Share

BAB VII

Dengan perasaan berkecamuk di hati Brema, dia langsung memeluk Maria putri kesayangannya itu. 

Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Maria. Maria memotong urat nadinya. Dia mencoba untuk bunuh diri. 

"Pak Heri, cepat ambil mobil. Kita harus cepat-cepat pergi ke rumah sakit." Brema berteriak keras dan tanpa di suruh sekali lagi, pak Heri langsung turun. 

Brema menggendong tubuh tak berdaya putri semata wayangnya itu. Mama tiri Maria juga berlari di belakang Maria. Mereka semua panik.

"Bangun sayang, kamu harus kuat. Ada papa sama mama di samping kamu. Kami akan mendukung kamu sayang. Bangun. Kamu harus bertahan ya, sebentar lagi kita sampai." Brema menangis sambil menyentuh wajah cantik Maria. 

"Jika terjadi apa-apa sama Maria, saya tidak akan memaafkan kamu Reyhan." Brema mengutuk Reyhan, ingin sekali rasanya dia bertemu dengan anak itu  untuk memberikan pelajaran karena telah membuat Maria jadi seperti ini. 

"Maria, kamu gadis yang kuat. Kamu bertahan ya sayang." Mama tiri Maria juga tidak melepaskan tangan Maria. 

Sesampainya di rumah sakit, Brema langsung turun. 

"Dok, tolong putri saya dok. Dia kehabisan banyak darah. Tolong dok." Ucap Brema panik. Dokter yang berjaga juga ikut panik. Mereka semua mengenal keluarga Brema, donatur terbesar di rumah sakit ini. 

Mereka langsung membawa Maria ke ruang UGD. Sedangkan papanya terus menangis dan mamanya memeluk suaminya dan menenangkan Brema. 

"Sudah pa, kita banyak berdoa ya. Semoga Maria tidak kenapa-napa. Papa juga jangan sampai ikut sakit. Papa harus kuat demi Maria." Bujuk istrinya. 

"Om, tante. Maria kenapa? Kok bisa jadi kek gini?" Amel tiba-tiba datang. Air mata sudah membasahi pipinya. 

"Semua karena Reyhan Amel. Dia tidur dengan wanita lain dan mama Reyhan nyuruh Maria datang ke rumah Reyhan untuk menyaksikan itu." Mama Maria yang menjelaskan. 

"Terus keadaan Maria sekarang gimana tante?"

"Tante belum tau Mel, Maria masih diperiksa dokter di dalam."

Sekarang mereka semua saling terdiam dengan kekuatiran masing-masing. Mereka tidak menyangka gadis sehebat Maria bisa melakukan hal buruk ini. 

Dokter akhirnya keluar. Melihat dokter keluar, Brema langsung berdiri. "Bagaimana keadaan putri saya dok?" Tanya Brema dengan raut wajah penuh harap semoga Maria tidak kenapa-napa. 

"Kita sekarang banyak berdoa ya pak. Putri bapak mengalami pendarahan hebat. Kami masih berusaha keras untuk menolongnya. Dia belum sadarkan diri. Kita tunggu perkembangan selanjutnya pak. Sekarang Maria belum bisa dijenguk." 

"Ya Tuhan, Maria." Tangis Brema. 

Kata-kata dokter seketika membuat Brema lemas. Dia hampir terjatuh kalau saja istrinya tidak segera menangkap Brema. 

"Pa, kuat pa kuat." Pinta istrinya. 

Amel yang mendengar semua itu langsung berlari keluar. Dia mengambil ponselnya dan segera menghubungi Reyhan. 

"Reyhan bajing*n! Tega teganya kamu berbuat seperti ini sama Maria. Kalau ada sesuatu terjadi dengan Maria, jangan harap aku memaafkanmu. Dasar laki-laki murahan. Tidak punya harga diri. Kurang baik apa lagi Maria untukmu hah?" Amel memaki-maki Reyhan. 

"Maria kenapa Amel? Maria kenapa? Sekarang dia di mana? Tolong beritahu aku Mel. Tolong." Reyhan yang sudah menduga ini akan terjadi memohon pada Amel. Karena dari tadi dia mencoba menelepon lagi ke rumah Maria tidak ada orang yang mengangkat teleponnya. Sedangkan ponsel Maria selalu non aktif. 

