Pagi harinya, pukul enam Alya baru terbangun, ia mendapati suaminya sudah tidur di sampingnya. Entah pulang kapan, Alya tidak mendengarnya, ia mengamati wajah sang suami yang terlihat begitu lelah, dan kelihatannya Gibran memiliki beban pikiran yang cukup berat.
"Sebenarnya apa yang kamu sembunyiin dari aku, Mas." Alya mengusap wajah tampan Gibran.
Alya melirik jam di atas nakas, setelah itu ia turun dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Sementara itu, Gibran mulai mengerjapkan matanya, cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar, membuatnya merasa terganggu. Gibran meraba samping kanan yang ternyata sudah kosong.
"Alya, kok nggak ada." Gibran bangkit dan terduduk. Selang beberapa menit Alya keluar dari kamar mandi.
"Mas udah bangun." Alya berjalan menghampiri suaminya.
"Sudah, Sayang, maaf ya untuk yang semalam." Gibran bangkit dan berjalan menghampiri sang istri.
"Iya, Mas. Kalau boleh tahu, semalam, Mas kemana?" tanya Alya. Sontak Gibran bingung harus menjawab apa.
Gibran menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Anu, semalam aku ... ada urusan di kantor. Iya, ada sedikit masalah."
Alya menyipitkan matanya. "Masalah apa, Mas? Mas nggak bohong kan."
"Enggak, Sayang." Gibran merengkuh tubuh mungil istrinya, agar bisa memberinya kepercayaan.
"Sayang, maafkan aku. Aku tidak ada niat untuk bohongin kamu," batinnya. Gibran mengelus rambut panjang sang istri.
"Sayang, aku mandi dulu ya, nanti ada meeting." Gibran melepas rengkuhannya.
"Mas mau ke kantor?" tanya Alya.
"Iya, ada meeting. Setelah meeting nanti langsung pulang kok," jawab Gibran.
"Ya udah aku mandi dulu ya." Gibran mencium kening Alya dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara itu, Alya akan menyiapkan pakaian untuk sang suami. Setelah pakaian siap, wanita berambut panjang itu beranjak turun keke bawah untuk menyiarkan sarapan. Tak lupa Alya membuat kopi terlebih dahulu.
Sepuluh menit kemudian, Gibran turun dengan penampilan yang sudah rapi. Pria berkulit putih itu berjalan menghampiri sang istri yang tengah sibuk menata sarapan. Meski ada asisten rumah tangga, tetapi Alya tak pernah bermalas-malasan, ia akan membantu untuk menyiarkan sarapan.
"Kopinya, Mas," ujar Alya.
"Terima kasih ya, Sayang." Gibran mengambil kopi tersebut dan menyeruputnya.
"Mau sarapan pakai apa, Mas?" tanya Alya.
"Nasi goreng saja sama telor," jawab Gibran. Dengan cekatan Alya meladeni suaminya.
Usai sarapan, Gibran bergegas untuk berangkat ke kantor. Setelah sang suami pergi, Alya berencana untuk pergi bertemu dengan teman-temannya. Ada sesuatu yang akan ia tanyakan. Entah kemana sejak tadi malam Alya merasa ada yang tengah disembunyikan oleh Gibran.
"Kita lihat saja, Mas. Apa yang kamu sembunyikan dariku, kebohongan pasti akan terbongkar," gumam Alya. Setelah itu Alya bergegas pergi ke cafe tempat ia bertemu dengan teman-temannya.
***
Kini Alya sudah ada di cafe, sembari menunggu teman-temannya datang, ia akan memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Selang sepuluh menit, Linda dan Nita datang, mereka adalah teman Alya sedari SMP sampai sekarang.
"Aku juga curiga sama si Safira, kok tiba-tiba nikah ya. Padahal dia sama Andi kan baru putus, masa iya sih langsung dapat gandengan," ujar Linda.
"Aku denger-denger Safira itu dijodohin," timpal Nita.
"Oh dijodohin, eh kok Safira mau sih. Dia kan tipe cewek matre," sahut Linda.
"Mungkin cowok yang dijodohkan dengan Safira orang kaya, makanya Safira mau," timpal Alya.
"Betul juga tuh, kayaknya kita perlu selidiki deh," usul Linda.
"Jadi kita harus pergi ke Bandung gitu," sahut Nita.
"Nggak perlu, katanya Safira bakal balik ke Jakarta lagi. Tapi aku nggak tahu kapan," sergah Alya.
