Share

Bab 4

Allah, apa aku mimpi? Kuperhatikan sejenak wajah mereka. Ternyata aku tidak bermimpi, mereka memang Mas Adrian dan Tania. Astagfirullah, Astagfirullah, astagfirullah ….

Menangis hati ini saat melihat mereka kembali. Allah, ternyata mereka semakin sukses. 'Jangan menangis, Lirna. Jangan menangis. Kamu harus kuat. Jangan teteskan sedikitpun air mata di hadapan mereka. Tapi, bagaimana? Allah, tubuhku bergetar.

"Mbak Lirna?! Ngapain kamu disini, Mbak?" tanya Tania ketus. Sementara pria di sampingnya tengah menatapku. Aku yang sadar hal itu memilih menunduk. Takut kalau sampai air mata terjun dengan begitu bebasnya. Ya Allah, sebenarnya hatiku ingin sekali menjerit. Menangis sejadinya menyebut namamu agar hatiku menjadi tenang. Tania ternyata masih mengingatku. Entah kalau Mas Adrian.

"Aku mencari, Rara!" 

"Rara siapa kamu, Lirna?" tanya Mas Adrian. Aku harus jawab apa? 

"Ma," ucap Rara menghampiriku. 

"Mama, maafin aku. Harusnya aku menghubungi Mama kalau pulang terlambat, tapi Handphone, aku tercebur di kolam renang. Mati deh," ucapnya polos. 

"Mama?!" tanya Tania dengan mata menyipit dan kening mengkerut.

"Iya, Tante. Ini Mamaku. Mama sekaligus Ayah untukku. Aku bangga mempunyai, Mama. Meski tanpa, Papa, Mama telah berhasil membesarkan-ku," ucap Rara memegang kedua bahuku. Mungkin dia tidak mengerti kalau Mamanya kini tengah terluka.

"Memang, Papa kamu kemana?" tanya Tania lagi.

"Papa sudah meninggal 20 tahun yang lalu. Saat aku baru berusia 3 Minggu di dalam kandungan. Nama Papaku juga Adrian, Tante," jawab Rara penuh senyum. 

"Ayo, Sayang kita pulang," ajakku. 

"Tante, biar Dila antar ya?" Tiba-tiba anaknya datang menawarkan.

"Tidak usah, Dek. Kami pulang sendiri saja," tolakku halus. Meski orang tuanya sangat kubenci, tapi anaknya tidak bersalah.

"Tapi ini sudah cukup malam," ujar Mas Adrian. "Biar kamu aku yang mengantar. Lagi sudah tidak ada kendaraan," lanjutnya. Bagaimana ini? Jijik sih aku kalau dia yang mengantar. Aku masih terdiam.

"Mas, kalau Mbak Lirna tidak mau kamu antar pulang, biar saja dia pulang sendiri! Repot-repot amat!" ucap Tania dengan nada suara yang ketus.

"Tante Tania kenal sama, Mamaku?" Rara melontarkan tanya. Tania hanya terdiam. 

"Ayok biar aku yang antar. Nando kamu boncengin Rara. Biar Mamanya saya yang mengantar pulang," perintah Mas Adrian.

"Baik, Pak. Ayo, Ra." ujarnya. Rara mengangguk dan langsung beranjak ke motor bersama Nando. "Mama, aku duluan!" teriak Rara. Aku mengangguk.

Seperginya Rara dan Nando. Aku melangkah pergi dari rumah besar itu dengan berjalan kaki sambil mencari taksi yang lewat. Tidak peduli meski hari sudah malam, aku enggan untuk diantar oleh Mas Adrian. Wah, ternyata hidup mereka lurus saja. Mereka bahagia, apa keduanya tidak terbayang rasa bersalah? Jalan hidupku juga lurus, dan aku hidup bahagia bersama Rara. Tapi, luka dua puluh tahun itu masih terasa melekat. 

Bertemu Mas Adrian setelah dua puluh tahun itu, rasanya sesuatu banget. Ada senang dan juga ada sedihnya. Senang bisa melihatnya kembali, tapi sedih karena mereka semakin bahagia dan hidup semakin sukses seperginya aku. Aku jadi merasa bahwa diriku seperti tidak memiliki tempat sama sekali dalam hati Mas Adrian dan Tania. Meski bagaimanapun, bukankah aku dan Tania sempat dekat dan juga sempat tumbuh dewasa bersama? Dalam satu rumah dengan kasih sayang dari Ibu yang sama.

"Lirna!" Sebuah tangan menarik tanganku membuatku berhenti. Aku tahu siapa yang menarik tanganku, Mas Adrian ….