"Untuk apa lagi kamu ingin tahu keberadaannya? Bukankah ini yang kamu mau? Kamu sekarang udah puas? Kamu tau apa kata dokter? Maria mengeluarkan banyak darah dan belum sadarkan diri. Baiklah Reyhan, sekarang kamu bisa tertawa puas udah buat sahabat aku hampir mati." Amel menangis dan langsung mematikan telepon nya. Dia tidak sanggup lagi berbicara pada Reyhan.

Dia muak dengar suara pria itu. Amel sangat menyesal merestui hubungan mereka dulu. 

"Halo Amel, Maria di mana? Di rumah sakit mana? Amel halo, tolong jangan matikan Amel." Dengan putus asa Reyhan terus berbicara walaupun dia tahu sambungan teleponnya sudah terputus. 

Reyhan segera mengambil kunci mobilnya dan membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia tidak peduli lagi seandainya akan terjadi kecelakaan. Dia merasa lebih baik mati daripada mendengar Maria mencoba untuk bunuh diri. 

Semua rumah sakit dijalaninya satu-satu. Tapi dia belum tahu keberadaan Maria. Reyhan terus mencari, berharap Maria ada disalah satu rumah sakit yang dia singgahi. Tapi hasilnya nihil, nama Maria tidak ada. Dia menyerah, tidak tahu harus berbuat apa lagi dan tidak tahu bertanya sama siapa lagi. Berkali-kali ponsel Amel dihubunginya, tapi sekalipun Amel tidak menjawab telepon dari Reyhan. 

Reyhan akhirnya pulang ke rumah. Dia mendapati mamanya sedang membaca novel dengan santai. 

"Dari mana nak? Kenapa wajahmu kusam gitu?" Tanya mamanya bertanya-tanya. 

"Tega mama lihat Reyhan seperti ini ya. Kebahagiaan Reyhan sekarang sudah hancur ma. Mulai sekarang terserah mama melakukan apa aja sama Reyhan. Sekarang Reyhan sudah menjadi boneka papa dan mama." Reyhan sekarang benar-benar putus asa. 

"Sayang, mama melakukan ini untuk kebaikan kita. Kamu tau kan perusahaan kita sekarang sedang di ujung tanduk. Kita harus melakukan ini Reyhan, supaya keluarga Aila bisa bantu kita memulihkan keadaan ini." Mama Reyhan juga menangis, dia sebenarnya tidak tega melihat kesedihan putranya itu. 

"Ma, Reyhan kan sudah janji akan cari jalan keluar untuk masalah ini. Kenapa mama tega menjebak Reyhan dengan tidur sama Aila ma? Dan mama juga nyuruh Maria datang ke sini. Di mana hati mama? Sekarang terserah kalian aja, hidup dan tubuhku sekarang bukan milikku lagi. Terserah kalian melakukan apa saja dengan tubuh hina ini." Raut wajah Reyhan benar-benar merasakan sakit yang teramat dalam. 

"Maafin mama Rey, jangan bicara seperti itu. Papa Aila megancam segera menjatuhkan perusahaan kita jika kamu tidak secepatnya menerima Aila." Mama Reyhan berusaha memeluk putranya itu. Tapi Reyhan menolak dan langsung pergi ke kamarnya. 

"Maria, apa yang kamu lakukan? Kenapa kami senekad ini Maria? Maaf, cintamu yang sebesar itu tidak bisa aku jaga. Aku benar-benar tidak berguna. Kalau ada apa-apa dengan Maria, lebih baik aku mati juga." Reyhan berbicara sendiri di kamarnya dan memeluk jaket Maria yang di pinjamnya saat berkunjung ke rumah Maria dan tiba-tiba hujan turun. 

Aroma tubuh Maria masih terasa di jaket itu. Menambah rasa rindu Reyhan terhadap Maria. Dia memeluk jaketnya erat sekali, seakan-akan itu adalah Maria kekasihnya. 

Reyhan malam itu tidak bisa tidur, dia masih kepikiran dengan Maria. Dia menunggu keajaiban, semoga ada seseorang yang mau memberikan kabar tentang Maria, walaupun dia sendiri tidak yakin. 