"Kamu tahu dari mana?" tanya Nita.
"Safira yang bilang, tadi dia inbok aku lewat wa," jawab Alya. Nita dan Linda hanya ber-oh ria.
"Eh, setelah ini kita jalan yuk, bosen di rumah terus," saran Nita.
"Kalian aja deh, aku mau ke kantor dulu, ada perlu sama mas Gibran," sahut Alya.
"Cie yang mau ketemu pak suami," ujar Linda.
"Apaan sih, biasa aja kali," sahut Alya.
"Ya udah, aku duluan ya. Ini udah aku bayar kok." Alya bangkit dan beranjak pergi, sementara Linda dan Nita masih betah duduk.
"Kalau mas Gibran hanya meeting dan tidak ada pekerjaan lain. Aku bisa mengajaknya ke rumah sakit, dia pasti terkejut setelah tahu aku hamil," batin Alya seraya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
***
Tidak butuh waktu lama, kini Alya sudah tiba di kantor, sebelum masuk ke ruangan suaminya, Alya terlebih dahulu bertanya pada pegawai resepsionis.
"Maaf, Mbak. Pak Gibran ada di ruangannya apa tidak?" tanya Alya.
"Maaf, Bu. Hari ini pak Gibran tidak masuk kantor, katanya ada urusan di luar kota," jawab pegawai resepsionis tersebut.
"Apa, mas Gibran nggak masuk kantor, tadi pagi bilang katanya ada meeting," batin Alya.
"Kebohongan apa yang kamu ciptakan, mas. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Begitu juga dengan dirimu, sepandai-pandai kamu menyimpan rahasia, pasti akan terbongkar juga," batinnya lagi.
"Ya sudah, Mbak. Terima kasih ya," ujar Alya. Setelah itu ia memilih keluar. Dalam benaknya berbagai pertanyaan melintas.
"Coba aku telepon," gumamnya. Alya langsung mengambil ponselnya untuk menelpon sang suami.
Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, hingga satu menit telepon tidak diangkat. Alya sampai hilang kesabaran, sebenarnya apa yang sedang Gibran lakukan. Benar-benar mencurigakan.
"Ok, mas. Kamu tidak mau menjawab telepon dariku, kita lihat saja apa yang akan aku lakukan," desisnya. Alya beranjak menuju mobil dan memilih untuk pulang. Mungkin efek dari kehamilannya, membuat Alya mudah emosi, tetapi sebisa mungkin ia tahan.
Hanya butuh sekitar satu jam, mobil Alya sudah terparkir di halaman rumahnya. Bergegas ia turun dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam, suasana rumah masih sepi. Alya memutuskan untuk masuk ke kamar, rasanya ia sangat lelah, padahal Alya tidak melakukan pekerjaan apapun.
Setibanya di kamar Alya menaruh tasnya di tempatnya, setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Setelah merasa segar, Alya beranjak keluar, ia berjalan menuju ranjang. Tiba-tiba ponselnya berdering, bergegas Alya mengeceknya.
"Papa, tumben papa nelpon," gumam Alya, ia pun langsung menggeser tombol berwarna hijau.
[Assalamu'alaikum, Pa]
[Wa'alaikumsallam, gimana kabar kamu. Sehat kan, kamu baik-baik saja kan]
[Alhamdulillah, Alya baik kok, Pa. Papa sama mama gimana kabarnya]
[Alhamdulillah, kami juga baik. Kapan kamu ke rumah, mama nanyain kamu tarus]
[Insya Allah minggu depan, Pa. Sekarang mama ada di mana]
[Biasa, lagi pergi sama temen arisan]
Tiba-tiba saja Alya mendengar suara deru mobil di halaman rumahnya.
[Pa, sudah dulu ya. Minggu depan Alya ke rumah]
[Ya sudah, baik-baik ya, Nak. Assalamu'alaikum]
[Iya, Pa. Wa'alaikumsallam]
Setelah sambungan telepon terputus, Alya beranjak dari kamar. Ia berharap semoga Gibran yang pulang, Alya berjalan menuruni anak tangga. Setibanya di bawah wanita berambut panjang itu melangkahkan kakinya menuju ruang tamu.
"Kok mas Gibran sama mama, lalu perempuan itu," batin Alya. Ia pun berjalan menuju pintu utama dan membukanya.
"Mas, mama ... Safira," ucap Alya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya kenapa mereka bisa barengan seperti ini.
