Share

Bab 2

"Mama …." Aku tersentak ketika gadisku memanggil namaku. Ia dengan sigap mengusap air mataku. 

"Mama kenapa nangis?" tanyanya.

"Mama …  hanya ingat, Nenek, Sayang," jawabku seraya menyentuh pipi dan mengecup keningnya. Terima kasih Allah, telah memberiku putri yang cantik dan berkelakuan baik. Semoga sifat baiknya tetap melekat dalam dirinya. 

"Ma, ada karyawan baru. Anak-anak bilang, wajahnya mirip Rara. Mana mungkin, Ma? Beda emak, beda Bapa bisa mirip. Hahhaah." Rara tertawa.

"Ada-ada saja mereka, Ma," lanjutnya.

"Siapa namanya?" Tanyaku penasaran.

"Dila, Ma. Anak baru. Katanya si anak pemilik perusahaan. Tapi angkuhnya itu nauzubillahi minzalik. Sombong," grutunya.

"Oh iya, nanti malam aku datang ke acara Pak Adrian pemilik perusahaan, Ma. Dia merayakan kelulusan anaknya. Habis wisuda katanya," ucap Rara meminta ijin.

Baru saja aku memikirkan laki-laki brengsek itu. Ternyata ada juga nama yang mirip orang itu di kota ini. Semoga saja tidak berkelakuan sama.

Sudah 20 tahun, bahkan aku masih mengingatnya dan tidak mencari penggantinya. Ya, aku tidak ingin menikah lagi dengan siapapun. Toh, umurku juga sudah mulai tua sekarang. 

***

Malam yang ditunggu anakku pun telah tiba ....

"Ma, bagaimana penampilan, Rara ini? Sudah oke kah?" tanya gadisku saat baru saja keluar kamar. Ternyata diamnya dari tadi di kamar tengah berhias. Memang sudah dewasa, namun entah kenapa aku masih saja menganggapnya remaja. Meski begitu, Rara tidak tumbuh menjadi gadis yang manja.

"Cantik dong, Sayang. Siapa dulu? bidadari, Mama!" Penampilannya kali ini memang terlihat berbeda. Dres warna putih yang ia kenakan begitu cocok di tubuhnya. Rambut panjangnya yang lurus, tergerai begitu indah. Bila aku memandang fisik putriku, ia terlihat sempurna. Namun, entah, bagaimana kisah percintaannya nanti. Tapi doaku, semoga tidak mendapat seorang suami yang berkelakuan seperti Ayahnya.

Berbicara soal suami, aku baru sadar, ternyata gadisku sebentar lagi akan menikah, meski belum tahu kapan waktunya. Yang pasti, dia telah dewasa. Bagaimana aku mengatakan pada Ayahnya nanti? Setelah bertahun-tahun, aku menghilang, tiba-tiba memintanya untuk menikahkan putriku. Apa ia bersedia?

"Mama ini, akhir-akhir ini bengong terus. Kenapa sih, Ma?" tanya Putriku bergelayut manja dipundakku. 

"Ma, lagi mikirin cari pendamping, ya?" godanya.

"Apaan sih kamu, Dek. Mama itu tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Tahu kenapa?" Putriku menggeleng. 

"Bagi, Mama, menikah itu cukup sekali. Dan lagi pula, Mama sudah punya kamu. Kamu itu, permata yang paling berharga untuk, Mama. Jadi selama ada kamu disisi, Mama, itu semua sudah cukup. Mama hanya ingin menyaksikan kebahagiaanmu kelak."

"Tapi, Ma …  Mama masih muda. Mama pasti butuh pendamping. Rara tidak keberatan kalau memang, Mama mau menikah lagi," ujarnya. Aku hanya menggeleng dan mencium tangannya. Tidak pernah terpikir olehku untuk menikah lagi. 

"Oh, iya, kapan Mama mau ajak Rara ke kuburan, Papa?" tanyanya mampu membuatku tersentak. Astagfirullah, aku memang mengatakan bahwa Ayahnya sudah meninggal. Tapi, sepertinya aku sudah tidak bisa menutupi sebuah kebohongan lagi. Karena pada akhirnya dia pun akan tahu kebenarannya.

"Nanti lah, Dek. Lagian, kuburan Papa jauh, Rara tolong mengerti, Mama. Kalau Mama pulang kesana, otomatis kembali teringat, Papa dan Nenek." Aku masih berusaha untuk berkilah.

