Bab 8
Pesan Duo Pengkhianat
Menjelang pagi, sengaja kusuruh mbok Jum hanya membersihkan rumah saja, tanpa memasak. Arza belum juga bangun. Biarin, mau dia terlambat ke kantorpun aku tidak peduli.
Kuantar anakku ke sekolah. Kebetulan sekolah Divan dan Davin berada di arah yang sama dengan kantor tempatku bekerja.
Buat bekal si kembar, kubelikan saja dua porsi ayam geprek kesukaannya.
Sebelum meninggalkan anak-anak, ku kecup kening keduanya seperti biasanya.
"Belajar yang rajin ya, jagoan-jagoan Mama." Aku tersenyum. Mereka mencium punggung tanganku.
"Siap, Ma. Davin pasti belajar dengan tekun." Ujar Davin sambil menaruh tangannya di kening, seperti gerakan hormat di kegiatan Pramuka.
"Ayam geprek Divan mana tadi, Ma? Ntar Divan mau makan lhoo...." Celoteh Divan.
"Iddiiih isi otakmu ya cuma makan mulu sih." Davin menjewer telinga adiknya.
"Aduuuuh..." Divan mengaduh.
"Sudah... Sudah... Cepat menuju sekolah sana!" Aku melerai.
Terlihat mereka berkejar-kejaran menuju area sekolahan sambil tertawa-tawa. Melihat mereka bahagia, hati ini ikut merasa bahagia.
Walaupun Arza menyakiti hati, aku masih punya anak-anak yang canda tawanya bisa membuat perih hati sedikit terobati.
Mobil kukemudikan pelan menuju ke kantor.
"Selamat pagi Bu Manajer...."
Sapa salah seorang karyawan yang datang lebih awal.
"Pagi jugaa. Wah cepet banget datengnya, ngalahin ibu manajer nih." Balasku ringan.
Memang sebulan yang lalu aku naik jabatan. Aku dipercaya untuk menduduki posisi manajer, sama seperti jabatan Arza di kantornya. Aku memang belum sempat bercerita dengannya, karena dia selalu sibuk dan tidak mau diganggu.
Kejutekannya membuatku enggan untuk bercerita akan karirku. Jadi sampai saat ini dia hanya menganggapku sebagai karyawan biasa.
Aku selalu berusaha bekerja sebaik mungkin. Berkat keuletanku lah, aku menduduki posisi manajer.
Pada waktu jam istirahat, ku buka laptop yang terhubung dengan handphone Arza. Huiih deretan pesan menjijikan menyambutku.
"Maaf, sayang. Mas nggak bales pesan kamu semalam. Soalnya Mas kecapean dan tertidur maaf ya."
Masmu bukan ketiduran deh Zorah. Melainkan memang dia habis meminum obat tidur yang ampuh.
"Mas banyak alasan." Pesan balasan dari Zorah.
"Demi Tuhan, Mas nggak bohong sayang. Pagi ini saja, Mas terlambat datang ke kantor, kesiangan. Nadine sialan itu tidak membangunkan. Malah ketika mas bangun, dia dan anak-anak sudah tidak ada lagi. Makanya baru sempet bales pesen kamu sekarang. Please jangan marah sayang."
"Ya nggak papa deh kalau gitu. Mas besok anterin Zorah ke butik yang kemarin itu mau nggak?"
"Aduh gimana ya sayang karena beberapa hari tidak masuk kerja ditambah lagi hari ini kesiangan. Kerjaan mas jadi numpuk nih."
"Lah kalau gitu dimana Zorah mau beli pakaian model terbaru itu? Modelnya Bagus banget, mas. Rugi nggak beli. Kalau terlambat nanti bisa-bisa keburu habis deh."
"Kan udah Mas kasih kartu debit ke kamu, sudah mas bilang kamu bebas buat memakainya untuk apapun yang kamu suka."
"Kartu debit yang Mas kasih kemarin masih berada dalam dompet Mas. Kemarin setelah membeli dompet baru Zorah lupa mengambil kartu itu dari dompet Mas."
