"Lebih baik aku telepon, mas Gibran saja." Alya mengambil ponselnya, dan bergegas menghubungi nomor suaminya.
[Assalamu'alaikum, Mas]
[Wa'alaikumsalam, Sayang ada apa? Tumben tiba-tiba nelpon]
[Nanti sore, Mas jadi pulang kan]
[Insya Allah jadi, udah kangen ya]
[Iya udah kangen banget, aku juga punya kejutan untuk kamu]
[Kejutan apa? Jadi penasaran nih]
[Makanya, Mas buruan pulang]
[Iya, Sayang. Ya sudah aku lanjut kerja lagi ya]
[Iya, Mas. Jangan lupa makan, assalamu'alaikum]
[Iya, Sayang. Kamu juga, wa'alaikumsalam]
Setelah itu Alya menutup sambungan teleponnya, ia kembali meletakkan ponselnya. Setelah itu Alya membawa alat tes kehamilannya, ia akan membungkusnya dan nanti akan menyerahkannya pada Gibran. Alya sudah tidak sabar melihat ekpresi wajah sang suami saat tahu dirinya hamil.
Setelah itu Alya beranjak dari kamar, pagi ini ia berencana untuk berkumpul dengan teman-temannya, hanya sekedar untuk melepas suntuk jika berada di rumah terus. Setelah siap, Alya beranjak keluar dari rumah, mobil telah tersedia, Alya pun langsung masuk ke dalam, dan melajukannya dengan kecepatan sedang.
"Sayang, baik-baik di dalam ya, mama udah nggak sabar ingin melihatmu lahir ke dunia ini." Alya mengelus perutnya yang masih datar.
Tiba-tiba ponsel Alya berdering, dengan segera ia mengambilnya dan mengeceknya, satu panggilan masuk. Tertera nama Safira, takut ada yang penting Alya menepikan mobilnya terlebih dahulu, setelah itu ia baru mengangkat telepon tersebut.
[Assalamu'alaikum, Safira ada apa? Tumben kamu nelpon]
[Wa'alaikumsalam, iya. Al, hari ini aku mau nikah]
[Yang bener, wah selamat ya. Kamu nikah sama siapa]
[Hem, ada deh. Dia tampan, mapan pula]
[Selamat ya, akhirnya kamu nikah juga]
[Iya, ya udah sebentar lagi acaranya dimulai. Kapan-kapan aku main ke Jakarta, aku kangen sama kalian]
[Ok, semoga acaranya lancar ya]
[Iya, Al. Makasih ya, salam buat yang lain]
[Iya, assalamu'alaikum]
[Wa'alaikumsalam]
Alya tersenyum. "Akhirnya Safira nikah juga."
"Teman-teman pasti senang mendengar kabar ini," gumam Alya, setelah itu ia kembali melanjutkan perjalanannya, menuju cafe tempat mereka kumpul.
***
Di sisi lain, seorang pria dengan setelan jas berwarna hitam baru saja selesai mengucapkan janji suci. Pria yang tak lain adalah Gibran, ia baru saja melaksanakan akad kedua. Awalnya ia menolak, tetapi ibunya terus memaksa, begitu juga dengan orang tua mempelai wanita. Mereka tahu jika Gibran telah menikah, tetapi entah kenapa tetap memaksa Gibran melaksanakan pernikahan itu.
Ratna tersenyum karena putranya telah menuruti keinginannya itu, yaitu menikah dengan wanita pilihannya yang sudah sejak lama dijodohkan dengannya. Namun tidak dengan Gibran, ia merasa telah gagal menjadi seorang suami, tak ada niatan untuk menikah lagi, meski sampai detik ini ia belum juga dikaruniai seorang anak.
"Alya, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk menghianati pernikahan kita," gumamnya. Gibran memejamkan matanya sejenak, bayangan Alya terus berputar di benaknya.
"Gibran, kamu kenapa? Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini?" tanya Ratna.
"Ma, kebahagiaan Gibran bersama dengan Alya. Hanya dia yang .... "
"Cukup, jangan pernah menyebutkan dia lagi di hadapan, mama. Sekarang kamu sudah menikah dengan wanita pilihan, mama. Dia yang akan menjadi istri kamu, dan akan menjadi ibu dari anak-anak kamu nanti. Apa kamu lupa, kalian menikah sudah satu tahun tapi belum juga punya anak." Ratna memotong ucapan putranya.
Terdengar Gibran menghela napas. "Mungkin memang Allah belum memberi kepercayaan kepada kami. Lagi pula baru satu tahun, orang lain kadang ada yang sudah lima tahun baru memiliki anak."
