Sudah jam 23.00 malam, kenapa Rara belum juga kembali. Mataku juga sudah mulai mengantuk. Kucoba menghubungi ke nomor ponselnya tidak aktif. Membuat diriku merasa panik. Apalagi dia anak perempuan. Kebetulan aku memiliki nomor Nando, segera ku-hubungi ponsel Nando.
"Allhamdullillah, terhubung." "Halo Asalamualaikum." Terdengar suara Nando di seberang telepon."Walaikumsalam, Nando. Allhmdullillah diangkat.""Iya, ada apa, Tante?" tanyanya."Nan, apa kamu masih sama, Rara? Kok sudah jam sebelas malam masih belum pulang ya? Tante khawatir," jawabku. Bukan apa, sebab Rara anak perempuan. Jadi wajar kalau aku sebagai Ibu sangat mengkhawatirkannya."Waduh, aturan udah pulang diantar sama anak, Pak Adrian, Tante. Tadi acaranya juga selesai pukul 22.00," pungkasnya.
"Ya Allah, kemana ya? Tante panik, Nand. Takutnya Rara dan anak Pak Adrian kenapa-kenapa. Sebab sudah larut malam begini," ucapku cemas. Ada rasa mau minta tolong diantar kembali ke tempat acara tadi. Siapa tahu Rara masih di sana."Tante, tenang dulu ya. Apa kita coba susul ke rumah, Pak Adrian?" tawarnya. Tanpa menolak aku pun segera mengiyakan. "Ya udah, Tante tunggu di depan rumah. Sepuluh menit lagi, Nando sampai," ucapnya seraya memutuskan panggilan. Segera aku pun meraih kerudung dan memakainya.⭐⭐⭐⭐"Asalamualaikum, Tante. Ayok naik," ajak Nando. Aku mengangguk dan segera duduk di atas motornya. "Hati-hati, Tante," ucap Nando karena posisiku duduk menyamping."Iya, Nand. Terimakasih banyak sudah mau antar Tante ke rumah Pak Adrian. Lagipula kan ini juga menyandung anak beliau. Takutnya kenapa-kenapa karena mereka anak perempuan.""Iya, Tant. Nando paham kok." Allah, waktu sudah semakin malam. Semoga tidak terjadi apapun dengan gadis semata wayangku itu. Sungguh aku tidak siap kalau Rara sampai kenapa-kenapa. Hanya dia satu-satunya yang kupunya. Harta yang paling berharga sehingga membuatku mampu melanjutkan hidup.⭐⭐⭐Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Nando menghentikan motornya di depan rumah besar. Aku pun turun karena Nando bilang kami telah sampai. Aku biasa saja melihat rumah sebesar ini, karena dulu pun aku pernah tinggal di rumah yang lebih besar. Hanya saja, justru rumah itu seperti neraka yang akhirnya mampu menyiksa hatiku sampai saat ini. "Permisi, Pak!" teriak Aldo. "Iya, ada apa?" tanya Satpam rumah yang bernama Yanto. "Saya mau menanyakan keberadaan, Rara. Apa masih ada di sini, Pak? Sebab belum sampai di rumah. Katanya tadi mau diantar pulang boleh anak Pak Adrian," jawabku pada Satpam itu."Silahkan masuk." Pak Satpam membukakan pintu gerbangnya, aku dan Nando pun melangkah masuk.
Sampai di depan pintu yang cukup besar, Nando menekan bel rumah. Allah, jantungku berdegup begitu hebat. Semoga Putriku ada di sini."Siapa?" Teriak suara perempuan dari dalam. Suara itu, suara dua puluh tahun yang lalu. Mungkinkah dia? Ah tapi tidak mungkin."Siapa sih, Ma. Bertamu malam-malam! Buka, Ma," balas seorang laki-laki. Suara itu seperti aku pernah mendengarnya. Suara yang juga tak asing di telingaku. Sejenak dengkulku melemas, jantungku semakin berdegub cepat tak beraturan.