"Lah kok bisa. Oh iya Mas lupa. Ya udah ntar malam Mas anterin. Jangan lupa kalau Mas datang malam nanti, dandan yang cantik ya. Emmmmuach...."
"Oke sayang. Itu sudah pasti deh. Emang mas pernah ngelihat aku jelek mirip ondel-ondel kayak Nadine istrimu itu."
Di belakangku Arza dan Zorah menganggap aku begitu rendah, bodoh, kayak ondel-ondel, dan cupu. Orang seperti mereka berdua harus diberi pelajaran supaya mereka tahu siapa yang bodoh.
"Alah kamu nggak usah banding-bandingin kamu sama Nadine. Kamu nggak sebanding sama dia. Nanti juga dia pasti akan kuceraikan. Dan aku akan menikahimu."
Pesan balasan Arza teramat menyakitkan hati. Tapi aku tahu kesabaran yang tinggi tentu sangat dibutuhkan untuk menghadapi mereka. mereka tidak perlu dihadapi dengan serangan langsung. Aku akan menyusun sebuah strategi untuk membuat mereka berbalik menjadi lebih rendah daripada anggapan mereka terhadapku.
"Jangan bohong, Mas. Kutunggu perceraian kalian secara resmi. Nggak tahan juga lama-lama nyumput-nyumputin hubungan kita."
Zorah, istri mendiang bang Ramond menunggu perceraian kami. Bagus sekali balasannya atas kebaikanku selama ini.
"Istrimu itu keterlaluan, Mas. Bulan ini dia belum memberiku uang seperti bulan-bulan sebelumnya."
Hahaa dia menanyakan pemberianku? Jangan harap aku akan memberimu uang setiap bulan seperti biasanya Zorah.
"Jangan khawatir sayang, nanti Mas yang akan menagihnya. Kamu tahu Nadine itu selalu menuruti apa saja yang ku perintahkan. Bahkan nanti Mas akan paksa dia buat memberimu lebih, sebagai balasan atas keterlambatannya."
Arza, Arza. Kau pikir aku ini kerbau yang di colok hidungnya? Lalu menuruti setiap kemauanmu. Coba saja nanti.
"Beneran ya, Mas. Soalnya, pemberiannya lumayan juga buat pesen makanan sampe seminggu."
"Iya Mas janji deh. Wanita cupu itu pasti akan menurut. Kalau tidak Mas bisa paksain dia."
"Tapi Mas harus hati-hati. Jangan sampai kelakuan Mas membuatnya curiga dengan hubungan kita. Pokoknya sebelum kalian resmi bercerai, usahakan hubungan kita tidak ketahuan. Aku nggak mau lho di labrak sama wanita dungu seperti dia. Kamu tahu sendiri, kalau perempuan dungu mengamuk kan? Nggak rela deh muka glowingku tergores sama kukunya."
Panjang sekali Zorah mengetik pesan seperti itu. Aku bukan perempuan sembrono yang sedikit-sedikit mau melabrak. Tak ada gunanya kalian ku labrak. Kalian tetaplah pengkhianat. Pantasnya kalian di balas dengan kenyataan pahit. Sabar Zorah, nanti kamu akan merasakannya.
"Tenang saja kalau dia berani menyakitimu, Mas akan turun tangan. Lagian beberapa hari ini tingkahnya semakin membuat Mas muak dan bosan."
"Memang dia kenapa, Mas?"
"Dia sudah berani melawan jika dibilangi. Sudah tidak becus jadi istri, membosankan juga."
"Kalau begitu kenapa nggak mas tampar ajah tuh muka kreseknya. Atau ceraikan ajah langsung."
"Sabar dulu, biarlah dia bertingkah dulu. Beberapa waktu kedepan, tingkahnya itu akan mas jadikan alasan untuk menceraikannya."
"Oh iya bagus juga rencanamu, Mas. Memang istri nggak becus pantas untuk di singkirkan."
"Dan mas akan menggantikannya denganmu. Emmuuach...."
"Aaah... Nih Zorah jadi rindu dan kangen sama mas."
Kali ini Zorah mengirimkan pesan suara. Nadanya di buat semanja mungkin.