"Alya." Gibran berjalan menghampiri sang istri.
"Safira kamu .... "
"Mulai hari ini mama sama Safira akan tinggal di rumah ini," potong Ratna. Sontak membuat Alya terkejut.
"Apa?! Tapi .... "
"Mas sebenarnya ini ada apa?" tanya Alya. Ia meminta penjelasan dari sang suami. Namun Gibran hanya diam.
"Heh, kamu bud*k apa nggak denger sih. Mulai hari ini mama sama Safira akan tinggal di rumah ini. Karena Safira adalah istri kedua Gibran, mengerti," jelas Ratna.
"Safira juga yang akan melahirkan anak-anak Gibran, dia yang akan menjadi ibu dari pewaris keluarga Bagaskara, mengerti. Tidak seperti kamu, mandul!" bentak Ratna.
Jantung Alya berasa berhenti berdetak mendengar pernyataan itu. Tak pernah terpikirkan jika suami yang sangat dicintainya akan berhianat. Dan wanita yang tak lain adalah sahabatnya sendiri, begitu tega menikungnya dari belakang. Perkataan ibu mertuanya bagaikan besi tajam yang menancap di hati.
________
Madu sudah datang, apa yang akan Alya lakukan ya???? Safira memang tidak punya hati, suami sahabat sendiri diembat.
Alya menatap mata suaminya, berharap jika semua yang ibu mertuanya itu katakan tidak benar. Rasanya persendian Alya patah mendengar hinaan seperti itu, andai mereka tahu jika Alya tengah hamil. Apa hinaan itu akan berubah menjadi kasih sayang.Setelah mengetahui hal ini, Alya rasanya tidak perlu memberitahu bahwa dirinya tengah hamil. Alya akan melihat kedepannya akan seperti apa, ia yakin ibu mertuanya itu pasti akan lebih sayang pada menantu keduanya, dibandingkan dengan Alya."Apa benar jika Safira itu istri kedua kamu, Mas?" tanya Alya."Heh, kamu tidak dengar tadi. Safira itu .... ""Aku tanya sama, Mas Gibran bukan sama, Mama," potong Alya. Ibu mertuanya itu memang sekali-kali harus diberi pelajaran."Alya, kamu .... ""Sekarang jawab pertanyaanku, Mas. Apa benar jika Safira itu istri kamu." Alya memotong ucapan suaminya. Dadanya naik turun menahan amarah.Gibran bungkam dan menundukkan kepalanya, p
Alya menyeka wajahnya yang basah karena kopi, ibu mertuanya memang sudah sangat keterlaluan. Sementara, Gibran yang sebagai suaminya hanya diam, suami macam apa. Melihat istrinya diperlukan buruk hanya menonton."Kamu mau bunuh anak saya, iya." Ratna menjambak rambut panjang Alya."Ma, sudah mungkin Alya .... ""Diam kamu, istri seperti dia tidak perlu kamu bela. Sudah mandul, tidak tahu diri, seharusnya kamu berterima kasih karena Gibran masih mempertahankan kamu. Coba kalau Gibran menceraikanmu, siapa yang mau sama wanita mandul sepertimu!" bentak Ratna, lalu melepas jambakannya dengan kasar."Sekarang kamu selesaikan masakanmu, kami sudah lapar," titah Ratna."Suruh saja menantu kesayangannya, Mama untuk masak, aku bukan pembantu." Alya melenggang pergi meninggalkan ruang makan. Hatinya terlanjur sakit mendengar ucapan demi ucapan pedas ibu mertuanya itu."Alya, berani kamu ... Alya mau kemana kamu, Alya!" te
Safira tersenyum saat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Ratna. Sementara Alya masih diam, ia berusaha untuk bersikap tenang. Gibran berjalan menghampiri mereka Alya dengan tatapan mata yang tajam."Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku iya?" tanya Gibran penuh dengan penekanan.Alya terdiam sejenak. "Memangnya kenapa? Mereka pantas mendapatkan ini. Aku bukan wanita lemah yang seenaknya diinjak-injak begitu saja."Plak, satu tamparan mendarat di pipi mulus Alya. "Sekarang kamu berubah, di mana Alya yang dulu."Alya mengusap pipinya yang terasa panas. "Aku berubah juga gara-gara kamu, dan sepertinya bukan aku saja yang berubah, tapi kamu juga. Setelah kamu menikahi sahabat tidak tahu diri itu, kamu berubah."Gibran kembali mengangkat tangannya kembali, dan hendak menampar pipi Alya kembali. Namun niatnya terhenti saat melihat sorot mata istrinya yang terlihat seperti menahan rasa sakit. Gibran sadar, jika keputusannya unt
