Alya menatap mata suaminya, berharap jika semua yang ibu mertuanya itu katakan tidak benar. Rasanya persendian Alya patah mendengar hinaan seperti itu, andai mereka tahu jika Alya tengah hamil. Apa hinaan itu akan berubah menjadi kasih sayang.
Setelah mengetahui hal ini, Alya rasanya tidak perlu memberitahu bahwa dirinya tengah hamil. Alya akan melihat kedepannya akan seperti apa, ia yakin ibu mertuanya itu pasti akan lebih sayang pada menantu keduanya, dibandingkan dengan Alya.
"Apa benar jika Safira itu istri kedua kamu, Mas?" tanya Alya.
"Heh, kamu tidak dengar tadi. Safira itu .... "
"Aku tanya sama, Mas Gibran bukan sama, Mama," potong Alya. Ibu mertuanya itu memang sekali-kali harus diberi pelajaran.
"Alya, kamu .... "
"Sekarang jawab pertanyaanku, Mas. Apa benar jika Safira itu istri kamu." Alya memotong ucapan suaminya. Dadanya naik turun menahan amarah.
Gibran bungkam dan menundukkan kepalanya, pria berbadan putih itu tidak berani menatap mata istrinya yang menyorotkan kemarahan. Gibran benar-benar merasa bersalah karena sudah membohongi sang istri, bahkan menduakannya.
"Jawab, Mas! Kenapa diam saja!" bentak Alya.
"Iya." Gibran menjawab dengan suara lirih. Seketika air mata Alya menetes. Ternyata suami, ibu mertua dan sahabat sama saja kelakuannya.
"Terima kasih, Mas. Atas luka yang kamu berikan, terutama kamu. Sahabat macam apa yang tega menusuk sahabatnya sendiri dari belakang," ungkap Alya penuh dengan amarah.
"Diam kamu, masih untung Gibran tidak menceraikanmu langsung. Kalau iya, mau jadi gelandangan kamu!" bentak Ratna.
"Apa aku tidak salah dengar, bukankah jika saham yang mas Gibran kelola ditarik sama papa mereka yang akan jadi gelandangan," batin Alya.
"Gibran, antar Safira ke kamar," titah Ratna.
"Tapi, Ma .... "
"Cepat." Ratna memotong ucapan Gibran.
Dengan terpaksa Gibran membawa koper milik Safira menuju ke lantai atas. Begitu juga dengan Ratna, ia juga pergi ke kamar miliknya. Alya menghembuskan napasnya, ia harus kuat, tidak boleh lemah. Mungkin untuk saat ini Alya kalah, tapi tidak dengan nanti.
Usai makan siang, Alya memilih untuk menyendiri di taman belakang rumah. Hatinya terasa sakit saat mengingat penghianatan yang Gibran lakukan. Bahkan penghinaan yang sering ia dengar setiap kali bertemu dengan ibu mertuanya.
Selang berapa menit, Gibran datang, pria beralis tebal itu melihat istrinya tengah duduk melamun di taman belakang. Bergegas Gibran menghampiri sang istri, rasanya ia tidak tega melihat Alya sedih, karena wanitanya itu adalah segala-galanya bagi Gibran.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Gibran seraya menjatuhkan bobotnya di sebelah Alya.
Alya menghembuskan napasnya. "Lagi duduk."
"Sayang, aku minta maaf karena. Aku tidak berniat untuk menikah dengan Safira, kami menikah karena .... "
"Sama-sama cinta, apa sama-sama bod*h," potong Alya. Hal itu membuat Gibran merasa geram, karena tidak biasanya Alya berkata kasar seperti itu.
"Alya, kenapa kamu .... "
"Kenapa? Apa, Mas pikir dengan maaf bisa mengambilkan semuanya. Mas sudah menghancurkan kepercayaanku, pernikahan kita." Lagi-lagi Alya memotong ucapan Gibran.
Gibran mengusap wajahnya dengan kasar. "Alya aku benar-benar minta maaf, kami terpaksa menikah karena kami dijodohkan. Dan alasan aku membawa Safira tinggal di sini, karena mamanya baru saja meninggal semalam. Itu alasannya juga, semalam aku pergi. Alya kamu mau kan maafin aku."
"Maaf mudah, Mas. Tapi sekali berhianat, sampai kapanpun akan berhianat. Sekali berbohong, akan terus berbohong," ujar Alya. Gibran menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Alya, aku .... "
"Mas, mas di mana!" teriak Safira.
"Cepat masuk, aku tidak ingin debat dengan penghianat seperti kalian," titah Alya. Dengan terpaksa Gibran bangkit dan berjalan masuk ke dalam.
"Aku harus kuat, demi anak yang ada di kandunganku," batin Alya, seraya mengelus perutnya yang masih datar.