"Sabar sayang... Malam nanti kita ketemuan kok. Kita nginep di hotel ajah ya. Biar lebih asyiik."
Iiih jijiknya mendengar suara Arza. Selanjutnya mulailah mereka berbalas-balas pesan suara yang menjijikkan dan penuh n*fsu.
Malas mendengar suara-suara memuakkan mereka. Kututup aplikasi pesan itu.
Akan ku buat mereka merasa jauh lebih bodoh dan lebih buruk. Tunggu saja tanggal mainnya. Sekarang berbuatlah sesuka hati. Berselingkuh lah sampai puas, takkan ku larang itu. Meski hati istri mana yang tak sakit di khianati seperti ini. Dengan kakak ipar pula. Akan kubalas sakit hati ini dengan yang lebih pahit.
Dengan niat Arza untuk menceraikan aku, aku harus menyiapkan diri menghadapinya. Nanti bukan dia yang akan menceraikanku, tapi istri cupunya ini yang akan menggugat cerai duluan.
Satu pesan chat mereka tadi yang ku ingat, kartu debit yang Arza beri ke Zorah masih tertinggal di dompet Arza. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Sebelum Arza mengantarkam kartu itu ke Zorah nanti malam.
Tidak sia-sia menyadap handphone Arza. Banyak informasi penting yang berhasil ku ketahui.
Apakah aku jahat? Terserahlah, siapapun yang beranggapan demikian, aku tidak bisa menyalahkan. Yang jelas sakit hati ini akibat perbuatan merekalah yang melatarbelakangi niat ini.
Bersambung...
Bab 9Penarikan Pertama. Sepulangnya dari kantor. Kususun sebuah strategi. Bagaimana caranya agar bisa menguasai kartu debit yang ada di dalam dompet Arza. Arza pulang ketika anak-anak sedang tidur siang. Wajah itu menatap jutek. "Ma, kau belum mengirim jatah buat Debbie dan ibunya." Baru saja pulang, sudah menanyakan uang buat Zorah. "Pa, uangku dikit. Seperti kau bilang, aku kan karyawan biasa. Mana ada punya cukup banyak uang." Aku berkata santai. "Jadi kamu menolak untuk memberinya uang bulanan buat mereka?" Dia memajukan wajahnya sedikit. "Bukannya saya menolak, Pa. Tapi memang seperti katamu, kalau gaji seorang karyawan biasa cuma cukup buat jajan anak-anak saja."
Bab 10Santai Saja Arza bangun dari tidurnya ketika matahari hampir terbenam di ufuk barat. Aku masih sibuk menemani anak-anak membereskan mainan-mainan mereka yang berserakan di depan televisi. setelah agak lama duduk di sofa, tanpa sedikitpun berbicara kepada kami. Anak-anak pun seperti luput dari perhatiannya. Arza bangkit lalu berjalan gontai menuju dapur. Tidak lama kemudian dia datang lagi dengan wajah penuh kemarahan. Ada apa dengannya? "Nadine kamu nggak pake masak? Lihat tudung nasi sampai kosong begitu. Apa kerajaanmu dari tadi? I cuma nyantai doang? Istri pemalas. Tidak kau pikir apakah suami sedang lapar? Suami capek-capek membiayai hidup kalian, pulang kerumah makanan tidak di sediakan....!" Untuk sejenak, sengaja kudiamkan Arza yang sedang marah tersebut meluapka
Bab 11Kedatangan Ibu Mertua Sejak pergi sehari yang lalu, Arza belum juga kembali pulang. Mungkin saja dia sungguh-sungguh mengajak Zorah kerumah mertuaku. Pertama aku harus menyiasati bagaimana caranya bisa memiliki rumah ini seutuhnya. Bukan jahat, tapi untuk memberi pelajaran untuk pengkhianat itu. Terlebih dahulu aku mesti berpikir bagaimana cara untuk mengalih namakan rumah ini atas namaku. Dalam masalah ini aku membutuhkan seorang pengacara yang handal. "Ma, apaan melamun terus yuk main bareng kita" Suara Davin membuyarkan lamunan. "Eh iya... Mari!" Kuikuti langkah kaki kedua si kembar.
