Share

Bab 5

POV ADRIAN

"Mama, Pak Adrian, kok jalan kaki?" tanya Rara. Aku tersenyum lalu duduk di kursi kayu yang ada di depan teras rumah.

"Saya ambilkan air minum ya, Pak," tawar Rara, aku pun mengangguk dan tersenyum. Sementara Lirna masih terdiam. Wajahnya begitu enggan menatapku. Seandainya dia tahu kalau aku sangat merindukannya. Ternyata kesalahanku dua puluh tahun yang lalu masih belum bisa menghilangkan rasa bencinya terhadapku.

Tidak lama, Rara datang dengan empat cangkir teh hangat beserta sepiring pisang goreng. Pisang goreng makanan favoritku, Rara tahu saja.

"Loh, semalam ini kok ada pisang goreng hangat?" tanyaku saat Rara meletakan-nya di meja.

"Iya, Pak. Tadi Rara sengaja bikin sama Nando. Buat menyambut kedatangan, Bapak yang mau singgah ke rumah kecil Mama dan Rara," ucap gadis manis berlesung Pipit itu. Aneh memang saat ada karyawan kantor yang bilang dia sangat mirip denganku. Awalnya aku tidak percaya, namun saat melihatnya langsung, dan dia berjejeran dengan Dila, wajah mereka berdua bak pinang dibelah dua. Hanya saja Dila tidak memiliki lesung Pipit. Sedangkan Rara sama sepertiku. Ya, setiap inci wajahnya, hampir sama denganku. 

"Dimakan, Pak Adrian," ujar Rara. Aku pun meraihnya. Sangat enak dan masih rasa yang sama. Setiap gigitan, mampu membuat tenggorokan-ku tercekat. Gigitan yang mengingatkan dengan kejadian dua puluh tahun silam. Sejujurnya, aku sangat sedih melihat keadaan mereka yang sangat sederhana. Rumah mereka kecil, meski sangat nyaman. Tidak ada kendaraan terparkir. Aku mengingat bagaimana kehidupan Lirna saat berjuang tanpa aku di sampingnya. Bagaimana cara dia bertahan hingga memiliki seorang putri dan membesarkannya sendiri. Wanita hebat ….

 Dering ponsel begitu mengganggu, Tania terus menghubungi, tidak bisakah dia bersabar memberi waktu sebentar? Bukankah waktuku selama ini kuhabiskan bersama mereka? Karena sedikit kesal, aku pun mematikan ponsel.

"Kenapa tidak diangkat, Pak?" tanya Rara.

"Tidak apa-apa, Ra. Tidak penting juga," jawabku. Nando tersenyum. Sementara Lirna masih terdiam. Sebenarnya aku ingin sekali mengajaknya berbicara. Tapi mulut ini berat sekali untuk menyapanya. 

Aku ingin memberi tahu pada Rara kalau aku ini Papanya, masih hidup dan belum meninggal. Semua yang Lirna ceritakan adalah sebuah kebohongan. Namun, kenapa berat sekali mengatakannya.

"Silahkan kalau kamu berani mengatakan kamu Ayah, Rara! Tapi kamu juga katakan alasan sebenarnya! Kenapa umur Dila lebih tua dari Rara? Dila itu anak haram! Bagaimana kalau sampai gadis itu tahu? Bagaimana perasaannya?" Ucapan Lirna kembali terngiang di benakku.

Dila bukan anak haram. Usia Dila juga lebih muda dari Rara. Apa Lirna mengira kalau Dila itu anak yang tengah di kandung Tania saat itu? Kalau saja Lirna tahu anak itu sudah tenang di sisi Yang Kuasa. Ini tidak bisa dibiarin, Dila tidak terlibat apapun dengan kejadian ini atau bahkan masa lalu kami. Ayah mana yang terima anaknya disebut anak haram? Tidak akan ada orang tua yang rela anaknya disebut anak haram meski oleh orang yang dikenal sekalipun.

"Maafkan … Papa, Nak. Karena masa lalu Papa, orang yang sekian lama menghilang tiba-tiba dengan penuh keyakinan diri menyebutmu anak haram.

Hari itu, Lirna tidak menghadiri acara pernikahanku dengan Tania meskipun kami telah memberikan undangan untuknya. Aku memaklumi, karena Ibu Lirna baru saja meninggal. Entah saat itu terbuat dari apa hatiku hingga tega membiarkannya sendiri menangis meminta tolong tapi aku justru pergi mengabaikannya.

Awalnya aku tidak ingin terburu-buru menikah, hanya saja Tania mengancam akan menggugurkan anak yang dikandungnya jika aku tidak secepatnya juga menikahinya. Akhirnya, aku pun melangsungkan pernikahan itu, tepat sehari setelah mertuaku meninggal, dan saat aku ingin mengucapkan ijab kabul, tiba-tiba Tania mengeluh sakit perut hebat. Aku dan orang-orang yang hadir merasa panik, terlebih saat melihat darah keluar begitu deras. Bisik-bisik orang saat itu terdengar begitu jelas di telingaku. "Hamil duluan, keguguran. Seharusnya, kalau sedang hamil jangan menikah! Dimana ya, istri Pak Adrian?" Begitulah yang orang-orang katakan meski lirih. Belum lagi yang langsung meremehkan dan menatap hina pada kami.  

Aku … bila mengingat kejadian itu sungguh malu luar biasa. Sebanyak itu orang yang hadir, tidak ada yang membantuku. Akhirnya, aku pun membopong Tania ke mobil, untuk membawanya ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, dokter mengatakan Tania keguguran. Akhirnya, pernikahan pun kami tunda sampai keadaan Tania berangsur normal. 