Papa Maria sengaja menyuruh rumah sakit untuk menyembunyikan identitas Maria pada orang lain. Orang-orang pasti heboh mengetahui Maria putri Darwin mencoba melakukan upaya bunuh diri karena seorang pria yang berselingkuh. Gosip akan cepat menyebar. Karena Darwin merupakan pemilik perusahaan terbesar di kota ini. 

Kecuali keluarga dekat dan juga sahabat Maria, yaitu Amel, tidak ada satu orangpun yang diperbolehkan masuk. 

Papa Maria juga tidak ingin Reyhan dan orang-orang yang berhubungan dengan Reyhan mengganggu putrinya dalam masa pengobatan. Kamar Maria saja di jaga oleh dua orang bertubuh kekar. 

Brema benar-benar kuatir dengan keselamatan putrinya. Seandainya dia bisa, dia ingin menggantikan posisi Shiren. Sepanjang hari ini, Brema terus menangis dan mengutuk perbuatan Reyhan. 

Dokter kembali keluar dari ruangan Maria. 

"Pak, sekarang putri bapak sudah sadar. Tapi kondisinya masih sangat lemah. Kalau mau masuk, tolong jangan berisik dan juga jangan tampak sedih. Supaya Maria jangan terlalu banyak pikiran, karena itu bisa mengganggu penyembuhannya."

"Makasih dok." Terpancar sedikit kebahagiaan di wajah Brema. Dia langsung sujud syukur mendengar kabar itu dan langsung menuju kamar Maria. 

Brema melihat Maria masih tertidur. Dia menghampiri ranjang putri kesayangannya itu. Sepanjang malam Brema terus di samping Maria dan memegang tangan Maria. Dia sangat takut kehilangan Maria. 

Maria akhirnya terbangun dari tidur panjangnya, dia melihat papanya tidur di samping ranjangnya dengan kepala tertunduk. Tangan kanannya menahan kepalanya sedangkan tangan kirinya memegang tangan Maria. Papanya pasti sangat capek satu hari ini terus menjaga Maria. 

Ada penyesalan di hati Maria. Sebelum mengiris tangannya tadi, dia tidak berpikir ada papanya yang selalu ada untuknya. Seandainya Maria meninggal, papa Maria pasti sangat sedih. Dan kemungkinan terburuk, papanya akan menyusul Maria. Membayangkan itu, Maria bergidik ngeri. Dia menggenggam tangan papanya. 

"Maria, kamu udah bangun sayang? Masih sakit sayang? Kamu harus kuat ya, jangan tinggalin papa. Kamu harus sembuh sayang." Brema terbangun saat dia merasakan tangannya di genggam oleh Maria. 

"Maafin Maria pa, Maria tadi gak berpikir panjang. Maria tidak mikirin papa sebelum bertindak tadi. Maaf pa, Maria menyesal. Maria sayang papa. Maaf, Maria udah buat papa sedih." Maria meneteskan air matanya. 

"Kalau kamu benar-benar menyesal, jangan lagi lakuin hal seperti ini lagi ya sayang. Papa benar-benar sedih. Seandainya bisa, papa mau menggantikan sakit yang kamu rasa." 

"Iya pa, Maria janji. Tapi pa, hati Maria masih sakit banget kalau ingat perbuatan Reyhan. Seperti ada ribuan paku menusuk hati Maria pa." Maria kembali mengingat pria yang telah membuat dia seperti ini. 

"Kamu sabar ya sayang, papa janji, semampu papa akan papa balas perbuatan mereka itu. Mereka tidak bisa merendahkan keluarga kita seperti ini. Mereka harus tahu keluarga Santoso sebenarnya. Pokoknya kamu harus sembuh. Papa akan bantu kamu." Mata Brema berapi-api mengatakan itu. Perasaan dendam tumbuh subur di hatinya. Tidak akan pernah dibiarkannya satu orang pun menyakiti hati Maria. 

"Makasih pa, papa selalu ada buat Maria." 

"Iya sayang, kamu segalanya untuk papa. Ya udah sayang, kamu istrahat lagi ya." Papa Maria mengelus lembut kepala anaknya itu. Akhirnya malam ini Maria bisa tidur nyenyak ditemani oleh papanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status