaran.
Malah, dia bisa melenggang dengan motor barunya.
Rengganis merasa sedikit lebih percaya diri saat ia memarkirkan motornya di depan teras. Dia menghembuskan napas puas sambil melepaskan helm-nya. Setelah mengaitkan helm di atas spion, tiba-tiba saja Rengganis terdiam.
Rasanya ada yang kurang.
Perasaannya mengatakan ada yang terlewat.
Tapi apa?
Rengganis mengecek perlengkapannya; tas, dompet, kunci, ponsel. Semua ada.
Lalu apa yang kurang?
Rengganis celingukan sendiri, mengamati dirinya sendiri. Tingkahnya yang seperti orang kehilangan sesuatu menarik perhatian orang yang lewat depan rumahnya.
“Neng, lagi nyari ape?” seorang ibu bertubuh gempal, hampir mirip dengannya, melongok dari balik pagar yang tingginya di bawah dagu.
Rengganis mendongak, “Oh, Bu Entun… lagi nyari yang enggak ada, Bu.”
“Lah?” Bu Entun yang campuran orang Betawi dan Sunda ini membelalakkan matanya, mendadak saja silau dengan kemilau motor baru Rengganis, “motor baru, Neng. Keren, tuh!”
Lagi-lagi Rengganis hanya bisa tersenyum, kedua tangannya sibuk menepuk-nepuk kantung celananya, memastikan ia tidak kehilangan sesuatu.
“Nyari kunci rumah, Neng? Tuh, ada di tangannya.” ujar Bu Entun yang berusaha membantu Rengganis pada misinya mencari sesuatu yang hilang.
“Oh,” Rengganis membuka telapak tangannya, dia menatap kunci itu dan tertegun.
Kunci rumah?
Rengganis menatap rumah kontrakannya. Sepertinya bukan ke sini seharusnya dia pergi.
Sumpah, suer, Demi Tuhan! Seharusnya dia tidak ke sini!
Tapi ke mana?
Sebuah suara menggema dalam ingatannya.
“Saya ingin pertemuan kita menjadi pertemuan yang sempurna.”
“Aaahhh…!” seru Rengganis keras. Bu Entun sampai terlonjak saking kagetnya.
Seraut wajah muncul dalam kepalanya, disusul kemudian kalimat yang samar-samar berdenging di telinganya.
“Saya juga tidak ingin situasinya seperti ini. Jadi lebih baik, kita ulangi sekali lagi.”
Kampret! Sialan!
Rengganis misuh-misuh dalam hati, ia bergegas memakai kembali helm-nya. Gerakannya yang buru-buru memundurkan motornya keluar dari halaman yang sempit – hanya sepetak tanah yang muat untuk satu buah motor – membuat Bu Entun jadi ikutan heboh.
“Eh, Neng, mau kemane? Bentar lagi Ashar!”
Ashar! Benar, kemarin dia sampai di lokasi sekitar Azan Ashar. Sekarang malah dia baru jalan pas Ashar.
Ah, benar-benar sial. Dia bisa kemalaman di jalan!
Rengganis menyalakan motornya, dia duduk di atas jok yang langsung melesak menahan beban berat badannya.
“Bu, saya jalan dulu, ya…! Salamlekum!” Rengganis melambai pada Bu Entun dan melajukan motornya kembali mengarungi lautan anak-anak di gang sempit itu.
“Eh, iya, Neng, ati-ati di jalan!” Bu Entun terbengong melihat tingkah tetangganya yang aneh itu. Beliau bergumam, “ah, padahal mau ngajakin makan seblak bareng!”
*
Bisa dibilang Rengganis telah resmi jadi Orang Kaya Baru berkat tambahan nominal di rekeningnya yang kini ikutan menggendut seperti tubuhnya.
Tapi saking iritnya, Rengganis belum berani untuk membeli mobil dengan uang warisannya. Lagipula dia belum punya SIM A.
Rengganis sudah cukup puas dengan kendaraan barunya. Motor keluaran terbaru yang ia pacu dengan kecepatan tinggi menyusuri jalan menuju perbatasan Bogor-Sukabumi.
Setengah perjalanan, perutnya berkeriuk minta diisi. Rengganis menepikan motornya di depan sebuah warung Mie Ayam. Dia mengecek jam tangannya, masih ada waktu untuk mengganjal perut. Semoga saja dia bisa sampai di rumah warisannya sebelum matahari tenggelam.
Tukang Mie Ayam menyambutnya dengan sukacita, “Pesen berapa mangkok, Neng?”
Rengganis duduk di salah satu kursi plastik dan menjawab sambil lalu, “Dua, Bang. Sayurnya yang banyak.”
“Ashiaaapp…!” Tukang Mie Ayam bergegas membuatkan pesanan bagi pelanggan barunya.
Sementara itu Rengganis membuka ponselnya. Matanya melirik penunjuk waktu, tanggal 5 jam 16.35 WIB.
Ih, tuh ‘kan bener. Balik lagi ke tanggal 5!
Ada apaan sih sama tanggal 5?