Kabar Tania keguguran, sampailah pada ketua RT, sehingga Pak RT dan beberapa warga pun datang menghampiri kami dan menanyakan kebenarannya. Pak RT yang kenal dengan Lirna pun menanyakan keberadaannya. Tania memberi tahu pada Pak RT kalau Lirna tidak akan pernah kembali ke rumah ini. Dia juga mengakui kalau habis keguguran, dan memberi tahu kalau kami akan menikah. Alhasil, kabar ini kembali beredar di lingkungan. Mereka menyebut Tania pelakor. Setiap bertemu Tania memandang rendah, membuat aku dan Tania jengah sehingga memutuskan untuk pindah dari lingkungan yang warganya paling cepat menyebar gosip. 

Gosip yang mengatakan kalau Tania itu pelakor. Haruskah Tania yang disalahkan? Kalau aku pun mau melakukannya. Perselingkuhan ini terjadi bukan karena Tania merebutku dari Lirna. Tapi, karena aku pun memiliki ketertarikan pada Tania dan aku juga mencintainya. Perselingkuhan ini terjadi karena datangnya perasaan suka yang tiba-tiba. Lalu, aku memupuk, menimbunnya dan terus memikirkan dia, berniat untuk sekedar iseng, ternyata justru menjeratku dalam rasa yang terlarang, dan ternyata setan juga mendorongku hingga akhirnya, terjadilah hal yang tidak diinginkan. Anehnya, saat Lirna tidak mengetahui hubungan kami, perselingkuhanku dan Tania seakan menjadi candu tersendiri hingga sulit untuk melepaskan dan terasa ingin memiliki sepenuhnya.

"Pak Adrian, Pak!" Nando menepuk pundakku. Ternyata aku hanyut dalam ingatan masa lalu.

"Eh … maaf, maaf," ucapku. 

"Wah, Bapak melamunkan apa? Sampai pisang goreng yang dipegang hanya disentuh satu gigitan,"  ucap Rara. Aku hanya tertawa sebagai jawaban. 

"Ra … bapak ingin mengatakan sesuatu. Boleh?" 

"Apa itu, Pak?" jawab Rara sigap. Lirna tersentak.

"Seandainya ada seorang wanita yang memiliki suami, diselingkuhi oleh suaminya dengan orang yang telah dia anggap sebagai Adiknya sendiri, dibesarkan oleh ibu yang sama dengan penuh cinta, dan perempuan itu juga sangat menyayangi adiknya, tindakan apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku.

"Kenapa tiba-tiba Bapak bertanya seperti itu?" Nando mengangguk membenarkan pertanyaan Rara.

"Jika aku di posisi sebagai wanita itu, jelas aku akan merasa sangat marah. Itu sangat menyakitkan! Karena hubungan itu hubungan terlarang! Dia tega berselingkuh dengan orang terdekatnya!"

"lalu bagaimana tanggapan seorang anak jika yang melakukan perselingkuhan itu adalah ayahnya sendiri? Apa dia akan memaafkan Ayahnya? Atau akan membencinya?" tanyaku lagi. 

"Jika posisi itu terjadi pada ibuku, otomatis Ayahku sudah sangat menyakiti hatinya, dan aku sudah pasti sangat membencinya. Kenapa seperti itu? Karena Ayahku telah menyakiti hati ibuku!" Obrolan kami membuatku melupakan keberadaan Nando dan Lirna untuk sejenak.

"Apa jika Ayahmu meminta maaf, kamu akan memaafkannya?" Aku masih bertanya.

"Maaf? Maaf itu sangat mudah. Setiap orang yang berkhianat pasti ujung-ujungnya akan meminta maaf. Dan kalau maaf itu diberikan, dengan mudah maka akan banyak lagi yang berkhianat!" jawab Rara.

"Itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan bapak, Ra. Yang saya tanyakan, apakah jika pelakunya ayahnya sendiri, kamu sebagai anak akan memaafkan kesalahan ayahmu?"

"Kalau aku yang jadi anaknya, sudah pasti membutuhkan waktu untuk memaafkannya. Anak mana yang mau melihat Ayahnya menghianati ibunya? Apalagi kalau sampai meninggalkan Ibunya, jelas aku akan sangat membencinya!" 

"Maaf itu, entah kapan aku bisa memberikan maaf padanya. Yang pasti butuh waktu lama! Itu kalau aku yang menjadi anak dari orang itu!" jawab Rara tegas. Ketegasan Rara seolah menurun dari Lirna. 

Mendengar jawaban Rara seakan membuatku enggan menceritakan kebenarannya. Meskipun aku ingin Rara mengetahui kalau aku adalah Ayahnya. Melihat Rara sudah tumbuh sebesar dan secantik ini, membuatku teramat sangat menyayanginya. Tapi jika aku memberitahu kebenarannya, aku belum siap dibenci olehnya.

"Maaf Pak Adrian, kenapa Bapak bertanya seperti itu?" tanya Lirna.

"Tidak! Tidak apa-apa. Saya hanya ingin bertanya saja. Kalau begitu saya izin pamit dulu. Kebetulan hari sudah larut malam, istri dan anakku pasti sedang menunggu," pamitku seraya beranjak dari dudukku.

"Pak!" panggil Nando. " Biar saya yang ngantar," tawarnya. Aku mengangguk. Akhirnya, kami pun bergegas dari rumah Lirna.

"Rara!" panggilku sebelum Nando menjalankan motornya.

" Saya Pak!" jawab Rara.

"Sampai bertemu di kantor besok! Jangan terlambat! Saya ada hadiah untuk kamu!" ucapku setengah berteriak. Lalu kami pun berlalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status