Penyesalan memang selalu datang terlambat, karena jika diawal itu namanya pendaftaran. Kini Gibran hanya bisa meratapi nasibnya, istri pergi, saham yang sudah kurang lebih satu tahun ia kelola kini diambil kembali. Rasanya Gibran ingin menangis, mungkin jika hanya saham yang diambil, ia masih bisa terima. Namun, Alya juga ikut pergi, terlebih sang istri dalam keadaan hamil.
Selama setahun menantikan buah hati, setelah terwujud, justru Gibran tidak bisa memilikinya, karena sang istri memilih untuk pergi. Andai ia tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang ini. Mungkin saat ini Gibran tengah berbahagia karena kehamilan Alya.
"Gibran, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ratna.
Gibran menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu, Ma. Alya sudah pergi ninggalin aku."
Ratna menghembuskan napasnya. "Untuk apa kamu memikirkan dia, biarkan saja dia pergi. Yang perlu kamu pikirkan adalah, bagaimana caranya kita bisa mengambil alih lagi saham itu. Lagi pula kan ada Safira, dia nggak kalah cantik dari Alya."
"Tahu, ah. Gibran pusing." Gibran beranjak meninggalkan ibu serta istrinya.
"Huh, dibilangin ngeyel," gerutu Ratna.
Sementara itu Gibran melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, di mana ia menghabiskan waktunya bersama dengan Alya. Kini kamar itu terasa sepi dan juga hampa, ranjang yang selalu merek gunakan untuk memadu kasih, kini kosong. Gibran duduk di bibir ranjang.
"Aku sangat merindukanmu, apa kamu tidak bahagia hidup bersamaku. Kenapa kamu pergi saat penantian yang kita tunggu itu tiba." Gibran mengusap foto pernikahannya dengan Alya yang berada di atas nakas.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka, seorang wanita dengan balutan dress berwarna putih berjalan menghampiri Gibran. Siapa lagi jika bukan Safira. Wanita itu duduk di samping suaminya, sementara Gibran hanya diam, rasa penyesalannya terus menggerogoti hati dan pikirannya.
"Mas, aku mau nunjukin ini sama kamu." Safira menyodorkan beberapa lembar foto pada sang suami.
Gibran menerima foto tersebut, lalu ia melihatnya satu persatu. Detik itu juga mata Gibran membulat sempurna, ia tidak menyangka jika Alya bisa melakukan hal serendah itu. Gibran pikir jika istrinya itu adalah wanita baik-baik, tapi kenyataannya tidak.
"Dari mana kamu dapat foto ini?!" tanya Gibran dengan meninggikan suaranya.
"Dari temen aku yang nggak sengaja lihat mereka, Mas," jawab Safira. Ia tersenyum licik saat melihat suaminya mulai percaya pada dirinya.
"Jangan-jangan bayi yang Alya kandung itu bukan anak kamu, makanya dia ngasih tahu kamu saat mau pergi. Jika bayi itu anak kamu, pasti Alya akan memberitahu kamu sejak dulu," ungkap Safira. Mendengar hal itu, darah Gibran serasa mendidih, serta rahangnya mengeras.
"Apa kamu yakin dengan apa yang kamu bicarakan?" tanya Gibran. Hati kecilnya menolak tuduhan itu, tapi otaknya menerimanya.
"Aku sangat yakin, buktinya akhir-akhir ini Alya berubah kan. Sudahlah, Mas. Untuk apa kamu memikirkan dia lagi, kan masih ada aku." Safira terus meyakinkan Gibran agar percaya dengan semua ucapannya itu.
"Oya, Mas aku lapar, tapi di rumah nggak ada makanan," ujar Safira. Seketika Gibran menoleh ke arah wanitanya itu.
"Memangnya kamu nggak masak?" tanya Gibran. Sementara Safira hanya menggelengkan kepalanya.
Gibran menghembuskan napasnya, Safira memang sangat berbeda dengan Alya. Alya pandai memasak dan tahu tugas seorang istri. Sementara Safira, ia hanya paham tugas istri saat ada di dalam kamar, selain itu hanya bisa duduk nonton televisi.
"Mas aku pengen makan di luar, sejak kita nikah, aku hanya diam diri di rumah. Aku bosen, pengen keluar," ungkap Safira.