Aku tetap diam tanpa melihat ke arahnya. Kutahan nafas yang naik turun, sambil melepas tanganku dari cengkraman-nya. 

Mas Adrian turun dari motornya. Sementara aku terus melanjutkan jalanku. 

"Lirna! Lirna! Tunggu!" Dia kembali menarik tanganku lagi. Hingga aku pun kembali menghentikan langkahku. 

"Apa, Mas?" 

"Naik! Biar aku antar. Ini sudah malam." Wajahnya terlihat mengkhawatirkanku.

"Apa pedulimu meski hari sudah malam?!"

"Naik! Jangan mendebatku cepat!" bentaknya. Aku masih enggan dan memilih untuk tetap berjalan kaki. Mas Adrian terus mengejarku. "Kamu masih sama seperti dulu. Keras kepala!" teriaknya. Aku tidak peduli dan tidak menanggapinya.

"Ayolah, naik aku lelah mengejarmu. Ternyata Lirnaku masih sama. Lirna yang keras kepala dan teguh pada pendiriannya." Mas Adrian terus berbicara meski aku tak menanggapinya. Ternyata berjalan pada saat emosi tidak ada rasa lelah sama sekali. Selain itu, langkah kaki juga terasa lebih cepat. Tidak peduli seseorang yang mengejar bahkan merasa kelelahan.

"Rara itu anakku kan?" tanyanya. Aku diam saja. "Kalau kamu diam, berarti benar kalau Rara itu anakku bukan?" lanjutnya.

"Halo! Kamu jemput motor di pinggir jalan Delima. Kuncinya juga masih tergantung!" ucap Mas Adrian. Mungkin dia berbicara di ponsel.

"Sekarang aku bisa mengantarmu meski berjalan kaki. Jalan kaki berdua kamu itu rasanya sangat indah. Aku merindukan kamu, Lir!" 

"Adakah setitik rindu untukku?" Entah kenapa, aku lebih memilih diam dan enggan menyahuti ucapannya. Terserah dia mau berbicara apa, aku tidak peduli.

Sepertinya dia lelah berbicara, hingga akhirnya pun dia terdiam juga. Meski beberapa kali dia berdehem, aku masih tidak terpengaruh. Akhirnya, perjalanan pulang ke rumah pun dilalui dengan keheningan tanpa saling berbicara. Ponsel Mas Adrian beberapa kali berdering, namun dia tidak mengangkatnya. Setelah itu tidak ada lagi suara dering ponsel, mungkin dia mematikannya.

Langkah kaki mulai lelah, jarak ke rumah masih sekitar lima belas menit-an lagi. Kalau aku berhenti karena kelelahan, nanti Mas Adrian menertawakanku. Ku-lanjutkan terus langkahku. Kali ini dengan langkah yang lebih santai asal bisa sampai.

"Kamu lelah, Lir?" Aku masih diam. Aku tidak perlu berbicara dengan orang itu. 

"Lirna! Aku akan memberitahu Rara, kalau dia anakku. Malam ini juga!" tegasnya. Aku berhenti dari rumah yang jaraknya kurang 5 meter lagi.

"Yakin sekali kalau, Rara itu anakmu!" balasku!

"Papa Rara meninggal 20 tahun yang lalu. 20 tahun yang lalu, aku memang meninggalkan-mu untuk menikahi adikmu! Jadi saat itu kamu sedang hamil? Usia Rara dan Dila bahkan tidak berbeda jauh! Hanya beda beberapa bulan. Dan Rara bilang, nama Papanya Adrian! Kamu tidak bisa mengelak! Kamu tidak berhak memisahkan seorang Ayah dengan anaknya! Dan lagi pula, Rara itu perempuan! Dia membutuhkan wali untuk menikahkan-nya nanti. Camkan itu!" Mas Adrian pun berlalu hendak menghampiri Rara yang sudah menunggu di depan pintu bersama Nando.

"Mas Adrian!" panggilku. Dia berhenti dan menoleh ke arahku.

"Mas kenapa usia Dila lebih tua dari, Rara?" tanyaku. Mas Adrian terdiam. 

"Itu karena, Dila anak haram! Bagaimana kalau gadis itu tahu, kalau dia lahir dari hasil perzinahan orang tuanya? Kasihan sekali... oh iya, kamu jangan lupa, kalau mau memberi tahu kebenaran ini pada Rara, ceritakan juga sejarahnya!" ucapku seraya beranjak darinya.

'Mungkinkah dia akan menceritakan kebenarannya pada, Rara? Aku tidak peduli dia akan bercerita sendiri atau tidak, toh kebenarannya Rara memang akan mengetahuinya….'

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Idah Faridah
pngen nampek raimu Andrian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status