Dengan cepat Alya mengambil amplop tersebut, ia tidak ingin Gibran tahu jika dirinya tengah hamil. Sementara itu, Gibran menatap istrinya dengan penuh selidik, ada rasa curiga jika sang istri menyembunyikan sesuatu darinya."Amplop apa itu?" tanya Gibran."Ini bukan punyaku, tapi punya Linda. Kemarin dia nitip," jawab Alya. Ia sengaja berbohong agar Gibran tidak mencurigainya.Gibran hanya mengangguk, setelah itu ia beranjak meninggalkan kamar istrinya. Sementara itu, Alya bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini Alya akan pergi ke rumah orang tuanya untuk mengurus masalah yang kini menimpanya.Dua puluh menit kemudian, Alya sudah siap untuk pergi. Wanita berambut panjang itu beranjak keluar dari kamar, ia melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Setibanya di bawah terlihat Ratna dan Safira tengah ribut di dapur, sementara Gibran sudah berangkat ke kantor."Heh mau kemana kamu?" tanya Rat
Penyesalan memang selalu datang terlambat, karena jika diawal itu namanya pendaftaran. Kini Gibran hanya bisa meratapi nasibnya, istri pergi, saham yang sudah kurang lebih satu tahun ia kelola kini diambil kembali. Rasanya Gibran ingin menangis, mungkin jika hanya saham yang diambil, ia masih bisa terima. Namun, Alya juga ikut pergi, terlebih sang istri dalam keadaan hamil.Selama setahun menantikan buah hati, setelah terwujud, justru Gibran tidak bisa memilikinya, karena sang istri memilih untuk pergi. Andai ia tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang ini. Mungkin saat ini Gibran tengah berbahagia karena kehamilan Alya."Gibran, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ratna.Gibran menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu, Ma. Alya sudah pergi ninggalin aku."Ratna menghembuskan napasnya. "Untuk apa kamu memikirkan dia, biarkan saja dia pergi. Yang perlu kamu pikirkan adalah, bagaimana caranya kit
Kini Gibran sudah ada di kantor, ia pun langsung mengecek ke gudang. Seketika tubuhnya luruh ke lantai, semua barang-barang habis dilalap oleh dijago merah. Tidak ada yang tersisa sedikitpun, entah berapa kerugian yang harus Gibran tangung."Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut," ucap salah satu pegawainya."Iya, entah berapa kerugian yang harus, pak Gibran tanggung," sahut yang lain."Iya, malah bisa-bisa kita nggak gajian, untuk menutupi ini semua," timpal yang lain lagi."Hus, jangan keras-keras. Kalau, pak Gibran denger bagaimana, dia kan lagi berduka," sergah yang lain. Sontak mereka diam.Setelah itu Gibran bangkit, ia menatap semua pegawainya yang masih berkumpul di depan gudang. Setelah itu Gibran menyuruh mereka untuk kembali bekerja, meski terlihat jika mereka tidak memiliki semangat untuk kerja."Anton, kapan kejadiannya?" tanya Gibran."Satu jam sebelum para karyawan datang, Pak," jaw
Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah."Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil."Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tib
Seminggu telah berlalu, sejak pertemuannya dengan Alya di resto waktu itu. Kini Gibran mulai berpikir jika anak yang Alya kandung bukanlah anaknya. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, dan mungkin Gibran juga sudah termakan oleh perkataan Safira.Kini Gibran tidak peduli lagi dengan perceraian itu, bahkan dirinya tidak akan mempersulit jalannya sidang nanti. Saat ini Gibran memilih fokus pada perusahaannya yang terancam bangkrut. Gibran sudah berusaha untuk mencari bantuan, tapi hasilnya tetap sama.Sudah lebih dari dua puluh perusahaan, yang ia ajak untuk kerja sama, agar bisa menyelamatkan perusahaan miliknya. Namun hanya penolakan yang Gibran terima, rasanya ia seperti kehilangan harga diri. Hendak meminjam uang ke bank, tapi hasilnya juga sama, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang.Gibran tidak tahu harus berbuat apa lagi, otaknya berasa ingin pecah. Terlebih saat melihat kelakuan Safira dan ibunya, yang seperti tidak memiliki pe