"Ya sudah, sana siap-siap, sekalian ajak mama, siapa tahu mau ikut," titah Gibran.
"Ok, Mas." Safira mencium pipi kanan Gibran. Setelah itu pria beralis tebal itu beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
Tidak butuh waktu lama kini mereka siap untuk pergi, Safira terus tersenyum, usahanya untuk mendekati Gibran telah berhasil. Setelah itu, ia akan membuat Gibran benci terhadap Alya. Bukan hanya Safira saja yang senang, tetapi Ratna pun demikian.
"Mama mau ikut nggak?" tanya Safira.
"Nggak usah, kalian saja yang pergi, mama di rumah saja," jawab Ratna.
"Ya udah. Oya, Mama mau makan apa, nanti sekalian beli iya kan, Mas." Safira menyenggol lengan suaminya.
"Iya, Mama mau makan apa?" tanya Gibran.
"Seperti biasa saja, kamu kan tahu makanan kesukaan mama," jawab Ratna.
"Ya sudah, kami pergi dulu." Setelah berpamitan, Safira dan Gibran beranjak pergi. Ratna tersenyum karena usahanya berhasil.
***
Di kediaman Gunawan, Alya tengah duduk bersama dengan ibu tercinta. Keduanya sama-sama melepas rindu, karena mereka jarang sekali bertemu. Yulia selalu ibunda Alya sibuk dengan usahanya, ia memiliki butik lebih dari sepuluh. Dan terkadang juga harus kumpul dengan teman-teman arisannya.
"Berapa usia kandungan kamu?" tanya Yulia.
"Baru satu bulan, Ma. Aku juga nggak tahu, saat aku periksa ke dokter, katanya satu bulan," jawab Alya.
"Sehat-sehat, ya. Semoga nanti lahirannya juga lancar," ujar Yulia seraya mengusap perut putrinya yang masih datar.
"Amin, Ma. Do'akan saja," ucap Alya.
"Oya, papa kemana, Ma?" tanya Alya, karena sejak sampai di rumah ia tidak melihat ayahnya. Alya pulang dengan diantar oleh Reyhan.
"Papamu sedang mengurus masalah yang menimpa kamu. Serahkan saja semuanya sama papa," jawab Yulia, Alya hanya mengangguk. Ia tahu orang tuanya tidak akan tinggal diam.
"Oya, Ma. Besok Alya ingin berkunjung ke rumah ibu, sama ayah, bolehkan?" tanya Alya.
"Boleh, Sayang. Mama juga mau ke sana, jadi besok bareng saja ya," jawab Yulia.
"Iya, Ma," sahut Alya.
Malam semakin larut, kini Alya sudah berada di kamarnya, wanita berambut panjang itu tengah berbaring di atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamar, masa lalu saat bersama dengan Gibran tiba-tiba berputar di benaknya. Memang indah, satu tahun hidup bersama, melewati susah dan senang bersama. Namun setelah hadirnya orang ketiga, semua berubah.
"Aku tidak boleh lemah hanya karena masa lalu, sekali penghianat, akan tetap menjadi penghianat," batinnya. Setelah itu Alya berusaha untuk memejamkan matanya.
***
Keesokan harinya, pukul enam pagi Gibran sudah siap dengan pakaian kantornya. Semalam ia tidur di kamar yang biasanya ia gunakan bersama dengan Alya. Kini Gibran tengah berjalan menuruni anak tangga, setibanya di bawah, ia melihat ibu serta Safira tengah sibuk menyiapkan sarapan.
"Sarapan dulu, Mas," ujar Safira. Gibran hanya mengangguk, lalu menarik kursi untuk duduk.
"Ini kamu yang masak?" tanya Gibran.
"Mama, aku cuma bantu doang," jawab Safira. Sementara Gibran hanya menghela napas.
"Ini, Mas." Safira meletakkan piring yang berisi nasi dan lauk di hadapan suaminya.
Kini mereka tengah menikmati sarapan bersama, tetapi tiba-tiba ponsel Gibran berdering. Takut ada yang penting Gibran bergegas mengangkatnya.