Nih cowok beneran psycho ya, sampai-sampai ngulang-ngulang waktu kaya orang kurang kerjaan! gerutu Rengganis sebal. Bisa kurus gue kalau diputer-puter begini!
“Mbak, mau minum apa?” pertanyaan dari asisten Tukang Mie Ayam mengagetkan Rengganis.
“Eh, ada apa aja?”
“Banyak, Mbak. Aer kobokan juga ada, hehe…”
Kurang ajar, hari ini nyebelin banget. Keluhnya dalam hati.
“Es campur ada?”
“Ada.”
“Jus jeruk ada?”
“Ada, dong!”
“Alpukat?”
“Kocok ‘pukat asooyy…!”
“Teh Botol?”
“Yuhu~”
“Ya udah deh, Es teh manis enggak pake gula!”
“Lah?”
“Bikin dua, ya!” perintah Rengganis sambil mengulum senyumnya. Rasain lu, emangnya enak dikerjain!
Tukang Mie Ayam ikut-ikutan terkekeh sambil menaruh semangkuk porsi Mie Ayam di meja depan Rengganis, “Yang satunya lagi mau pake ceker, Neng?”
“Pake dong, Mang!” seru Rengganis heboh, tangannya menarik sepasang sumpit dari baki sendok. Dia tersenyum senang saat mengaduk mie dengan limpahan potongan ayam yang aromanya menggugah selera.
Kali ini, Rengganis tidak akan mengirit. Khusus untuk makanan, dia tidak pernah bisa irit!
*
SUAMI WARISAN10 – Pertemuan yang SempurnaSenja kala turun perlahan, untaian kidung dari kicauan burung-burung yang terbang rendah dari satu pohon ke pohon lain membelai sukma.Mata Rengganis memandang berkeliling. Secara teknis, ini pertama kalinya ia melangkahkan kaki di rumah ini, tapi sebenarnya dia sudah pernah ke sini.Dua kali malah.Tapi setiap kali suasananya terasa berbeda; yang pertama terasa mencekam, yang kedua terasa membingungkan dan yang sekarang, dia berharap semuanya berjalan lancar kali ini.Rengganis mengalihkan pandang dari suasana di luar teras saat langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Punggungnya menegang, ditariknya tulang belakangnya hingga berdiri tegak.Rengganis bersiap-siap akan kedatangan orang itu.“Nyai.”Panggilan itu terdengar akrab di telinganya. Ini hari ketiga pengulangan waktu tanggal 5. Sekali lagi lelaki ini membawanya memutar waktu, ia akan mem
SUAMI WARISAN 11 – Rahasia Sehidup-Semati Sebuah kelebatan di halaman depan teras menarik perhatiannya. Narendra membuka matanya, kedua tangannya masih memegangi wajah Rengganis yang larut dalam ciuman mereka. Dia mengerjap dan bayangan itu menjelma menjadi seseorang. Narendra tersentak. Refleks, dia melepaskan ciumannya. Sebelah tangannya menarik Rengganis mendekat padanya dengan sikap protektif. Perempuan itu kaget saat Narendra menariknya ke dalam pelukan. Tangan Narendra yang besar dan hangat memegangi kepalanya. Walau kebingungan, Rengganis tetap tak bergerak, dia bisa merasakan perubahan atmosfer dalam ruangan, juga sikap dari Narendra. Semua otot-ototnya menegang, lelaki itu berdiri tegak dengan sikap sempurna. “Sampurasun ….” Tubuh Rengganis tersentak, semua bulu romanya menegang, jantungnya bertalu-talu di dada. Suara itu melayang memasuki gendang telinganya dan membuat semua sar
SUAMI WARISAN12 – Sang Manusia Abadi“Tunggu. Tunggu.”Rengganis mengangkat tangannya meminta time-out. Dia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponsel.Sial!Sinyalnya hanya ada dua bar.Rengganis mencoba membuka aplikasi mesin pencarian dan mengetik ‘Linggabuana Wisesa Kerajaan Sunda’Kakinya mengetuk-ngetuk lantai sementara ia menunggu website memuat hasil pencariannya. Matanya melirik Narendra yang terlihat tenang. Rengganis menggeleng-geleng sambil memegangi ponselnya erat-erat.Maksudnya lelaki ini datang dari masa lalu?Apa saat ini dia yang pergi ke masa lalu?Rengganis mengangkat kepalanya dan menoleh ke jendela. Senja sudah sepenuhnya turun, digantikan oleh pekatnya malam. Suara binatang malam sayup-sayup terdengar dari balik tembok. Semilir angin berhembus dari kisi-kisi jendela yang dibiarkan terbuka.Prabu Linggabuana