Krek!Bola mataku membulat ketika melihat seseorang yang membuka pintu. Gemetar seluruh tubuhku saat kembali lagi melihatnya setelah bertahun-tahun ….Allah, apa aku mimpi? Kuperhatikan sejenak wajah mereka. Ternyata aku tidak bermimpi, mereka memang Mas Adrian dan Tania. Astagfirullah, Astagfirullah, astagfirullah …. Menangis hati ini saat melihat mereka kembali. Allah, ternyata mereka semakin sukses. 'Jangan menangis, Lirna. Jangan menangis. Kamu harus kuat. Jangan teteskan sedikitpun air mata di hadapan mereka. Tapi, bagaimana? Allah, tubuhku bergetar. "Mbak Lirna?! Ngapain kamu disini, Mbak?" tanya Tania ketus. Sementara pria di sampingnya tengah menatapku. Aku yang sadar hal itu memilih menunduk. Takut kalau sampai air mata terjun dengan begitu bebasnya. Ya Allah, sebenarnya hatiku ingin sekali menjerit. Menangis sejadinya menyebut namamu agar hatiku menjadi tenang. Tania ternyata masih mengingatku. Entah kalau Mas Adrian. "Aku mencari, Rara!" "Rara siapa kamu, Lirna?" tanya Mas Adrian. Aku harus jawab apa? "Ma," ucap Rara menghampiriku.
POV ADRIAN "Mama, Pak Adrian, kok jalan kaki?" tanya Rara. Aku tersenyum lalu duduk di kursi kayu yang ada di depan teras rumah. "Saya ambilkan air minum ya, Pak," tawar Rara, aku pun mengangguk dan tersenyum. Sementara Lirna masih terdiam. Wajahnya begitu enggan menatapku. Seandainya dia tahu kalau aku sangat merindukannya. Ternyata kesalahanku dua puluh tahun yang lalu masih belum bisa menghilangkan rasa bencinya terhadapku. Tidak lama, Rara datang dengan empat cangkir teh hangat beserta sepiring pisang goreng. Pisang goreng makanan favoritku, Rara tahu saja. "Loh, semalam ini kok ada pisang goreng hangat?" tanyaku saat Rara meletakan-nya di meja. "Iya, Pak. Tadi Rara sengaja bikin sama Nando. Buat menyambut kedatangan, Bapak yang mau singgah ke rumah kecil Mama dan Rara," ucap gadis manis berlesung Pipit itu. Aneh memang saat ada karyawan kantor yang bilang dia sangat mirip denganku. Awalnya aku tidak percaya, namun saat mel
POV ADRIAN "Nando, terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah." Aku mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan untuk Aldo. "sama-sama, Pak. Saya ikhlas kok nganterin Bapak tidak usah pakai beginian segala, beneran saya ikhlas,Pak," tolak Nando. "Ambil saja, Nan. Ini untuk kamu. Uang saya banyak, ngasih kamu segitu tidak akan habis," godaku. "Udah ambil saja!" Aku terus memaksa sehingga Nando pun mengambilnya dengan terpaksa. "Terima kasih, Pak. "Kalau begitu saya pamit pulang duluan." "Iya, hati-hati di jalan!" Setelah motor Nando tidak lagi terlihat aku pun langsung masuk. Kebetulan Pak Yanto sudah membukakan pintu gerbang. "Pak! Ibu sudah menunggu dari tadi, baru saja masuk ke dalam," ucap Yanto-satpam di rumahku. "Ya Pak Yanto. Jangan lupa gerbangnya dikunci," titahku. "Siap, Pak!" balas Yanto. Bar
"Nando," panggilku saat tiba di ruangannya. "Iya, Pak." "Kamu tahu dimana, Rara?" Nando hanya menggeleng. Sial! Jangan sampai Lirna kembali memisahkan aku dengan Rara. Segera aku pun bergegas keluar kantor. Sampai di luar, aku langsung menaiki mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi. "Semoga kalian masih ada di sana!" lirihku sambil terus fokus berkemudi. Dua puluh menit kemudian aku telah sampai di depan rumah Lirna. Keadaan begitu sunyi. Jantungku berdegup, apa mereka akan kembali pergi dariku? Segera aku pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Sudah beberapa kali aku mengetuk hingga jariku memerah tapi tidak ada yang membuka pintu. Frutasi aku rasanya. Baru saja bisa melihat mereka setelah sekian lama. Tapi kini harus kembali kehilangan. Aku masih belum beranjak dari pintu rumah Lirna. Aku masih menyandarkan tubuhku di sana. Terduduk lemas sambil terus menjambak rambutku. "Kamu ngapain disini?" Aku
