Hari ini Devit membawa sebagian barang-barang ke kontrakan. Sebuah televisi layar datar, kompor gas, dua buah kursi, dan satu buah meja. Ada juga ranjang berukuran seratus enam puluh yang langsung di taruh dia ruangan tengah kontrakan. Aneka perabotan dapur, alat mandi serta lemari kecil untuk menyimpan pakaiannya.
"Terimakasih, Pak," ucap Devit ramah kepada supir mobil box yang sudah membantu Devit pindahan hari ini, sembari memberikan amplop kepada sopir tersebut.
Juwi memperhatikan. "Barangnya lengkap banget, jangan-jangan udah ada istrinya Wi," bisik ibu Juwi yang bernama Nurmala.
"Kayaknya sih masih bujangan, Bu," sahut Juwi sambil menatap ke arah Devit.
"Udah selesai angkut barangnya, Pak?" tanya Juwi berbasa-basi sambil tersenyum.
"Oh, iya, De. Alhamdulillah sudah," sahutnya ikut tersenyum ramah.
"Oh sukurlah, Istrinya mana, Pak?"
"Oh ... eh ... belum ada, insya Allah sebentar lagi," sahut Devit. Seketika mengingat wajah Sarah, calon istri sholihahnya yang belum ia kabari.
"Barang Bapak banyak juga, saya kirain udah beristri, soalnya wajah bapak mmm ... sedikit boros," ujar Juwi dengan wajah tanpa dosa.
"Perlu bantuan, Pak?" Juwi menawarkan dengan serius."Boleh!" Devit menyeringai senang.
"Baiklah, sebentar, Pak." Juwi menengadahkan tangan.
"Ya Tuhan, semoga beberes pindahan Pak Devit dimudahkan. Aamiin," ucap Juwi lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Devit dan bu Nur bengong.
"Tuh, saya udah bantuin doa, Pak
" Juwi terkekeh. Sedangkan Devit jadi salah tingkah sendiri, akhirnya ikut tertawa."Oh ya Pak." Langkah Devit terhenti.
"Ini kenalkan ibu saya, namanya Bu Nurmala, panggilannya Bu Nur," terang Juwi. Devit mengangguk hormat dan lagi-lagi tersenyum ramah dan manis.
Setelah Devit pamit masuk rumah, Juwi pun kembali menjaga warung, sambil sesekali membuka medsos. Membaca gosip artis, info-info terapdet yang dibagikan akun lambe curah. Selain itu Juwi suka melihat youtube menonton serial india, menyanyikan lagu-lagu india. Pokoknya mak-mak banget deh. Padahal Juwi baru sembilan belas tahun lho.
Dil laga liyaaa...
Maine tumse pyaar karke
Tumse pyaar karke
Tumse pyaar karke
Dil chura liya..
Maine ikraar karke
ikraar karke..ikraar karke..
" De Juwi, ada obat ...," ucapan Devit terputus, fokusnya menatap wajah Juwi yang menghadap ponselnya.
Woooww..india...bagus juga suaranya. ucapan itu tentu tak mampu terucap dari bibir Devit. Lelaki itu hanya bergumam. Cepat Devit mengalihkan pandangan dari Juwi yang masih asik bernyanyi.
"De...de...," panggil Devit sambil mengetuk tutup toples permen.
"Ehh ... iya, Pak. Maaf, keasikan nyanyi jadi gak denger!" Juwi tersenyum salah tingkah.
"Mau beli apa, Pak?"
"Obat sakit gigi ada?" tanya Devit.
"Jangankan sakit gigi, Pak. Sakit hati aja saya ada obatnya," ujar Juwi sambil terkikik, namun tangannya tetap meraih kotak obat untuk mencari obat yang diinginkan Devit.
"Ini, Pak. Delapan ribu."
Devit lalu menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan. Juwi memberi kembaliannya.
"Pak, suara saya tadi bagus gak?" tanya Juwi dengan cueknya.
"Mmm...bagus."
"Cocoklah masuk dapur," lanjutnya lagi.
"Dapur rekaman, Pak? Serius?" Juwi berbinar dengan wajah yang merona.
"Dapur umum." Devit berbalik badan lalu tertawa cekikikan.
"Hei, orang tua, hei!" teriak Juwi tak terima. Namun Devit terlanjur masuk ke dalam rumah. Juwi mengumpat kasar, wajahnya manyun. Devit mengintip dari jendelanya, gadis yang aneh.
****
"Ampun deh, dari dulu kenapa susah banget sih mau pasang gas?" gerutu Devit. Minta tolong sama siapa ya? Devit bermonolog sambil mengintip ke arah jendela. Tak ada lelaki yang lewat, sekalinya ada tukang jarpit, itu juga dirubungin ibu-ibu.
Padahal mah tampangnya biasa aja, tapi kenapa dia menang banyak? Ck, mana ngetemnya depan warung Juwi lagi. Devit masih asik mengamati ibu-ibu yang berkumpul di satu titik. Sesekali Devit memergoki si Abang jarpit melirik manis ke arah Juwi yang kini tengah memilih aneka pernak pernik.