SUAMI WARISAN 13 – Kidung Sunda Setelah kenyang dengan bakakak ayam juga informasi yang mengejutkan dari Narendra, Rengganis terduduk di ruang baca yang lebih mirip perpustakaan. “Ini ruang kerja Nirmala.” ujar Narendra sambil menaruh segelas teh panas di atas meja. Iya, dia pernah ke sini sebelumnya. Rengganis mendongak, memerhatikan sekeliling. Sepanjang mata memandang, dia melihat deretan buku di mana-mana. Bau kulit sampul buku bercampur dengan kertas lama menggantung di udara. Menciptakan aroma nostalgia. Rengganis menghirup aroma itu dalam-dalam. Dia suka segala sesuatu yang punya nilai sejarah. Dia suka kain tua, perabotan tua, buku tua, lelaki yang lebih tua …. matanya mengerling pada Narendra. Lelaki ini jauh dari kata tua. Sama sekali tidak tua. Tidak ada kerutan, tidak ada gelambir, tidak ada uban. Tubuhnya tegap, kulitnya kencang, ototnya liat. Tidak akan ada yang menyangka kalau Naren
SUAMI WARISAN14 – Pesta DadakanSaat kaget, tubuh biasanya akan bereaksi dengan memunculkan gejala seperti jantung berdebar, keringat dingin, napas cepat dan pendek, mata terbelalak atau bahkan pingsan.Reaksi ini sekarang dirasakan oleh Rengganis. Tapi untungnya dia tidak sampai pingsan.Otaknya perlahan menyatukan puzzle-puzzle yang bertebaran, berusaha menyatukan keping demi keping puzzle menjadi gambaran yang jelas.Narendra dari Pajajaran adalah orang dari masa lalu; seorang patih di Kerajaan Sunda, seorang manusia yang bersemedi tapi tidak mencapai moksha, seorang lelaki yang bertanggung jawab atas kehidupan alam di sekitarnya. Gunung, sungai, danau dan hutan yang mengelilingi rumah ini berada dalam pemeliharaannya.Dia bukan sembarang manusia.Dia bukan seorang lelaki biasa.“Nyai.” Panggilan Narendra menarik Rengganis dari alam bawah sadarnya, dia mengerjap kaget, berjengit saat Narendra
SUAMI WARISAN15 – Tukang TipuTiga jam sudah berlalu, tapi para cewek-cewek ini belum ada tanda-tanda hendak pergi.Rengganis gemas, dia mengecek jam tangannya. Jarum jam menunjukkan hampir tengah malam. Musik masih berdentam dan mereka tidak berhenti mengoceh.Rengganis keluar dari kamarnya dan melihat pemandangan khas pesta anak muda. Musik disetel dengan volume keras, gelas-gelas minuman cola tersebar di mana-mana, mangkuk camilan, asbak rokok dan bungkus permen berantakan di atas meja.Beberapa orang duduk bergerombol; di ruang tamu, ruang TV, meja makan sampai dapur. Rengganis mencari-cari di sekeliling ruangan, tapi tidak menemukan Narendra sama sekali. Dia sampai pergi ke halaman belakang yang sepi. Tidak ada batang hidung sang Patih Kerajaan Sunda.Huh, Patih macam apa yang malah memanfaatkan anak-anak ingusan ini?Mereka harus segera enyah dari sini, pasti para orang tua mereka cemas anak gad
Suami Warisan 16 – Kehilangan Energi “Nyai, Nyai. Tolong dengar dulu ….” Narendra tergopoh-gopoh sambil meringis mengikuti langkah Rengganis yang berderap menuju ruang tengah. Sebelah tangannya memegangi selangkangannya yang masih berdenyut-denyut. “Nyai, maafkan saya ….” Rengganis menghentikan langkahnya tiba-tiba hingga Narendra hampir menabrak punggungnya. Untung saja lelaki itu cepat menahan langkahnya. Refleks, dia berdiri sambil menutupi selangkangannya dengan sikap protektif. Dia berdiri tegak, waspada terhadap amukan dari perempuan gendut yang punya stok kekuatan otot ini. “Kamu tau enggak apa sebutan bagi kelakuan kamu tadi?” tanya Rengganis sambil menyipitkan matanya. “A… pa?” tanya Narendra, dia sengaja mengedarkan pandangannya kecuali menatap Rengganis yang sepertinya semakin lama semakin menggembung oleh amarah. “Pedofil!” seru Rengganis keras membuat Narendra terlonjak dari posisinya. “Apa?”
Suami Warisan17 – Tur Rumah WarisanMeja makan sudah siap.Narendra sedang duduk menunggu di meja makan saat Rengganis datang ke ruangan.Dia tersenyum. Sudut matanya berkerut dan manik matanya bercahaya. Lelaki itu terlihat tampan dan segar.“Good morning,” sapa Rengganis sambil menarik kursi dan duduk, matanya memandang hidangan di atas meja. Saat ini dia cukup lapar, semalam energinya terkuras gara-gara marah-marah.“Silakan dicoba, Nyai.” ujar Narendra sambil mendorong piring-piring makan. Sarapan yang disediakan kali ini cukup sederhana; nasi uduk dan lauk pendampingnya.Tanpa banyak bicara, Rengganis langsung menyendok makanannya. Di dalam pikirannya, dia sibuk berpikir.Sementara Narendra ikutan sibuk mengintip isi kepala perempuan itu. Mereka makan dalam diam, sampai akhirnya Rengganis bergumam, “Siapa yang masak?”“Huh?” Narendra menoleh. Dia b