[Halo ada apa]
[Maaf, Pak. Gudang kebakaran]
[Apa! Kenapa gudang bisa kebakaran. Lalu bagaimana dengan .... "]
[Tidak ada yang bisa diselamatkan, Pak. Karena kebakaran itu terjadi satu jam sebelum para pegawai datang]
Gibran memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit, ini adalah kabar terburuk baginya. Saham sudah ditarik, dan kini gudang kebakaran. Padahal barang-barang yang akan di ekspor berada di dalam gudang, dan sekarang semuanya sudah lenyap.
[Sudah diselidiki, kenapa bisa terjadi kebakaran]
[Sudah, Pak. Polisi sudah ada di sini, dan penyebab terjadinya kebakaran karena korsleting listrik]
[Baik, sebentar lagi saya ke sana]
Gibran menutup sambungan teleponnya, lalu ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Masalah baru kini datang, ia tidak bisa membayangkan berapa kerugian yang harus ditanggung.
"Gibran ada apa?" tanya Ratna.
"Gudang kebakaran, Ma," jawab Gibran dengan lirih. Sontak Ratna dan Safira terkejut mendengar hal itu.
Kini Gibran sudah ada di kantor, ia pun langsung mengecek ke gudang. Seketika tubuhnya luruh ke lantai, semua barang-barang habis dilalap oleh dijago merah. Tidak ada yang tersisa sedikitpun, entah berapa kerugian yang harus Gibran tangung."Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut," ucap salah satu pegawainya."Iya, entah berapa kerugian yang harus, pak Gibran tanggung," sahut yang lain."Iya, malah bisa-bisa kita nggak gajian, untuk menutupi ini semua," timpal yang lain lagi."Hus, jangan keras-keras. Kalau, pak Gibran denger bagaimana, dia kan lagi berduka," sergah yang lain. Sontak mereka diam.Setelah itu Gibran bangkit, ia menatap semua pegawainya yang masih berkumpul di depan gudang. Setelah itu Gibran menyuruh mereka untuk kembali bekerja, meski terlihat jika mereka tidak memiliki semangat untuk kerja."Anton, kapan kejadiannya?" tanya Gibran."Satu jam sebelum para karyawan datang, Pak," jaw
Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah."Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil."Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tib
Seminggu telah berlalu, sejak pertemuannya dengan Alya di resto waktu itu. Kini Gibran mulai berpikir jika anak yang Alya kandung bukanlah anaknya. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, dan mungkin Gibran juga sudah termakan oleh perkataan Safira.Kini Gibran tidak peduli lagi dengan perceraian itu, bahkan dirinya tidak akan mempersulit jalannya sidang nanti. Saat ini Gibran memilih fokus pada perusahaannya yang terancam bangkrut. Gibran sudah berusaha untuk mencari bantuan, tapi hasilnya tetap sama.Sudah lebih dari dua puluh perusahaan, yang ia ajak untuk kerja sama, agar bisa menyelamatkan perusahaan miliknya. Namun hanya penolakan yang Gibran terima, rasanya ia seperti kehilangan harga diri. Hendak meminjam uang ke bank, tapi hasilnya juga sama, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang.Gibran tidak tahu harus berbuat apa lagi, otaknya berasa ingin pecah. Terlebih saat melihat kelakuan Safira dan ibunya, yang seperti tidak memiliki pe
Kini Alya sudah ada di rumah sakit, Yulia terus mondar-mandir di depan ruangan di mana putrinya berada. Khawatir, panik, dan takut menjadi satu, Yulia hanya bisa berdo'a agar Alya baik-baik saja. Selang beberapa menit, Gunawan datang, pria berkemeja putih itu melangkah tergesa-gesa menghampiri sang istri."Bagaimana keadaan Alya, Ma?" tanya Gunawan. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir."Mama nggak tahu, Pa. Dokter belum keluar," jawab Yulia dengan air mata yang terus menetes."Kita berdo'a saja, semoga putri kita baik-baik saja." Gunawan merengkuh tubuh istrinya agar merasa lebih tenang.Selang sepuluh menit, pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar, melihat itu Gunawan dan Yulia bergegas bangkit dan berjalan menghampiri dokter tersebut. Mereka berharap semoga keadaan Alya baik-baik saja."Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Gunawan."Untuk saat ini kondisinya belum stabil, dan luka yang dider