"Mau beli apa Neng Juwi?" tanya si Abang jarpit.
"Mau beli hati Abang," goda Juwi sambil cekikikan, ibu-ibu yang lain ikut terkekeh.
Ya ampun Juwi sama abang jarpit aja kegatelan. Devit bermonolog.Devit menatap dengan kasian. Anak jaman sekarang, candaannya pada berani-berani. Devit kembali ke dapur, mencoba lagi memasang gas, namun berkali-kali gagal. Perutnya sudah lapar, tenggorokannya ingin diisi dengan teh hangat, tapi gas belum juga terpasang. Devit berjalan membuka pintu. Tampak Juwi dan ibu-ibu yang lain masih asik ketawa-ketiwi, dengan wajah merona si abang jarpit.
"Dek Juwi!" panggil Devit dengan suara agak keras. Juwi menoleh ke Devit lalu menggerakkan kepalanya. Seolah bertanya ada apa. Devit memanggil Juwi dengan tangannya. Juwi pamit ke ibu-ibu.
"Bentar ya Ibu-ibu, bapaknya anak-anak manggil tuh," ucap Juwi sambil tersenyum genit.
"Awas, Mas, jangan dekat-dekat Juwi, dia gigit lho!" ledek ibu yang berdaster biru.
Duh, setiap hari harus menyaksikan daster melambai-lambai begini. Sabaar...sabar..harus banyak dingajiin nih, Biar ga tergoda.
Devit hanya tersenyum meladeni ledekan ibu-ibu tersebut. Juwi mendekat sambil memegang kunciran rambut berwarna merah muda dengan motif hello kitty.
"Ada apa, Pak?" tanyanya.
"Mmm...ini, saya...tidak bisa pasang gas." Devit sudah ingin menceburkan dirinya ke kolam soang. Malu ditahan.
"Apa? Bapak ga bisa pasang gas?serius?" tanya Juwi, ekspresinya tidak percaya
"Heh ....iya De, tolong ya." Devit sedikit memelas.
"Ha ha ha ...." Juwi tertawa keras hingga seluruh orang yang berada di sekitaran mereka menoleh.
Juwi hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Bapak lucu, jenggot doang lebat!" ledeknya kini sambil masuk ke dalam rumah Devit menuju dapur.
"Sini saya ajarkan Bapak!" Juwi menarik tangan Devit agar berjongkok bersamanya.
Drt..drrt..
Devit seperti terkena serangan listrik. Tangan Juwi terasa halus saat menyentuh lengannya.
Beep..beep...beep..
Ponsel Devit berdering. "Sebentar ya, De, saya angkat telepon dulu." Devit pamit ke ruang tengah tempat di mana ia menaruh ponselnya tadi.
Mama.
["Hallo Assalamualaikum, Ma."]
["Wa'alaykumussalam. Bagaimana Vit? Sudah dapat kontrakannya?" ]
["Sudah, Ma. Ga jauh dari kampus."]
["Tukang sudah mulai hari ini?"]
["Sudah, Ma."]
"Paak, Bapak kok lama sih?" panggil Juwi dari dapur.
"Bantuin nih, saya susah bukanya," suara Juwi seperti sedang merengek manja.
["Devit...suara perempuan siapa itu?"]
"Aah...itu...mah."
"Pak, jadi ga nih?" suara Juwi kembali terdengar sangat seksi.
["Ma, udah dulu ya..nanti Devit jelasin, Devit lagi repot banget hari ini."]
["Kamu berhutang penjelasan Vit."]
"Sayaaang...kok lama banget sih bicara di telponnya," rengek Juwi manja yang dibuat-buat. Juwi mengira pacar Devitlah yang menelpon. Juwi sudah cekikian di sekat dapur
["Ya ampun, Devit...itu apa sayang..sayang?"]