"Oke, baiklah, Mama." Rara terduduk sambil memainkan ponselnya. 

"Lho, katanya mau pergi ke acara pemilik perusahaan? Kok malah santai. Berangkat-lah supaya tidak terlambat," ucapku.

"Rara tunggu jemputan, Nando, Ma." 

"Oh. Oke." Aku kembali diam. Memainkan ponsel untuk membalas chat pelanggan yang memesan pakaian untuk dikirim besok.

"Ma!"

"Hum!" 

"Mama waktu nikah sama, Papa umur berapa tahun, Ma?" tanyanya. 

"20 tahun, Sayang. Kenapa bertanya seperti itu?"

"Tidak apa-apa hanya ingin tahu umur, Mama. Kenapa masih cantik saja di usia yang menginjak kepala 4. Hamil aku saat umur berapa, Ma?" Dia kembali bertanya.

"Mama saat hamil kamu usia 23 tahun. Saat usia kehamilan mama menginjak 3 minggu, Papa meninggal." Kebohongan terus yang aku ceritakan pada putriku. Sebenarnya aku merasa bersalah. Hanya saja aku belum berani untuk berkata jujur.

"Papa meninggal berarti sudah sekitar 20 tahun ya, Ma? Seusia aku?" tanyanya lagi sambil mata terus terfokus ke layar ponsel.

"Iya, Sayang…." Putriku itu memang cerewet.

"Ternyata hari ini hari ulang tahun pernikahan bosku yang ke 20 tahun, Ma. Ini kali pertama aku melihat langsung pemilik perusahaan yang katanya mirip aku. Hahahaha." Rara bercerita sambil tertawa. Aku hanya menggelengkan kepala.

"Mentang-mentang namanya sama dengan nama, Papaku, masa ia wajahku dibilang mirip beliau. Mungkin yang melihat bisa saja sakit mata," ucapnya lagi. Namun, aku lebih memilih diam tidak menjawabnya.

Tin… Tin ….

Terdengar suara klakson motor dari luar, mungkin teman Rara sudah datang

"Ma, aku berangkat dulu. Nando sudah di depan," pamitnya. Rara mencium punggung tanganku dan berlalu.

"Hati-hati, Dek!" teriakku.

"Iya, Ma!" jawabnya.

Aku jadi merasa penasaran dengan Adrian bos anakku itu, kenapa bisa kebetulan begitu? Hari ini hari ulang tahun pernikahannya yang ke 20, bertepatan dengan 20 tahunnya pernikahan Mas Adrian dan Tania. Semoga saja bukan mereka. Nama Adrian itu banyak, bukan hanya nama mantan suamiku. Aku masih mengingat jelas wajah tampannya, juga pengkhianatan-nya, apa mungkin dia juga masih mengingatku?

Ting … Ting …!

Notif ponselku membuyarkan lamunan. Segera kubuka pesan itu. Dari Rara rupanya. Rara mengirimkan sebuah foto dengan seorang gadis seusianya. Wajahnya terlihat manis dan memang mirip dengan, Rara. Jangan-jangan  kembaran Rara yang tertukar.

[Ma, apakah wajahku dan wajah anak, Pak Bos memiliki kemiripan?] Emot tawa yang menampilkan gigi rata ia tambahkan.

[Ia … mirip, Sayang. Mungkin kembaran kamu yang tertukar] balasku dengan menambah emot tawa terbahak.

[Ma, ternyata Dila ini sangat ramah. Aku salah menilai dia. Katanya mau main ke rumah kita, Ma.] 

[Boleh, Sayang. Ajak saja.]

[Oke, aku lanjutkan acaranya dulu, Ma. Oh iya, ternyata bos Rara itu sangat baik. Hanya saja istrinya sedikit jutek. Rara langsung akrab dan merasa nyaman, Ma. Kayak Papa sendiri.] balasnya lagi. Aku hanya tersenyum dan tidak lagi membalasnya. Syukur, kalau bosnya baik.

Ternyata tinggal hanya berdua dengan Rara dan tak punya sanak saudara rasanya begitu sepi. Anehnya, kesepian ini kurasa saat Rara sudah mulai bekerja. Biasanya dia menonton TV sambil memainkan ponselnya. Sedangkan aku sibuk mempacking pesanan pelanggan. Kalau sekarang, Rara sering berpergian karena harus menghadiri acara-acara kantor.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Merssy Pali
ceritanya bagus kak..lanjut..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status