Hari demi hari telah berganti, bahkan bulan pun demikian. Proses perceraian antara Alya dan Gibran berjalan dengan lancar, Gibran sama sekali tidak mempersulit jalannya sidang. Dan sekarang mereka hanya tinggal menunggu sidang terakhir, di mana mereka akan benar-benar resmi bercerai.Sementara itu, Safira masih mendekam dipenjara, Gibran dan Ratna datang menjenguknya setiap tiga hari dalam seminggu. Gibran sempat kecewa karena Safira sudah mengaku jika dirinya yang telah menabrak Alya dengan sengaja.Namun semuanya sudah terjadi, Gibran berharap setelah keluar dari penjara Safira dapat berubah. Lalu, untuk Alya, sampai detik ini ia ingin sekali menemui Safira, tetapi kedua orang tuanya melarang. Alya boleh menemui Safira, setelah resmi bercerai dengan Gibran. Yulia dan Gunawan khawatir, kalau mereka akan memanfaatkan keadaan.Saat ini Alya tengah duduk santai di taman samping rumah. Tanaman bunga yang beraneka warna dan jenis, menambah in
Kini mereka berkumpul di rumah Gunawan, sudah saatnya Gibran dan Ratna tahu siapa Alya yang sesungguhnya. Gunawan akan menceritakan kepada mereka tanpa menutupinya sedikitpun. Rasanya Gibran sudah tidak sabar ingin mendengar kebenarannya, ia tidak menyangka jika ada rahasia besar di balik pernikahannya."Gibran, apa kamu siap mendengarnya?" tanya Gunawan, untuk memastikan."Siap, Om." Gibran mengangguk. Ekor matanya selalu melirik ke arah Alya."Baik, dua puluh tiga tahun yang lalu, Yulia melahirkan seorang putri yang sangat cantik, yaitu Alya. Saat itu usiamu baru enam tahun, tetapi karena rasa iri Ratna, dia membuang Alya saat usianya baru satu bulan. Karena Ratna bukan hanya saja iri, tapi cemburu lantaran yang menikahinya bukan aku, melainkan adikku, Indra." Gunawan menghela napas."Ratna pernah mengutarakan perasaannya terhadapku. Namun, aku lebih memilih Yulia, mungkin itu yang membuat Ratna membuang Alya. Beruntung, ada sepa
Keesokan harinya, polisi berhasil menangkap, Safira kembali. Sekarang wanita itu sudah kembali masuk ke dalam jeruji besi, Alya pun kini sudah ada di sana. Meski, Safira selalu berbuat jahat, Alya masih mempunyai hati dan perasaan, bahkan ia berniat untuk mengurangi masa tahanannya."Kamu seneng kan, lihat aku seperti ini. Puas kamu!" bentak Safira. Sorot matanya menunjukkan rasa benci.Alya tersenyum. "Mungkin benar apa katamu, aku senang. Tapi tidak denganku, meski aku benci, tapi justru aku merasa kasihan melihatmu seperti ini.""Cih, aku nggak percaya. Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, aku nggak butuh kamu," usirnya. Safira benar-benar tidak suka akan kehadiran, Alya."Kamu tenang aja, aku nggak lama kok. Aku cuma mau bilang, kalau aku akan mengurangi masa tahanan kamu," ungkap Alya. Seketika Safira diam, dan menatap mata wanita yang kini duduk berhadapan dengannya.Safira menyunggingkan senyumnya. "Aku nggak per
Hari demi hari telah terlewati, sementara bulan terus berjalan. Genap sebulan Alya bekerja di perusahaan ayahnya, bahkan perusahaan itu yang dulunya dipegang oleh Gibran. Kini, Alya yang berkuasa di perusahaan tersebut. Awalnya, Alya tidak tertarik, tetapi untuk mengurangi rasa bosan. Akhirnya ia mau.Saat ini, Alya tengah sibuk dengan tumpukan berkas yang harus ia tanda tangani. Jujur, Alya sering merasa kewalahan, karena sebelumnya ia tidak pernah bekerja di kantor. Namun, Alya akan terus mencobanya, ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya."Huft, ternyata capek juga ya," keluhnya. Alya menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri, agar terasa rileks.Tiba-tiba saja ponsel, Alya berdering, dengan segera ia meraih benda pipih tersebut. Saat dicek, tertera nama Rayhan, Alya pun segera menggeser tombol berwarna hijau agar sambungan telepon terhubung.[Assalamu'alaikum, Rey ada apa][Wa'alaikumsalam, aku cuma mau ngajakin