"Kamu nggak usah ngeyel, udah sana temui istri kamu. Mama mau pulang," ujar Ratna. Setelah berpamitan, ia beranjak pulang.
Gibran mengusap wajahnya dengan kasar, setelah itu ia beranjak ke kamar menemui wanita yang baru saja ia sahkan. Ibunya sudah pulang, sementara keluarga yang lain sudah pulang. Terlihat seorang wanita dengan balutan baju pengantin tengah duduk di depan meja rias.
"Eh, Mas. Bisa bantu aku lepas ini nggak?" tanya wanita itu, sementara Gibran hanya mengangguk. Dan berjalan ke arah istrinya itu.
"Aku mandi dulu ya," ucap Gibran, wanita itu hanya tersenyum dan mengangguk.
"Setelah ini aku harus pulang ke Jakarta, aku penasaran dengan kejutan yang akan Alya berikan," batinnya. Gibran tersenyum saat mengingat kebersamaannya dengan sang istri.
Pukul empat sore Gibran sudah rapi, niatnya untuk pulang tidak bisa ia batalkan begitu saja, tak peduli jika malam ini adalah malam pertama. Rasanya berjauhan dengan Alya, membuat pikiran dan perasaannya tidak tenang.
"Mas jadi pulang?" tanya seorang wanita berambut sebahu.
"Iya, Alya sudah menelponku terus sejak tadi," jawabnya. Gibran tengah memakai jaket dan bersiap untuk pulang.
"Padahal ini kan .... "
"Iya, aku tahu. Tapi kamu juga harus tahu, kita menikah bukan karena cinta, aku juga tidak ada niat untuk menikah lagi," potong Gibran. Seketika bibir wanita yang berdiri di hadapannya mengerucut.
"Ya sudah, aku jalan sekarang. Kalau terjadi apa-apa sama mama, kamu langsung telpon aku ya," ujar Gibran.
"Iya, hati-hati ya, Mas," sahutnya, lalu mencium punggung tangan Gibran. Setelah itu Gibran beranjak keluar dari kamar.
***
Jalanan yang macet membuat Gibran pulang hingga malam, pukul sembilan ia baru sampai di rumah. Setelah memarkirkan mobil Gibran bergegas masuk ke dalam, setibanya di dalam terlihat Alya tengah tertidur di sofa. Mungkinkah Alya menunggunya sampai-sampai ia tertidur.
"Sayang, bangun." Gibran mengguncang pelan tubuh istrinya, sontak Alya terbangun.
"Eh, Mas udah sampai. Maaf, aku ketiduran," ujar Alya. Gibran hanya tersenyum seraya mengelus kepala istrinya.
"Nggak apa-apa, seharusnya aku yang minta maaf, gara-gara nungguin aku kamu jadi ketiduran," sahut Gibran.
"Oya, Mas mau makan apa mandi dulu?" tanya Alya.
"Aku udah mandi, jadi aku pengen makan dulu," sahut Gibran.
"Ya udah, aku siapin dulu ya." Alya hendak bangkit, tetapi dengan cepat Gibran mencekal tangannya.
"Mau kemana, hem?" tanya Gibran.
"Mau siapin makan untuk kamu," jawab Alya.
"Bukan makan yang itu, tapi yang ini." Gibran mengangkat tubuh Alya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Alya tersenyum seraya melingkarkan tangannya di leher suaminya.
Setibanya di kamar, Gibran merebahkan tubuh Alya di atas ranjang. Dengan lembut Gibran membelai wajah sang istri, Alya tersenyum mendapat perlakuan seperti itu. Gibran adalah tipe suami yang sangat pengertian dan penyabar. Rasanya sangat beruntung bisa mendapatkannya, Alya berharap semoga pernikahannya langgeng.
"I love you," ucap Gibran.
"I love you too," sahut Alya.
"Kita mulai sekarang?" tanya Gibran, dan dibalas dengan anggukkan oleh Alya.
Sebelum melakukan yang lebih, terlebih dahulu Gibran menyambar bibir mungil istrinya. Benda kenyal itu saling bertautan, hasrat yang terbengkalai selama satu minggu kini memberontak ingin dipenuhi. Alya sangat menikmati sentuhan yang suaminya berikan, sentuhan yang sudah sangat dirindukan.
"Aku akan memberitahu nanti tentang kehamilanku," batin Alya.
"Sepertinya, mas Gibran sangat menginginkannya, aku harus melayaninya terlebih dahulu," batinnya lagi.
Gibran mulai melepas piyama yang membalut tubuh indah istrinya. Setelah terlepas, kini gilirannya untuk melepas kemejanya. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering, awalnya Gibran abaikan, tetapi benda pipih itu terus menjerit-jerit. Alya kesal karena saat sedang asyik menikmati malam bersama, harus ada yang mengganggu.
