Bab 4 Jangan Jadi Wanita Lemah
Menjelang pagi, Arza belum juga pulang. Kemana dia? Atau aku sungguh telah membuat hatinya terluka? Mengapa dia berubah sensitif seperti itu sekarang.
Pagi harinya, mbok Jum seseorang yang ku percayakan untuk membantuku di rumah, sekalian menjemput anakku pulang sekolah telah tiba.
Sebelumnya, aku telah mempersiapkan perlengkapan sekolah mereka. Sehingga pada paginya, tidak lagi harus di sibukkan dengan cari inilah, itulah.
"Mbok, nanti Nadine minta tolong sama Mbok buat jemput si kembar seperti biasanya ya."
"Tentu, Nduk. Hehee seperti biasanya."
Bik Jum mengangguk tanda setuju.
"Eh iya, kemaren mbok liat Arza jalan sama Bu Zorah. Ih mesra banget lagi, eh maaf, Bu. Keceplosan."
Mbok Jum refplek menutup mulutnya. Mbok Jum memang begitu kebiasaannya. Bicara ceplas-ceplos. Tapi dia bukan pembohong.
"Emang mbok liat mereka di mana? tenang saja, saya tidak akan marah."
Kupikir, tidak ada salahnya mengorek informasi dari mbok Jum. Wanita paruh baya ini sudah ku anggap seperti orang tuaku sendiri. Karena memang dia adalah teman sekampung ibuku dulu. Tapi sayang nasibnya tidak sebaik nasib ibu. Jadi sudah tidak kuanggap orang lain lagi.
"Kemarin,Bibik ketemu mereka di supermarket. Bibik perhatikan mereka pegang-pegangan tangan gitu kan. Pokoknya iih. Kayak orang pacaran. Sebaiknya nduk menyelidiki Arza sama si Zorah deh. Jangan-jangan di antara mereka ada apa-apanya."
Pemikiran mbok Jum tidak salah, memang ada hubungan serius di antara mereka.
Untuk menenangkan pikiran, ku hempas tubuhku sejenak ke sofa, sambil menghela nafas berat.
"Maaf, Bu. Kalau ucapan saya tadi membuat Ibu terganggu."
Bik Jum datang menghampiri dengan muka bersalah.
"Tidak apa-apa, Bik. Saya tidak merasa terganggu kok."
"Kalau begitu, biar Bibi saja yang mengantar si kembar ke sekolah pagi ini."
Aku menganggukkan kepala. Biarlah pagi ini Bi Jum yang mengantar anak-anak kesekolah dengan sepeda motornya. Otakku sedang tidak bisa berpikir jernih.
Karena penat di hati, ku minta cuti hari ini. Ku buat alasan ada urusan mendadak di kampung. Alhamdulillah atasanku baik dan bisa menerima alasanku.
Jujur saja, ketika suami diketahui selingkuh, hanya Tuhan yang tahu bagaimana pedihnya perasaan. Teringat dulu ketika dia masih berprofesi sebagai karyawan biasa layaknya aku sekarang, dia merupakan sosok yang lumayan pengertian. Tidak terlalu egois seperti sekarang.
Perilakunya berubah setelah jabatannya naik. Mulai sering mengungkit-ngungkit.
Perubahannya semakin berubah drastis mulai beberapa bulan yang lalu. Keluar malam sudah seperti rutinitas. Apalagi ketika hari libur, ia enggan menghabiskan waktu bersama kami.
"Nggak usah terlalu di pikirin, Bu. Semangat dong."
Saking fokusnya dengan pikiran sendiri, jadi tidak menyadari kalau Bik Jum sudah pulang. Hubungan kami memang terkesan dekat. Layaknya hubungan ibu dan anak.
"Eeh iya, Mbok."
"Maaf ya, nduk kalau omongan mbok tadi membuatmu jadi murung. Mbok bukan bermaksud untuk membuat keadaan rumah tangga kalian keruh. Tapi mbok tidak tega jika kamu di sakiti oleh nak Arza, nduk."
"Tidak apa-apa Mbok. Nadine juga ada menaruh curiga sama mereka. Tapi untuk saat ini jangan membuat Arza tahu kalau kita sudah mencium permainannya ya mbok. Pokoknya bersikaplah seperti biasanya."
"Iya. Tapi nak Nadine harus hati-hati. Jangan sampai terlalu di buat seperti pelampiasan saja. Soalnya mbok udah pengalaman. Dulu suami mbok juga mengkhianati. Karena mbok terlalu mengalah, dia berhasil membawa semua harta dan uang yang ada bersama selingkuhannya. Sampai sekarang, tidak tahu lagi rimbanya. Makanya hidup mbok jadi kayak gini."
"Ternyata nasib mbok menyedihkan juga ya. Yang sabar ya mbok."
"Makanya nak Nadine tidak boleh lemah jadi perempuan."
"Iya mbok makasih nasihatnya. Sekarang Nadine permisi ke kamar dulu ya Mbok."
"Ya silahkan nak Nadine."
Aku melangkah gontai menuju ke kamar. Serasa tulang-tulang ini menjadi tidak berdaya. Aku menghempaskan bobot tubuh ini ke ranjang yang sudah jarang di gunakan untuk memadu kasih bersama Arza. Selama ini alasannya capek. Tapi sekarang aku tahu, bahwa dia malas melakukannya denganku tapi melampiaskannya dengan Zorah.
Setelah lama nerenungi nasib, aku mulai berpikir intuk diriku sendiri dan anak-anak.
Sudah dari kemarin aku menghabiskan pikiranku hanya untuk Arza dan mbak Zorah. Tidak ada hasilnya terus-terusan membuang waktu hanya untuk memikirkan pengkhianat. Mbok Jum benar. Aku tidak boleh lemah. Ada anak-anak yang lebih penting untuk di utamakan.
Mungkin juga Arza sudah tidak mencintaiku lagi. Soalnya kalau dia masih tulus mencintaiku, tidak mungkin dia berkhianat dengan kakak iparku sendiri.
Lihat bagaimana dia mengabaikan anak-anaknya sendiri. Seolah kami tidak ada tempat lagi di hatinya. Waktunya dia habiskan bersama mbak Zorah. Seperti yang ku dengar kemarin hari ini dia akan mengajak Zorah berlibur.
Artinya hari ini mereka sedang bersenang-senang menghabiskan kebersamaan. Kok aku malah mendekam di rumah, mogok kerja, dan hilang selera makan hanya gara-gara memikirkan mereka.
Bodohnya aku. Rela membuang waktu demi mereka.
"Bangun Nadine. Kamu tidak boleh lemah seperti ini."
Aku memberi semangat pada diri sendiri.
"Ingat masih ada anak-anak yang membutuhkan semangat dan kasih sayangmu. Jangan buang waktumu untuk manusia yang tidak memikirkanmu."
Kembali ku berkata pada diriku sendiri.
Aku bangkit dari tempat tidur. Dan kuhempaskan guling yang kupeluk sedari tadi. Sebuah sapu tangan yang sudah basah oleh air mata tadi ku hempaskan ke tong sampah.
Aku menuju ke kamar mandi. Membersihkan tubuh. Hari ini aku akan pergi ke salon. Memanjakan diri sendiri. Supaya tubuh ini fresh.
Selama ini aku bodoh telah memberi bantuan keuangan pada mbak Zorah dan Debbie. Mereka keponakan dan ipar yang tidak tahu balas budi.
Selama ini aku berusaha memenej keuangan untuk menunjang kehidupan mereka. Ekonomi mereka yang ku kira pas-pasan, beberapa bulan ini berubah drastis. Tahunya mbak Zorah mampu melakukan perawatan mahal.
Sedangkan aku malah lupa merawat diriku sendiri. Padahal walaupun terbilang masih karyawan biasa, aku masih mampu melakukan perawatan setara dengan perawatan yang Zorah lakukan.
Aku tidak mau lagi membuang airmata untuk perselingkuhanmu Arza. Aku harus kuat. Aku tidak akan hancur karena pengkhianatanmu Arza. Lihat saja nanti apa yang bisa ku lakukan untukmu.
Bersambung...
Benar sejak pergi sore kemarin, Arza tidak kunjung pulang. Ini sudah malam berikutnya dia belum pulang kerumah. Pernah kemarin ku hubungi sekali, nomornya sudah tidak bisa di hubungi. Barangkali memang dia matikan agar aku tidak mengganggu acaranya bersama Zorah. Ting... Gawaiku berbunyi menandakan adanya notifikasi pesan masuk. Ku cek, eh pengirimnya Arza. "Ma, aku pulang besok. Aku ada tugas yang belum selesai yang memaksaku keluar kota." Tugas luar kota? Tanpa membawa perlengkapan apapun? Tanpa pamit juga sebelumnya. Tidak apa, aku akan berusaha seolah percaya. Walaupun aku tahu dia sedang bersama Zorah di sana. "Oooh Mama kirain kemana Papa nggak pulang. Syukurlah kalau Papa baik-baik saja. S
Bab 6 Aku Tidak Bisa Berlemah-lembut Lagi Ku perhatikan hasil video di handphoneku tadi. Hihiiiw, usahaku berhasil. Rupanya Arza menggunakan sidik jari tengah tangan kirinya untuk membuka akses ponselnya. Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara dari gawainya. "Pokoknya aku tunggu malam ini sayang." Rupanya ada pesan suara. Walaupun tidak begitu jelas, tapi aku bisa menebak itu suara milik mbak Zorah. Arza terlihat celingak-celinguk, mungkin dia takut aku mendengar pesan suara tadi. Dengan cepat tangannya mengetik pesan di ponselnya. Sayangnya kameraku tidak bisa menangkap pesan yang dia ketik. Bagaimana caranya agar aku bisa tahu semua isi gawainya. Aku berpikir keras. Sebelumnya kus