***
Malam telah tiba, entah kenapa malam ini Alya tidak selera makan. Terlebih saat melihat Safira, ia tidak habis pikir jika dia tega berhianat. Akhirnya Alya memilih untuk menyendiri di dalam kamar, percuma keluar yang ada hanya berdebat dengan ibu mertua.
Saat Alya tengah asyik berbalas chat dengan Linda dan juga Nita, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Terlihat Gibran berjalan masuk ke dalam kamar dengan membawa sepiring nasi dan segelas air putih. Alya hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada layar ponselnya.
"Kamu makan dulu ya." Gibran meletakkan piring tersebut di atas meja yang berada di samping ranjang.
"Aku udah kenyang," sahut Alya.
"Kenyang dari mana, orang belum makan," balas Gibran.
"Aku kenyang makan penghianat kalian." Alya merebahkan tubuhnya, membelakangi Gibran.
Gibran terdiam mendengar perkataan istrinya, rasa bersalahnya kian merambah. Namun semua itu tak ada gunanya lagi, penyesalan memang selalu datang terlambat. Gibran menghembuskan napasnya, lalu ikut berbaring di sebelah istrinya.
"Aku minta maaf, aku tahu maafku ini memang tidak ada artinya lagi. Tapi jujur, aku sama sekali tidak berniat untuk menikah lagi. Tolong kamu percaya sama aku." Gibran melingkarkan tangannya di pinggang istrinya.
"Aku mau tidur, Mas. Tolong jangan ganggu aku," ujar Alya.
"Kamu makan dulu, nanti kamu sakit," sahut Gibran.
"Aku nggak lapar," balas Alya. Lalu mencoba untuk memejamkan matanya.
Gibran menghembuskan napasnya. "Ya sudah, kamu istirahat saja."
Gibran bangkit, lalu membawa kembali makanan dan minuman yang ia bawa. Pria dengan balutan kaos berwarna putih itu melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Setibanya di bawah, Gibran beranjak menuju dapur, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan sang ibu.
"Makanya, nggak usah sok-sokan perhatian. Istrimu itu memang nyusahin, udah mandul, nggak tahu sopan santun. Mending kamu sama Safira saja, dia pasti bisa melayani kamu," tuturnya. Ratna memang selalu mencari kesalahan menantunya itu.
Gibran hanya menghembuskan napasnya, lalu memilih pergi ke dapur. Rasanya sakit saat didiamkan sama orang yang sangat dicintai. Mungkin rasa sakit yang Alya rasakan tidak seperti yang Gibran alami.
***
Pagi telah menyapa, pukul enam Alya baru bangun, itu pun karena ia merasa sangat mual. Alya memuntahkan semua isi perutnya, tetapi hanya cairan bening yang keluar. Rasanya memang tidak enak, bukan hanya mual, tapi kepala juga pusing. Alya membasuh wajahnya, setelah itu ia keluar dari kamar mandi.
"Kayaknya aku perlu ke dokter nih," batin Alya.
Alya terdiam, saat melihat ranjangnya kosong, semalam ia tidur sendiri, itu artinya Gibran tidur dengan Safira. Hatinya terasa sakit saat membayangkan suaminya sendiri bercumbu dengan wanita lain. Tidak mungkin tidak terjadi, sepasang suami-istri yang tidur satu ranjang, sangat tidak mungkin tidak melakukan itu.
"Alya sabar, semua ini pasti ada hikmahnya," batinnya. Alya menyeka matanya yang sudah basah.
Baru saja mau masuk ke dalam kamar mandi, tiba-tiba pintu kamar digedor dari luar. Bukan hanya digedor, suara ibu mertuanya yang cempreng itu ikut memekakkan telinga Alya. Alhasil, Alya berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Cepat turun, siapkan sarapan. Bi Sumi pulang kampung," titah Ratna. Sontak Alya kaget, perasaan tadi sore bi Sumi masih baik-baik saja.
"Kapan, bi Sumi .... "
"Cepat turun." Ratna menarik tangan Alya dan membawanya turun ke bawah.
Setibanya di bawah Ratna membawa Alya ke dapur. "Cepat siapkan. Aku dan Safira sudah lapar, Gibran juga, sebentar lagi Gibran berangkat ke kantor.
"Ok, aku kerjain baru tahu rasa," batin Alya. Setelah itu Alya bergerak menyiapkan sarapan.
Selang beberapa menit Safira datang, dengan tampang tak berdosa, Safira berjalan menghampiri Alya yang tengah sibuk membuat sarapan.
"Al, tolong buatkan kopi dong," pinta Safira, tanpa rasa malu.
Alya mencoba menahan amarahnya. "Untuk siapa."
"Untuk aku," sahut Safira. Ia beranjak menuju kursi yang ada di dapur.