"Angkat dulu deh, Mas. Ganggu tahu," cebiknya. Alya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terlanjur sudah polos.
Gibran menghela napas, lalu bangkit dan meraih ponselnya. Tanpa melihat siapa yang menelpon, Gibran langsung menggeser tombol berwarna hijau.
[Mas, mama masuk rumah sakit. Tolong cepat datang ya, aku takut terjadi apa-apa sama mama. Aku di sini juga sendirian]
Gibran langsung menjatuhkan ponselnya, setelah mendengar kabar tersebut. Tanpa memperpedulikan Alya, ia bergegas meraih kemejanya dan memakainya. Alya bingung dengan sikap sang suami yang terlihat buru-buru.
"Mas mau kemana?" tanya Alya.
"Aku ada urusan sebentar, maaf. Kamu tidur saja, besok pagi aku pulang." Gibran mencium kening Alya dan setelah itu ia beranjak meninggalkan sang istri yang masih diam dan mematung.
Berbagai pertanyaan melintas di benaknya, apa suaminya ada masalah, tapi masalah apa. Sudah semalam ini, urusan apa yang akan Gibran selesai. Sebegitu pentingkah sehingga Gibran pergi tanpa peduli dengan perasaan istrinya.
"Kamu mau kemana, Mas. Apa begitu penting, sehingga kamu lebih memilih pergi dibandingkan dengan aku." Alya menyeka air matanya yang sudah membasahi kedua pipinya.
_______
Kira-kira Gibran kemana ya, dan siapa yang menelponnya. Sampai-sampai Gibran pergi, tanpa memikirkan perasaan Alya. Ikuti terus ya kelanjutannya, biar nggak penasaran.
Pagi harinya, pukul enam Alya baru terbangun, ia mendapati suaminya sudah tidur di sampingnya. Entah pulang kapan, Alya tidak mendengarnya, ia mengamati wajah sang suami yang terlihat begitu lelah, dan kelihatannya Gibran memiliki beban pikiran yang cukup berat."Sebenarnya apa yang kamu sembunyiin dari aku, Mas." Alya mengusap wajah tampan Gibran.Alya melirik jam di atas nakas, setelah itu ia turun dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Sementara itu, Gibran mulai mengerjapkan matanya, cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar, membuatnya merasa terganggu. Gibran meraba samping kanan yang ternyata sudah kosong."Alya, kok nggak ada." Gibran bangkit dan terduduk. Selang beberapa menit Alya keluar dari kamar mandi."Mas udah bangun." Alya berjalan menghampiri suaminya."Sudah, Sayang, maaf ya untuk yang semalam." Gibran bangkit dan berjalan menghampiri sang istri."Iya, Mas. Kalau boleh tahu, semal
Alya menatap mata suaminya, berharap jika semua yang ibu mertuanya itu katakan tidak benar. Rasanya persendian Alya patah mendengar hinaan seperti itu, andai mereka tahu jika Alya tengah hamil. Apa hinaan itu akan berubah menjadi kasih sayang.Setelah mengetahui hal ini, Alya rasanya tidak perlu memberitahu bahwa dirinya tengah hamil. Alya akan melihat kedepannya akan seperti apa, ia yakin ibu mertuanya itu pasti akan lebih sayang pada menantu keduanya, dibandingkan dengan Alya."Apa benar jika Safira itu istri kedua kamu, Mas?" tanya Alya."Heh, kamu tidak dengar tadi. Safira itu .... ""Aku tanya sama, Mas Gibran bukan sama, Mama," potong Alya. Ibu mertuanya itu memang sekali-kali harus diberi pelajaran."Alya, kamu .... ""Sekarang jawab pertanyaanku, Mas. Apa benar jika Safira itu istri kamu." Alya memotong ucapan suaminya. Dadanya naik turun menahan amarah.Gibran bungkam dan menundukkan kepalanya, p
Alya menyeka wajahnya yang basah karena kopi, ibu mertuanya memang sudah sangat keterlaluan. Sementara, Gibran yang sebagai suaminya hanya diam, suami macam apa. Melihat istrinya diperlukan buruk hanya menonton."Kamu mau bunuh anak saya, iya." Ratna menjambak rambut panjang Alya."Ma, sudah mungkin Alya .... ""Diam kamu, istri seperti dia tidak perlu kamu bela. Sudah mandul, tidak tahu diri, seharusnya kamu berterima kasih karena Gibran masih mempertahankan kamu. Coba kalau Gibran menceraikanmu, siapa yang mau sama wanita mandul sepertimu!" bentak Ratna, lalu melepas jambakannya dengan kasar."Sekarang kamu selesaikan masakanmu, kami sudah lapar," titah Ratna."Suruh saja menantu kesayangannya, Mama untuk masak, aku bukan pembantu." Alya melenggang pergi meninggalkan ruang makan. Hatinya terlanjur sakit mendengar ucapan demi ucapan pedas ibu mertuanya itu."Alya, berani kamu ... Alya mau kemana kamu, Alya!" te