Mentari pagi sudah menyingsing, banyak orang berlalu lalang memulai aktifitasnya di jum'at pagi ini. Devit memperhatikan lingkungan sekitar tempat ia mengontrak saat ini yang merupakan jalan utama. Jalan yang masih bisa dilalui mobil berukuran kecil sampai dengan sedang.Devit menyesap kopinya, duduk dekat jendela. Pilihannya di situ karena dia nyaman dan bisa melihat langsung ke tetangga sebelah. Astaghfirulloh...apa kini yang ada dalam fikirannya. Tak mungkin ia...aah..sudahlah, tak ingin hanyut dalam nafsu setan yang tak berkesudahan.Devit memutuskan kembali membuka laptopnya, mempelajari bahan ajar yang akan ia jelaskan pada mahasiswanya hari ini.Took..took..Pintu kontrakan Devit diketuk."Pak, assalamualaikum," seru Juwi, Devit hapal suaranya. Ia bergegas membuka pintu rumah dan ia lupa saat ini ia hanya mengenakan boxer pendek sepaha tanpa sarung. Biasanya Devit selalu menggunakan sarung dengan rapi."Wa'alaykumussalam," jawab
Malam ini malam jum'at. Seperti biasa Devit selalu mengaji Alqur'an menghabiskan satu juz setiap malamnya. Suara merdu Devit saat tilawah menggelitik telinga tetangga kanan dan kiri kontrakannya. Namanya juga kontrakan, yaa tentu bisik-bisik saja bisa terdengar, apalagi mengaji dengan suara merdu nan tegas.Hampir sebulan Devit tinggal di lingkungan itu, banyak sudah warga yang mengenal Devit, selain karena kesholihannya, sikap ramah dan peduli lingkungan, wajah Devit yang tampan menjadi magnet tersendiri, terutama bagi kaum ibu-ibu.Termasuk Juwi dan ibunya serta Salsa anaknya Juwi. Setiap malam Salsa mendatangi rumah Devit untuk belajar mengaji, hingga akhirnya rumah kontrakan Devit, selepas magrib pasti penuh dengan anak-anak yang antri belajar mengaji. Seperti malam ini, Salsa yang berumur tiga tahun mengetuk pintu rumah Devit.Tok..tok.."Accametum," ucap Salsa dengan lidah cadelnya."Wa'alaykumussalam Caca, sini masuk!" Devit yang
Juwi masih memangku kepala Salsa di kedua pahanya, Salsa tidur sangat pulas. Juwi sudah benar-benar tersadar saat suara teriakan wanita paruh baya membangunkannya dari tidurnya.Saat ini Juwi duduk bagai tersangka di depan mamanya Devit, Devit, dan juga adiknya Devit."Maaf sebelumnya, Bu. Saya tidak bermaksud ...," ucap Juwi menunduk menahan malu."Apa maksudnya kamu tidur di rumah anak saya?" tanya mama Devit terlihat tak suka pada Juwi yang penampilannya tak sopan."Dia anak kamu?" tanya mama Devit lagi ketus.Juwi mengangguk. Devit merasa kasihan dengan Juwi namun Devit membiarkan mamanya menginterogasi Juwi."Maafkan saya dan anak saya Bu, saya janji hal seperti ini tidak akan terulang lagi, Bu," ucap Juwi sambil menahan air matanya. Dia yang tak sengaja ikut tertidur bersama Salsa di ruang depan kontrakan Devit. Merasa sangat ceroboh dan malu. Belum pernah ia merasa sangat rendah diri seperti ini."Kamu tahukan anak saya s
Sejak malam itu, Devit semakin tak enak hati dengan Juwi. Meskipun saat ini Juwi sudah mulai bersikap biasa saja. Salsa juga sudah kembali ikut mengaji, datang paling pertama karena ingin membaca lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Namun ada yang seakan hilang dari kebiasaannya, yaitu panggilan papa yang biasa Salsa sebut untuknya, gini berganti dengan Om gulu. Devit yang penasaran, saat anak-anak asik mengerjakan latihan kaligrafi, Devit memangku Salsa lalu bertanya padanya."Ada apa Om gulu?" tanya Salsa saat tau--tau Devit memangkunya."Kok sekarang Salsa panggilnya bukan papa lagi?" bisik Devit, tak ingin anak-anak yang lain mendengar."Tata bunda da boleh, pangdilnya om aja," terang Salsa sambil membolak balik iqro'nya."Kenapa?" Devit heran dan ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya."Om gulu butan papa Caca, nanti bunda mau cali papa buat Caca tapi Caca halus sabal tata bunda.""Oh ... gitu, ya udah panggil
Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.Lelaki itu juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti? pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara."Maaf Juwi, Bu, saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas."Pak Devit ga papa?" tanya Juwi keheranan."Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan."Ya ampun Wi, Ibu jadi ga en
Juwi membuka warungnya pukul lima pagi. Mpo Leha mengantar dagangan aneka gorengan ke warung Juwi. Mpo Leha dibantu Juwi menatanya di atas etalase seperti biasa."Kok bikinnya sedikit, Mpok?" tanya Juwi saat menghitung aneka gorengan dengan jumlah masing-masingnya hanya dua puluh lima. Biasanya Mpo Leha membawa empat puluh sampai lima puluh gorengan per jenis."Iya Wi, Mpok bahannya kurang. Kirain hari ini Juwi libur," sahut Mpok Leha sambil duduk di kursi kecil yang berada di pinggiran warung."Iya Mpok, udah lama saya libur jualan, tabungannya udah tipis nih kayak pantat saya," sahut Juwi menepuk pantatnya sambil terkekeh. Tangannya asik memainkan sapu, menyapu lantai warung dengan semangat. Mpok Leha ikut tertawa mendengar ocehan Juwi."Mpok kok murung? Pengen kawin lagi ya?" Juwi kepo, tau-tau sudah duduk di samping Mpok Leha."Siapa sih Wi yang ga pengen berumah tangga lagi? cuma Mpok Leha ragu, takut gagal lagi.""Siapa tahu jodo
Selamat membaca😘Astaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain."Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.****"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran."Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu.""Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang."Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membaca😘Devit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad