Share

Perubahan Gibran

Safira tersenyum saat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Ratna. Sementara Alya masih diam, ia berusaha untuk bersikap tenang. Gibran berjalan menghampiri mereka Alya dengan tatapan mata yang tajam. 

"Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku iya?" tanya Gibran penuh dengan penekanan. 

Alya terdiam sejenak. "Memangnya kenapa? Mereka pantas mendapatkan ini. Aku bukan wanita lemah yang seenaknya diinjak-injak begitu saja."

Plak, satu tamparan mendarat di pipi mulus Alya. "Sekarang kamu berubah, di mana Alya yang dulu."

Alya mengusap pipinya yang terasa panas. "Aku berubah juga gara-gara kamu, dan sepertinya bukan aku saja yang berubah, tapi kamu juga. Setelah kamu menikahi sahabat tidak tahu diri itu, kamu berubah."

Gibran kembali mengangkat tangannya kembali, dan hendak menampar pipi Alya kembali. Namun niatnya terhenti saat melihat sorot mata istrinya yang terlihat seperti menahan rasa sakit. Gibran sadar, jika keputusannya untuk menikah dengan Safira adalah kesalahan terbesar. 

Namun, Gibran tidak bisa menolak keinginan ibunya, dan almarhumah ibu Safira. Gibran menurunkan tangannya kembali, tetapi pandangan matanya tak beralih dari netra istrinya. Sementara Alya memilih pergi dari ruangan tersebut. Ingin rasanya melampiaskan amarahnya, tetapi Alya sadar jika dirinya tengah hamil. 

"Mas, kenapa nggak kamu ceraikan saja si Alya sih. Lama-lama dia bahaya, kamu mau aku sama mama nanti diam-diam dihabisi sama Alya," ungkap Safira, wanita itu benar-benar tidak punya rasa malu. Sudah menggaet suami sahabat sendiri, sekarang malah mengomporinya untuk bercerai. 

"Safira benar, lebih baik kamu dan Alya bercerai. Sekarang baru gilingan cabai, nanti bisa-bisa racun. Kamu mau mama dan Safira .... "

"Cukup, Ma. Aku pusing dengan masalah yang ada, mungkin benar apa yang Alya katakan. Aku yang berubah, aku juga merasa setelah menikah dengan Safira, masalah selalu datang." Gibran memotong ucapan ibunya. 

"Jangan bod*h kamu, lama-lama kamu bisa dimanfaatkan sama dia. Lebih baik kamu lepaskan saja, sebelum terlambat," ujar Ratna. Ia akan mencari cara apapun agar Gibran dan Alya berpisah. 

Gibran menghembuskan napasnya, setelah itu ia memilih untuk masuk ke dalam kamar. Ia ingin melihat Alya, Gibran merasa bersalah karena tadi menamparnya. Tidak ada niat untuk melakukan hal itu, selama menikah baru kali ini Gibran dan Alya bertengkar sehebat ini. Sebenarnya tidak pernah. 

Ceklek, Gibran membuka pintu kamar istrinya, terlihat Alya tengah berbaring di atas ranjang. Dengan ragu Gibran melangkahkan kakinya menghampiri sang istri, sementara Alya hanya diam, ia tak peduli dengan kedatangan suaminya itu. Dadanya masih bergemuruh mengingat kejadian tadi. 

"Alya, maaf untuk yang tadi. Apa ini masih sakit?" tanya Gibran. Tangannya terulur untuk menyentuh pipi mulus istrinya. Namun dengan kasar Alya menipisnya. 

"Tamparan ini sama sekali tidak terasa sakit. Tapi perbuatan kalian yang menyakitkan." Alya memiringkan tubuhnya, membelakangi Gibran. 

Gibran menghela napas. "Maaf, aku benar-benar tidak bermaksud untuk menghianati pernikahan kita. Aku melakukan ini karena .... "

"Cukup, Mas. Aku tidak mau mendengar apapun lagi, bagiku semuanya sudah jelas." Alya memotong ucapan suaminya. Kali ini Alya bangkit dari tempat tidur dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. 

Gibran terdiam, ia mencoba memahami ucapan Alya. Semua itu terjadi memang gara-gara dirinya sendiri, andai tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin hubungan pernikahannya tidak akan seperti sekarang. Gibran mengusap wajahnya dengan kasar, penyesalan tak guna. 

***

Malam telah tiba, usai makan malam Alya memilih langsung ke kamar. Dadanya terasa sesak saat melihat Gibran dan Safira berduaan seraya menonton televisi. Safira memang teman yang nggak punya muka, suami sahabat sendiri bisa-bisanya digaet. Sementara Gibran pun sama, menikah tanpa persetujuan dari Alya. 

"Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah, orang-orang seperti mereka pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal," batin Alya. Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. 

Alya menoleh ke arah pintu, terlihat suaminya berjalan masuk ke dalam. Enak banget jadi laki, setelah bermesraan dengan istri mudanya, kini tinggal bersama dengan istri tuanya. Alya menggelengkan kepalanya, rasanya ia tidak sudi lagi melayani suaminya. Alya tidak pernah rela berbagi suami. 

"Alya malam ini aku tidur di sini ya," ujar Gibran seraya duduk di tepi ranjang. 

"Tidur aja di kamar istri mudamu, aku mau tidur sendiri," sahut Alya tanpa menoleh. 

Gibran menghela napas. "Kamu masih istriku, jadi terserah aku mau tidur dengan siapa. Dan satu lagi, hampir dua minggu kamu mengabaikanku, jadi aku minta jatah malam ini."

Alya bangkit mendengar hal itu. "Apa?! Jatah, apa aku tidak salah dengar? Apa kamu lupa, Mas. Saat kita akan melakukannya, tiba-tiba kamu pergi tanpa ada rasa bersalah, tanpa memikirkan perasaanku bagaimana. Kamu lupa itu, Mas. Laki-laki memang sama, seperti kucing jika disodori ikan pasti akan dilahapnya juga. Padahal sudah kenyang tiap hari makan ikan."

"Alya, aku kan sudah minta maaf. Pokoknya aku tidak mau tahu, malam ini kamu harus memuaskanku." Gibran naik ke atas ranjang dan dengan kasar menindih tubuh istrinya. 

"Lepas, Mas! Aku tidak mau, sekarang kamu keluar dari kamar aku!" teriak Alya. Ia benar-benar tidak sudi lagi melayani suaminya. 

"Kamu berani menolakku." Gibran mengangkat tangan kanannya dan hendak melayangkan tamparan di pipi istrinya. 

"Ayo tampar, kamu pikir aku takut iya," tantangnya, seketika Gibran diam dan perlahan menurunkan tangannya. 

"Mas, ayo tidur. Aku nungguin kamu loh." Safira menggedor pintu kamar Alya. Sontak Alya dan Gibran terkejut. 

"Tuh, istri mudamu. Sekarang, Mas keluar," titah Alya. Dengan terpaksa Gibran bangkit dan beranjak turun. Pria dengan balutan kaos berwarna putih itu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Alya. 

Setelah Gibran keluar, Alya langsung mengunci pintu kamarnya. Tak peduli jika ia menolak keinginan suaminya. Alya benar-benar tidak rela kalau harus berbagi suami. 

***

Pagi telah menyapa, pukul enam Alya terbangun, wanita berambut panjang itu menggeliatkan tubuhnya. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual, dengan cepat ia bangkit dan berlari masuk ke dalam kamar mandi. Alya memuntahkan isi perutnya, tetapi hanya cairan bening yang keluar. Setelah mencuci wajah dan mulutnya Alya bergegas keluar dari kamar mandi. 

"Ternyata begini ya, nikmatnya hamil muda," ucap Alya seraya mengelus perutnya yang masih datar. 

"Kok tiba-tiba aku pengen lontong sayur sih. Emm, kayaknya enak banget, lebih baik aku siap-siap aja deh," ujarnya. Alya pun bergegas mengambil handuk dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi.

Namun tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar, dan suara itu adalah suara Gibran. Alya mendengus kesal, untuk apa pagi-pagi seperti ini datang ke kamarnya. Dengan langkah terpaksa, Alya membukakan pintu terlebih dahulu. 

"Mau ngapain?" tanya Alya. 

"Mau ambil baju kerjaku," jawab Gibran. Sementara Alya hanya ber-oh ria. Gibran berjalan menuju almari pakaian lalu membukanya. 

Gibran mengambil kemeja berwarna merah maroon, celana panjang hitam dan juga jas. Setelah itu ia menutup pintu almarinya, tetapi tiba-tiba sebuah amplop jatuh tepat di hadapan Gibran. Mata Alya membola saat tahu jika amplop yang jatuh adalah amplop yang berisi hasil pemeriksaan kehamilannya. 

"Amplop apa ini." Gibran mengambil amplop tersebut, seketika Alya terkejut, ia takut jika kehamilannya akan diketahui oleh Gibran. Meski Gibran itu suaminya sendiri, tapi pria itu telah mengkhianatinya. Rasanya Alya tidak rela, jika Gibran dan ibu mertuanya tahu kalau saat ini ia tengah hamil. 

________

Alya ayo rebut amplop itu, jangan biarkan suami tak tahu diri seperti Gibran tahu jika kamu hamil. Mulai susun rencana untuk membalas perbuatan mereka. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Elis Martini
jangan sampai tau
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Bikin mereka jd gembel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status