Share

Bab 6 Aku Tidak Bisa Berlemah-lembut Lagi

Bab 6 Aku Tidak Bisa Berlemah-lembut Lagi

   

     Ku perhatikan hasil video di handphoneku tadi. Hihiiiw, usahaku berhasil. Rupanya Arza menggunakan sidik jari tengah tangan kirinya untuk membuka akses ponselnya. Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara dari gawainya.

     "Pokoknya aku tunggu malam ini sayang."

     Rupanya ada pesan suara. Walaupun tidak begitu jelas, tapi aku bisa menebak itu suara milik mbak Zorah.

     Arza terlihat celingak-celinguk, mungkin dia takut aku mendengar pesan suara tadi. Dengan cepat tangannya mengetik pesan di ponselnya.

     Sayangnya kameraku tidak bisa menangkap pesan yang dia ketik. 

     Bagaimana caranya agar aku bisa tahu semua isi gawainya. Aku berpikir keras.  Sebelumnya kusuruh anak-anak untuk ke kamar mereka terlebih dahulu, untuk belajar sebelum tidur.

     Drrt...drrt..

     Gawaiku bergetar, ada panggilan masuk. Arza, buat apa dia masih menelponku.

     "Maaf ya, Ma. Papa akan pulang nanti, soalnya Papa sepertinya akan lama dikantor nih. Ada yang penting yang harus segera di tangani."

     "Jadi Papa pulangnya malem ya?" Pancingku.

     "Iya, mungkin bisa larut malam. Beginilah tugas seorang manajer, Ma. Selalu sibuk, dan harus selalu siap, tidak tahu itu siang ataupun malam."

     Ckckck...  Pintar kali kau berbohong, Bang.   Lalu siapa yang menunggumu tadi?  Bilang saja kalau kamu ingin menemui wanita pujaanmu itu. Eh iya pengkhianat mana mau mengaku.

     "Oh iya tidak apa-apa. Kalau..."

     Belum selesai aku bicara, telepon langsung di matikan.  Keterlaluan dia. Akan kucoba mengetes kejujurannya. Ku ambil kembali gawai yang sudah kuletakkan tadi. Membuka aplikasi hijau, mencari kontaknya dan menyentuh  panggilan video.

     Panggilan pertama tidak di angkat. Panggilan kedua pun sama.  Ku beranikan lagi untuk ketigakalinya.  

     Tuut... Tuut... Tuut...tidak di angkat juga.  Akhirnya panggilan itu dimatikan olehnya.   Huuuuuuh... Tentu saja dia tidak mau ketahuan kalau dia tidak sedang  bersama kliennya. 

     Coba saja kalau Arza berkata jujur, sudah pasti dia tidak akan segan-segan untuk menunjukkan bahwa dia sungguh-sungguh sedang berada di kantor.

     Drrrt... Derrrrt...

     Gawaiku bergetar. Ada panggilan masuk dari Arza. Langsung saja ku angkat.

     "Kamu kenapa sih, Ma. Sudah di beritahu kalau aku lagi sibuk bersama klien, masih saja main telpon-menelpon."

     Baru saja di angkat sudah marah-marah. Ooh jadi tanpa sengaja panggilanku tadi membuatnya marah.  Atau panggilan tadi mengganggu kebersamaannya bersama mbak Zorah?

     "Maaf, Pa. Tadi anak-anak rewel."

      Kubuat saja alasan seperti itu.

     "Anak-anak yang rewel kenapa  harus aku yang  kau telpon."

     "Maaf, Pa. Kalau tadi aku sudah mengganggu aktivitas kalian."

     Aku berusaha terdengar mengalah padanya.

     "Nah tuh tahu, kamu sebagai istri ngerti dikit dong, sama suamimu yang sudah berusaha payah mencari nafkah untuk kalian."

     Bersusah payah untuk kami? Arza, Arza. Untuk bulan ini saja kamu belum memberiku jatah bulanan. Padahal sudah lima hari tanggal gajianmu terlewatkan.

     Tidak mengapa, kuusahakan untuk tidak  membuat suasana kisruh sekarang. Walaupun perasaan sakit hati ini tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata.

     "Kalau anak-anak rewel, itulah gunanya kamu sebagai seorang ibu, harus bisa membujuk dan tidak harus merepotkan aku."

     "Pa, apa kamu lupa, kalau kamu adalah ayah kandung mereka? Seharusnya kamu tidak berkata seperti itu. Seolah menyerahkan tugas mendidik dan mengasuh mereka secara penuh padaku. Kamu juga punya tanggung jawab pada si kembar. Apa untuk sekedar bicara soal mereka saja, kamu sudah merasa di repotkan?"

     Sekuat mungkin aku masih berusaha untuk tidak terbawa emosi. 

     "Sudah pandai kamu menasehatiku? Haa? Aku ini seorang manajer tidak butuh nasehat seorang karyawan kecil sepertimu."

     "Aku tidak menasehatimu sebagai seorang manajer, tapi sebagai seorang ayah dari anak-anak." 