" apa yang harus aku katakan pada seorang penghianat? Apa yang harus aku katakan pada seorang Ayah yang tega menyakiti hati ibuku? Kau tahu, Pak Adrian? Ibuku berjuang mati-matian untuk membesarkanku!" "Jadi maksud kamu, kamu sudah tahu siapa Saya?" "Saya sudah tahu kalau anda adalah seseorang yang membuatku terlahir di dunia ini. Seseorang yang yang mampu membuat hati ibuku terluka begitu hebatnya!" "Sekarang tolong anda pergi dari sini! Kami tidak membutuhkan keberadaan anda! Ataupun belas kasihan dari anda! Dari dulu saya dan ibu saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda! Sekarang saya mohon anda pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi kemari. Bagi kami, anda sudah tiada, Pak Adrian. Anggap saja anda tidak pernah berhubungan dengan orang seperti kami. Kami tidak akan mengusik keluarga anda, begitupun sebaliknya!" tegas Rara membuatku tak mampu berbicara. "Pak Adrian yang ternyata Ayah saya, s
POV Rara "Walaikumsalam," ucap Mama bergegas. "Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa buka
POV Tania. "Papa kemana, sih, Ma? Katanya mau ke kantor, Dila tungguin nggak ada, Papa itu datang, Ma," kesal putriku sambil melempar tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa. "Capek ya, Sayang?" tanyaku. "Capek banget, Ma," jawabnya. Kasihan memang putriku yang cantik ini harus kelelahan mengurus kantor. "Tadi itu, Papa bilang sama Mama mau ketemu teman bisnis. Rekan bisnis Papa. Ada acara peresmian kantor. Mereka bilang sih,,,," Aku tidak melanjutkan ucapanku agar Dila penasaran. Dila itu putri kesayangan kami. Ya, meski suamiku itu memiliki anak dari mantan istrinya, dia seakan tidak peduli dan lebih perhatian pada putriku. Jelas aku tahu, sebab apapun yang ia punya, pokoknya semua yang ia miliki, semuanya untuk Dila. Sudah hampir dua minggu belakangan ini, sejak pertemuan dengan anak dan mantan istrinya, Mas Adrian terlihat biasa saja. Tidak ada kesedihan
"Ma, Rara risih sama pelanggan yang pake jas hitam gagah tinggi itu," ucapku pada Mama. Bagaimana tidak, kalau pemuda itu diam-diam memperhatikan aku yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan pelanggan. Alhamdulillah warung pecel ayam kami selalu ramai pengunjung. Terlebih saat kantor baru itu buka hari ini, pas jam makan siang sangat ramai dan membuatku super sibuk. Seperti siang ini tentunya, yang satu ruangan hampir penuh dengan para karyawannya. "Yang mana?" Mama bertanya sambil celingukan mencari pria itu. "Mama! Jangan tengak-tengok begitu. Itu yang dipojok," ucapku. "Oh, ganteng ya, Ra," ucap Mama. "Mungkin memperhatikan kamu karena pesanannya belum diantar, Ra. Jadi jangan ke-GR-an," ucap Mama. Sumpah menohok banget. "Ya sudah, ini kamu antar pesanan dia." Aku pun segera mengantarnya. Aduh, baru kali ini ketemu pelanggan perasaan aku dag dig dug tak karuan. "Permisi, pesanannya,"