Safira tersenyum saat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Ratna. Sementara Alya masih diam, ia berusaha untuk bersikap tenang. Gibran berjalan menghampiri mereka Alya dengan tatapan mata yang tajam."Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku iya?" tanya Gibran penuh dengan penekanan.Alya terdiam sejenak. "Memangnya kenapa? Mereka pantas mendapatkan ini. Aku bukan wanita lemah yang seenaknya diinjak-injak begitu saja."Plak, satu tamparan mendarat di pipi mulus Alya. "Sekarang kamu berubah, di mana Alya yang dulu."Alya mengusap pipinya yang terasa panas. "Aku berubah juga gara-gara kamu, dan sepertinya bukan aku saja yang berubah, tapi kamu juga. Setelah kamu menikahi sahabat tidak tahu diri itu, kamu berubah."Gibran kembali mengangkat tangannya kembali, dan hendak menampar pipi Alya kembali. Namun niatnya terhenti saat melihat sorot mata istrinya yang terlihat seperti menahan rasa sakit. Gibran sadar, jika keputusannya unt
Dengan cepat Alya mengambil amplop tersebut, ia tidak ingin Gibran tahu jika dirinya tengah hamil. Sementara itu, Gibran menatap istrinya dengan penuh selidik, ada rasa curiga jika sang istri menyembunyikan sesuatu darinya."Amplop apa itu?" tanya Gibran."Ini bukan punyaku, tapi punya Linda. Kemarin dia nitip," jawab Alya. Ia sengaja berbohong agar Gibran tidak mencurigainya.Gibran hanya mengangguk, setelah itu ia beranjak meninggalkan kamar istrinya. Sementara itu, Alya bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini Alya akan pergi ke rumah orang tuanya untuk mengurus masalah yang kini menimpanya.Dua puluh menit kemudian, Alya sudah siap untuk pergi. Wanita berambut panjang itu beranjak keluar dari kamar, ia melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Setibanya di bawah terlihat Ratna dan Safira tengah ribut di dapur, sementara Gibran sudah berangkat ke kantor."Heh mau kemana kamu?" tanya Rat
Penyesalan memang selalu datang terlambat, karena jika diawal itu namanya pendaftaran. Kini Gibran hanya bisa meratapi nasibnya, istri pergi, saham yang sudah kurang lebih satu tahun ia kelola kini diambil kembali. Rasanya Gibran ingin menangis, mungkin jika hanya saham yang diambil, ia masih bisa terima. Namun, Alya juga ikut pergi, terlebih sang istri dalam keadaan hamil.Selama setahun menantikan buah hati, setelah terwujud, justru Gibran tidak bisa memilikinya, karena sang istri memilih untuk pergi. Andai ia tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang ini. Mungkin saat ini Gibran tengah berbahagia karena kehamilan Alya."Gibran, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ratna.Gibran menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu, Ma. Alya sudah pergi ninggalin aku."Ratna menghembuskan napasnya. "Untuk apa kamu memikirkan dia, biarkan saja dia pergi. Yang perlu kamu pikirkan adalah, bagaimana caranya kit
Kini Gibran sudah ada di kantor, ia pun langsung mengecek ke gudang. Seketika tubuhnya luruh ke lantai, semua barang-barang habis dilalap oleh dijago merah. Tidak ada yang tersisa sedikitpun, entah berapa kerugian yang harus Gibran tangung."Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut," ucap salah satu pegawainya."Iya, entah berapa kerugian yang harus, pak Gibran tanggung," sahut yang lain."Iya, malah bisa-bisa kita nggak gajian, untuk menutupi ini semua," timpal yang lain lagi."Hus, jangan keras-keras. Kalau, pak Gibran denger bagaimana, dia kan lagi berduka," sergah yang lain. Sontak mereka diam.Setelah itu Gibran bangkit, ia menatap semua pegawainya yang masih berkumpul di depan gudang. Setelah itu Gibran menyuruh mereka untuk kembali bekerja, meski terlihat jika mereka tidak memiliki semangat untuk kerja."Anton, kapan kejadiannya?" tanya Gibran."Satu jam sebelum para karyawan datang, Pak," jaw
Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah."Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil."Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tib