     Kali ini aku gagal untuk tetap bersabar. Nada suaraku sudah meninggi memenuhi ruangan kamar.

     "Kamu semakin membuatku bosan, Nadine. Berasa aku jadi malas untuk pulang."

     Suara garang dan semakin membuatku jijik menggema di ujung sana.

     "Terserah sama kamu. Mau pulang mau tidak aku tidak masalah."

     Aku menjawab tidak kalah sinisnya.

     "Oh jadi kamu merasa bisa berdiri sendiri tanpa peranku?"

     Pertanyaan Arza seolah menyindir bahwa aku tidak bisa hidup tanpa dia. Dia pikir siapa aku sekarang. Apa dia pikir aku terus-terusan hanya seorang karyawan kecil seperti yang dia ketahui selama ini?

     Kamu telah salah Arza, kamu tidak tahu apa jabatanku di kantor perusahaan tempatku bekerja sekarang.   Kamu salah jika selalu berpikir aku tidak punya kemampuan.

     "Berdiri sendiri tanpa kamu? Mengapa tidak." Aku menjawab pendek.

     "Istri durhaka, tidak bisa bicara sopan pada suami."

     "Terserah padaku. Mau sopan mau tidak bukan urusanmu."

    Tuut... Ku matikan langsung telepon itu. Malas berdebat lebih lama lagi. Laki-laki itu harus di beri pelajaran. Biar kapok. 

     Ting... Aku punya ide. Kulirik jam tangan melingkar di pergelangan tangan. Jam 08.00. masih ada waktu.

     Aku melangkah menuju kamar anak-anak.  Bagus mereka belum tertidur.

     "Ada apa, Ma?" Tanya Davin.

     "Kita pergi sebentar. Yuk sini Mama pakaikan jaket."

     Ku ambil dua jaket bermotif sama. Lalu memakaikannya ke tubuh kedua putraku ini.

     "Kita mau kemana, Ma."

     "Sudah ayo kita akan membeli mainan baru."

     "Horeee..."

     Mereka berteriak kegirangan. Tentu saja tidak kukatakan kemana tujuan sebenarnya.

     Ku keluarkan mobil yang tidak semahal milik Arza. Tapi walaupun begitu, mobil ini ku angsur dengan hasil keringatku sendiri.

***

     Aku memberhentikan mobil di depan sebuah klinik dan apotek milik Dea, teman seperjuanganku dulu. Memang Dea adalah seorang dokter muda yang merupakan lulusan terbaik di fakultasnya dulu. Sekarang dia sukses mempunyai klinik dan juga apotek sendiri. Dan itu masih buka di jam-jam seperti ini.

     "Eeh Nadine. Apa kabar ayo masuk dulu." Dea menyambutku hangat.

   "Tidak usah De. Aku ingin membeli sesuatu nih. Nggak bisa lama-lama. Soalnya anak-anak menunggu di mobil."

     "Ooh begitu. Kamu pengen beli apa.

     Ku bisikkan maksudku. 

     "Oke. Masih ada kok."

     Dea memberi apa yang aku inginkan. Setelah membayar totalnya, aku segera beranjak.

     "Makasih ya De. Saya pulang dulu."

     "Sama-sama."

     Setelah itu segera ku menuju parkiran mobil. Aku meluncurkan mobil menuju pusat perbelanjaan yang masih ramai di jam-jam segini. Dimana banyak para orang tua yang mengajak anak-anak mereka untuk menikmati berbagai permainan.

     Sebelum pulang, kuajak anak-anak bermain. Kurekam si kembar yang sedang kesenangan bermain. Kemudian ku apload ke media sosial.

     Tidak lama kemudian, terlihat sebuah notifikasi. Ada pesan masuk.

    "Buat apa mengajak anak-anak keluar di malam hari. Bermain nainan mahal begitu. Hanya menghabiskan uangku saja."

     Itu pesan dari Arza.

     "Uangmu? Kapan kamu memberiku uang bulan ini? Bahkan nyaris seminggu tanggal gajianmu lewat, kamu belum memberi uang sepeserpun."

     "Uang bulan kemaren kan masih ada, tuh buktinya masih bisa mengajak si kembar bermain mainan mahal, keluyuran dimalam hari. Ibu macam apa kau?"

     "Tidak usah banyak omong. Lagian aku tidak menggunakan uangmu."

     "Keterlaluan kau Nadine. Tunggu nanti aku pulang." Ancamnya.

     "Aku tidak peduli, mau kamu pulang atau tidak terserah."

     Kublokir nomornya untuk sementara.  Malas berbalas pesan dengannya. Lihat saja kau Arza akan kukorek rahasia di ponselmu malam ini...

Bersambung...

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
mantap nadine lanjutkan.........
goodnovel comment avatar
andre luis
lanjut nadine
goodnovel comment avatar
KΔ…ΕΎΔ™kΔ…gΓͺ ΕŒΔ‘
wow keren juga sh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status