Dengan segera Alya menyeduh kopi seperti yang Safira perintahkan. Alya tersenyum saat ia memasukkan bubuk cabai ke dalam kopi yang sudah ia seduh.
"Mampus kamu," batin Alya, seraya mengaduk kopi tersenyum.
"Ini." Alya menyodorkan kopi tersebut. Dengan segera Safira menerimanya dan beranjak keluar.
"Cari apa, Mas?" tanya Safira saat melihat Gibran ada di meja makan.
"Kopi, biasanya Alya .... "
"Ini, Mas. Tadi aku yang buatin," ujar Safira seraya menyodorkan kopi yang ia pegang.
"Mas Gibran pasti akan memujiku," batin Safira.
Gibran menerima kopi tersebut. "Terima kasih ya."
Safira hanya tersenyum dan mengangguk. Dengan segera Gibran menyeruput kopi tersebut, tetapi baru saja satu teguk, tiba-tiba Gibran menyembuhkannya. Safira terkejut melihat Gibran menyemburkan kopi tersebut.
"Ada apa, Mas?" tanya Safira khawatir.
"Kamu buat kopi pakai apa, kenapa rasanya pedas," jawab Gibran, seraya mengelap mulutnya dengan tisu.
"Alya yang buat, Mas bukan aku," ujar Safira. Sontak Gibran terkejut.
"Ada apa?" tanya Ratna panik.
"Alya buat kopi rasanya pedas, Ma," jawab Safira, mendengar hal itu Ratna sontak geram.
"Alya! Ke sini kamu!" teriak Ratna. Dengan tergesa-gesa Alya beranjak menuju meja makan.
Tiba-tiba saja Ratna menyiramkan sisa kopi tersebut ke wajah Alya. Safira tersenyum melihat hal itu, sementara Gibran hanya diam. Alya tidak tahu apa kesalahannya, kenapa tiba-tiba ibu mertuanya melakukan hal itu.
_______
Balas Alya, jangan diam saja. Safira licik banget, Gibran bodoh, masa iya diam saja.
Yuk yang penasaran dengan kelanjutannya, ikuti terus ya kisahnya.Alya menyeka wajahnya yang basah karena kopi, ibu mertuanya memang sudah sangat keterlaluan. Sementara, Gibran yang sebagai suaminya hanya diam, suami macam apa. Melihat istrinya diperlukan buruk hanya menonton."Kamu mau bunuh anak saya, iya." Ratna menjambak rambut panjang Alya."Ma, sudah mungkin Alya .... ""Diam kamu, istri seperti dia tidak perlu kamu bela. Sudah mandul, tidak tahu diri, seharusnya kamu berterima kasih karena Gibran masih mempertahankan kamu. Coba kalau Gibran menceraikanmu, siapa yang mau sama wanita mandul sepertimu!" bentak Ratna, lalu melepas jambakannya dengan kasar."Sekarang kamu selesaikan masakanmu, kami sudah lapar," titah Ratna."Suruh saja menantu kesayangannya, Mama untuk masak, aku bukan pembantu." Alya melenggang pergi meninggalkan ruang makan. Hatinya terlanjur sakit mendengar ucapan demi ucapan pedas ibu mertuanya itu."Alya, berani kamu ... Alya mau kemana kamu, Alya!" te
Safira tersenyum saat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Ratna. Sementara Alya masih diam, ia berusaha untuk bersikap tenang. Gibran berjalan menghampiri mereka Alya dengan tatapan mata yang tajam."Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku iya?" tanya Gibran penuh dengan penekanan.Alya terdiam sejenak. "Memangnya kenapa? Mereka pantas mendapatkan ini. Aku bukan wanita lemah yang seenaknya diinjak-injak begitu saja."Plak, satu tamparan mendarat di pipi mulus Alya. "Sekarang kamu berubah, di mana Alya yang dulu."Alya mengusap pipinya yang terasa panas. "Aku berubah juga gara-gara kamu, dan sepertinya bukan aku saja yang berubah, tapi kamu juga. Setelah kamu menikahi sahabat tidak tahu diri itu, kamu berubah."Gibran kembali mengangkat tangannya kembali, dan hendak menampar pipi Alya kembali. Namun niatnya terhenti saat melihat sorot mata istrinya yang terlihat seperti menahan rasa sakit. Gibran sadar, jika keputusannya unt
Dengan cepat Alya mengambil amplop tersebut, ia tidak ingin Gibran tahu jika dirinya tengah hamil. Sementara itu, Gibran menatap istrinya dengan penuh selidik, ada rasa curiga jika sang istri menyembunyikan sesuatu darinya."Amplop apa itu?" tanya Gibran."Ini bukan punyaku, tapi punya Linda. Kemarin dia nitip," jawab Alya. Ia sengaja berbohong agar Gibran tidak mencurigainya.Gibran hanya mengangguk, setelah itu ia beranjak meninggalkan kamar istrinya. Sementara itu, Alya bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini Alya akan pergi ke rumah orang tuanya untuk mengurus masalah yang kini menimpanya.Dua puluh menit kemudian, Alya sudah siap untuk pergi. Wanita berambut panjang itu beranjak keluar dari kamar, ia melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Setibanya di bawah terlihat Ratna dan Safira tengah ribut di dapur, sementara Gibran sudah berangkat ke kantor."Heh mau kemana kamu?" tanya Rat