Bab 7Langkah Awal Sesampainya di rumah kutaruh Apa yang kuberikan tadi ke dalam air minum yang memang disediakan di kamar kami. Sengaja aku taruh agak banyak. Agar fungsinya berjalan lebih baik. Lihat saja kau nanti Arza. Rasa sakit akibat di duakan, hanya orang yang pernah nerasakannya saja yang tahu akan bagaimana pedihnya. Tidak bisa di uraikan dengan kata-kata. Tapi dalam menghadapinya, aku bukan istri dengan tipe serangan membabi-buta, yaitu mengamuk tanpa ampun pada sang suami. Karena selain menguras emosi, tidak ada untungnya juga. Toh suami sudah tidak menyayangi kita lagi. Kalau dia masih menyayangi dan mencintai kita, dia tidak akan selingkuh. Aku lebih senang membalas perselingkuhannya dengan pelan tapi pasti. Belum lama setelah ka
Bab 8 Pesan Duo Pengkhianat Menjelang pagi, sengaja kusuruh mbok Jum hanya membersihkan rumah saja, tanpa memasak. Arza belum juga bangun. Biarin, mau dia terlambat ke kantorpun aku tidak peduli. Kuantar anakku ke sekolah. Kebetulan sekolah Divan dan Davin berada di arah yang sama dengan kantor tempatku bekerja. Buat bekal si kembar, kubelikan saja dua porsi ayam geprek kesukaannya. Sebelum meninggalkan anak-anak, ku kecup kening keduanya seperti biasanya. "Belajar yang rajin ya, jagoan-jagoan Mama." Aku tersenyum. Mereka mencium punggung tanganku. "Siap, Ma. Davin pasti belajar dengan tekun." Ujar Davin sambil menaruh tangannya di kening, seperti gerakan hormat di kegiatan Pramuka
Bab 9Penarikan Pertama. Sepulangnya dari kantor. Kususun sebuah strategi. Bagaimana caranya agar bisa menguasai kartu debit yang ada di dalam dompet Arza. Arza pulang ketika anak-anak sedang tidur siang. Wajah itu menatap jutek. "Ma, kau belum mengirim jatah buat Debbie dan ibunya." Baru saja pulang, sudah menanyakan uang buat Zorah. "Pa, uangku dikit. Seperti kau bilang, aku kan karyawan biasa. Mana ada punya cukup banyak uang." Aku berkata santai. "Jadi kamu menolak untuk memberinya uang bulanan buat mereka?" Dia memajukan wajahnya sedikit. "Bukannya saya menolak, Pa. Tapi memang seperti katamu, kalau gaji seorang karyawan biasa cuma cukup buat jajan anak-anak saja."
Bab 10Santai Saja Arza bangun dari tidurnya ketika matahari hampir terbenam di ufuk barat. Aku masih sibuk menemani anak-anak membereskan mainan-mainan mereka yang berserakan di depan televisi. setelah agak lama duduk di sofa, tanpa sedikitpun berbicara kepada kami. Anak-anak pun seperti luput dari perhatiannya. Arza bangkit lalu berjalan gontai menuju dapur. Tidak lama kemudian dia datang lagi dengan wajah penuh kemarahan. Ada apa dengannya? "Nadine kamu nggak pake masak? Lihat tudung nasi sampai kosong begitu. Apa kerajaanmu dari tadi? I cuma nyantai doang? Istri pemalas. Tidak kau pikir apakah suami sedang lapar? Suami capek-capek membiayai hidup kalian, pulang kerumah makanan tidak di sediakan....!" Untuk sejenak, sengaja kudiamkan Arza yang sedang marah tersebut meluapka
Bab 11Kedatangan Ibu Mertua Sejak pergi sehari yang lalu, Arza belum juga kembali pulang. Mungkin saja dia sungguh-sungguh mengajak Zorah kerumah mertuaku. Pertama aku harus menyiasati bagaimana caranya bisa memiliki rumah ini seutuhnya. Bukan jahat, tapi untuk memberi pelajaran untuk pengkhianat itu. Terlebih dahulu aku mesti berpikir bagaimana cara untuk mengalih namakan rumah ini atas namaku. Dalam masalah ini aku membutuhkan seorang pengacara yang handal. "Ma, apaan melamun terus yuk main bareng kita" Suara Davin membuyarkan lamunan. "Eh iya... Mari!" Kuikuti langkah kaki kedua si kembar.
Bab 12 Berkas Penting Aku menuju sebuah berkas yang sengaja kami gunakan buat menyimpan berkas-berkas penting. Ku pencet tombol-tombol angka. Sial brankas itu tidak bisa terbuka. Apa aku salah mengingat? Tidak mungkin. Ku coba lagi menekan kode angka numerik yang seingatku di pakai buat membuka brankas ini, tidak berhasil. Ini pasti ulah Arza. Aku berinisiatif melakukan sesuatu, agar bisa membuka brankas itu. Arza telah berlaku curang, menggantikan kode numerik brankas ini tanpa seizinku. "Nadine, ibu mau kepasar sebentar, tolong jangan suruh anak-anak bermain lalu membuat berantakan." Aku menoleh ke arah pintu. Terlihat kepala ibu mertua nongol di sana.