Bab 12 Berkas Penting Aku menuju sebuah berkas yang sengaja kami gunakan buat menyimpan berkas-berkas penting. Ku pencet tombol-tombol angka. Sial brankas itu tidak bisa terbuka. Apa aku salah mengingat? Tidak mungkin. Ku coba lagi menekan kode angka numerik yang seingatku di pakai buat membuka brankas ini, tidak berhasil. Ini pasti ulah Arza. Aku berinisiatif melakukan sesuatu, agar bisa membuka brankas itu. Arza telah berlaku curang, menggantikan kode numerik brankas ini tanpa seizinku. "Nadine, ibu mau kepasar sebentar, tolong jangan suruh anak-anak bermain lalu membuat berantakan." Aku menoleh ke arah pintu. Terlihat kepala ibu mertua nongol di sana.
Bab 13 Mertua Cerewet "Halo..." Aku angkat telepon dari bik Jum. Aku heran mengapa dia menelepon di jam kerja, padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. "Halo nduuk, mungkin saya tidak bekerja lagi di rumahmu nduuk." Suara bik Jum terdengar sedih. Ada apa dengannya? Kok mengatakan tidak bekerja di rumahku lagi? "Kenapa mbok? Kok ngomongnya begitu?" "Bu Meri sudah memecat saya tadi. Dia mengusirku pulang Terpaksa aku menurutinya." aku terkejut mengapa ibu memberhentikan bik Jum tanpa konfirmasi dulu padaku. Padahal dia sudah bekerja dengan ku sejak lama. Beberapa hari yang lalu dia juga mengusir Bik Yah. Yang ku mintai pertolongan untuk mencabut rumput rumput yang tumbuh didalam pot bunga di halaman yang jumlahnya tidak bisa dikatakan
Bab 14 Menemui Pengacara Hampir setengah jam, baru mobil memasuki kawasan kompleks perumahan elit milik Aleena. Memang jarak rumahnya dari rumahku lumayan agak jauh. Tiin... Tiin... Kubunyikan klakson. Tidak perlu lama menunggu, dari dalam rumah seorang wanita muda, seumuran denganku keluar menghampiri. Dia memberi isyarat kepada satpamnya untuk segera membukakan gerbang untukku. "Hai Nadine. Kamu udah sampai rupanya. Yuk masuk dulu. Nih di rumah saya sendiri anak-anak di rumah neneknya." Sambut Aleena. Aleena adalah teman akrabku sejak masa sekolah hingga sekarang. Bersama kami sering berbagi cerita. "Jadi kamu ingin menemui Pak Richardo pengacara langgan
Bab 15 Rumah Tangga Tak Lagi Bermakna "Ya pak." Jawab ku terbata karena merasa takut. "Ini ya klien yang ingin menemuimu Ricardo?" Pak George menoleh kearah Pak Ricardo. Tapi Pak Ricardo malah melirik ke Aleena, mungkin meminta jawaban dari Aleena. Karena aku minta tolong padanya melalui temanku itu. "Ya benar Pak dia yang ingin meminta bantuan bapak untuk menyelesaikan masalahnya." Aleena memberi penjelasan. Kedua pria itu mengangguk. "Wanita ini tidak asing. Dia adalah Nadine manajer di perusahaan ku." Suara pak George malah melemah dan terdengar ra
Bab 16 Datangnya Pembantu Baru Ku lihat Arza sedang terlelap, rupanya jebakanku berhasil. Pengaruh obat tidur itu ampuh juga. Sementara Arza sedang terlelap, aku mengambil ponselnya. Dengan cepat kutempelkan jari tengahnya untuk membuka kunci layar ponsel tersebut. Setelah itu aku mengakses m-banking nya. Mengirimkan sejumlah uang yang lumayan banyak ke rekeningku, lalu menghapus histori transfernya. Beres. Dengan tersenyum puas, kuletakkan kembali ponsel itu ke tematnya semula. "Kamu tidak mau memberiku uang Arza. Jadi terpaksa uangmu kurampas. Hehee" aku membatin Seorang pria yang berlaku curang, harus ku balas dengan cara licik pula.