Penyesalan memang selalu datang terlambat, karena jika diawal itu namanya pendaftaran. Kini Gibran hanya bisa meratapi nasibnya, istri pergi, saham yang sudah kurang lebih satu tahun ia kelola kini diambil kembali. Rasanya Gibran ingin menangis, mungkin jika hanya saham yang diambil, ia masih bisa terima. Namun, Alya juga ikut pergi, terlebih sang istri dalam keadaan hamil.Selama setahun menantikan buah hati, setelah terwujud, justru Gibran tidak bisa memilikinya, karena sang istri memilih untuk pergi. Andai ia tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang ini. Mungkin saat ini Gibran tengah berbahagia karena kehamilan Alya."Gibran, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ratna.Gibran menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu, Ma. Alya sudah pergi ninggalin aku."Ratna menghembuskan napasnya. "Untuk apa kamu memikirkan dia, biarkan saja dia pergi. Yang perlu kamu pikirkan adalah, bagaimana caranya kit
Kini Gibran sudah ada di kantor, ia pun langsung mengecek ke gudang. Seketika tubuhnya luruh ke lantai, semua barang-barang habis dilalap oleh dijago merah. Tidak ada yang tersisa sedikitpun, entah berapa kerugian yang harus Gibran tangung."Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut," ucap salah satu pegawainya."Iya, entah berapa kerugian yang harus, pak Gibran tanggung," sahut yang lain."Iya, malah bisa-bisa kita nggak gajian, untuk menutupi ini semua," timpal yang lain lagi."Hus, jangan keras-keras. Kalau, pak Gibran denger bagaimana, dia kan lagi berduka," sergah yang lain. Sontak mereka diam.Setelah itu Gibran bangkit, ia menatap semua pegawainya yang masih berkumpul di depan gudang. Setelah itu Gibran menyuruh mereka untuk kembali bekerja, meski terlihat jika mereka tidak memiliki semangat untuk kerja."Anton, kapan kejadiannya?" tanya Gibran."Satu jam sebelum para karyawan datang, Pak," jaw
Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah."Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil."Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tib
Seminggu telah berlalu, sejak pertemuannya dengan Alya di resto waktu itu. Kini Gibran mulai berpikir jika anak yang Alya kandung bukanlah anaknya. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, dan mungkin Gibran juga sudah termakan oleh perkataan Safira.Kini Gibran tidak peduli lagi dengan perceraian itu, bahkan dirinya tidak akan mempersulit jalannya sidang nanti. Saat ini Gibran memilih fokus pada perusahaannya yang terancam bangkrut. Gibran sudah berusaha untuk mencari bantuan, tapi hasilnya tetap sama.Sudah lebih dari dua puluh perusahaan, yang ia ajak untuk kerja sama, agar bisa menyelamatkan perusahaan miliknya. Namun hanya penolakan yang Gibran terima, rasanya ia seperti kehilangan harga diri. Hendak meminjam uang ke bank, tapi hasilnya juga sama, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang.Gibran tidak tahu harus berbuat apa lagi, otaknya berasa ingin pecah. Terlebih saat melihat kelakuan Safira dan ibunya, yang seperti tidak memiliki pe
Kini Alya sudah ada di rumah sakit, Yulia terus mondar-mandir di depan ruangan di mana putrinya berada. Khawatir, panik, dan takut menjadi satu, Yulia hanya bisa berdo'a agar Alya baik-baik saja. Selang beberapa menit, Gunawan datang, pria berkemeja putih itu melangkah tergesa-gesa menghampiri sang istri."Bagaimana keadaan Alya, Ma?" tanya Gunawan. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir."Mama nggak tahu, Pa. Dokter belum keluar," jawab Yulia dengan air mata yang terus menetes."Kita berdo'a saja, semoga putri kita baik-baik saja." Gunawan merengkuh tubuh istrinya agar merasa lebih tenang.Selang sepuluh menit, pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar, melihat itu Gunawan dan Yulia bergegas bangkit dan berjalan menghampiri dokter tersebut. Mereka berharap semoga keadaan Alya baik-baik saja."Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Gunawan."Untuk saat ini kondisinya belum stabil, dan luka yang dider