Share

6. Devit Melupakan Janjinya

Sejak malam itu, Devit semakin tak enak hati dengan Juwi. Meskipun saat ini Juwi sudah mulai bersikap biasa saja. Salsa juga sudah kembali ikut mengaji, datang paling pertama karena ingin membaca lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Namun ada yang seakan hilang dari kebiasaannya, yaitu panggilan papa yang biasa Salsa sebut untuknya, gini berganti dengan Om gulu. Devit yang penasaran, saat anak-anak asik mengerjakan latihan kaligrafi, Devit memangku Salsa lalu bertanya padanya.

"Ada apa Om gulu?" tanya Salsa saat tau--tau Devit memangkunya.

"Kok sekarang Salsa panggilnya bukan papa lagi?" bisik Devit, tak ingin anak-anak yang lain mendengar.

"Tata bunda da boleh, pangdilnya om aja," terang Salsa sambil membolak balik iqro'nya.

"Kenapa?" Devit heran dan ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya.

"Om gulu butan papa Caca, nanti bunda mau cali papa buat Caca tapi Caca halus sabal tata bunda." 

"Oh ... gitu, ya udah panggil om guru juga ga papa Ca, ayo selesaikan mewarnainya," titah Devit kini telah menurunkan Salsa dari pangkuannya.

Mata Devit belum bisa terpejam, padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Biasanya Devit sudah tidur pukul sepuluh, untuk bangun lagi jam dua melaksanakan sholat tahajjud. Devit memutuskan duduk di dekat jendela, melihat keluar, jalanan amat sepi, hanya sesekali tukang nasi goreng atau tukang sate yang lewat. 

Devit membuka laptopnya membaca materi untuk besok. Namun ia tidak bisa berkonsentrasi. Devit masuk kembali ke kamarnya mengambil ponselnya.

Calon istri

"Assalamualaikum, Kak. Apa kabar?"

"Maaf menganggu malam-malam, kata mama kapan kakak ada waktu untuk fitting baju akad dan resepsi?"

Devit menepuk keningnya saat membaca pesan Sarah. Sepekan sejak kejadian Juwi yang marah padanya. Pikiran Devit benar-benar tak fokus, bagaimana bisa dia lupa pernikahanya sendiri akan digelar satu setengah bulan lagi? 

"Ya ampun, maafin kakak ya Sar," gumamnya. Lalu dengan cepat membalas pesan Sarah satu jam yang lalu.

"Wa'alaykumussalam. Maaf Dek Sarah, saya baru saja buka ponsel. Mudah-mudahan sabtu ini saya bisa pagi mungkin." 

Calon istri

"Alhamdulillah, baik Kak. Jam sembilan saya tunggu di rumah ya Kak." 

"Ya sudah kamu tidur, jangan begadang ya. Nanti kalau sudah sama saya baru bergadang." 

Sarah bersemu merah membaca pesan terakhir yang dikirim Devit. Bismillah semoga Allah memudahkan semuanya. 

Pagi ini Devit hendak memasak nasi goreng, namun kehabisan garam. Devit mengintip dari jendela. Warung Juwi sudah buka dan Juwi sedang melayani beberapa pembeli. Pagi hari di warung Juwi ada aneka gorengan dan lontong isi. 

Ada tetangga yang menitipkan dagangannya. Sesekali Devit pernah membelinya, namun untuk hari ini entah kenapa dia ingin memasak nasi goreng. Devit keluar kontrakan berjalan menuju warung. Ada dua orang ibu-ibu sedang memilih aneka gorengan.

"Eh ... Pak guru, beli apa, Pak?" tanya Bu Nuni.

"Eh..iya. Bu. Ini kehabisan garam mau bikin nasi goreng," ucap Devit sambil tersenyum pada Bu Nuni.

"Makanya cepat nikah,Pak, biar ada yang masakin sarapan," celetuk temannya Bu Nuni, Devit tak tahu namanya.

"Doakan saja, Bu, secepatnya." sahut Devit melirik ke arah Juwi yang kini juga menatapnya.

"Jadi mau beli apa, Pak?" tanya Juwi datar.

"Duh, jangan galak-galak Juwi, ntar jatuh cinta lho," goda Bu Nuni lagi.

"Aduh, Bu Nuni, pagi-pagi sarapannya mecin yaa? ngomongnya jadi ngaco," sahut Juwi yang tak suka mendengar ledekan bu Nuni. Bu Nuni dan temannya tertawa sedangkan Devit hanya tersenyum.

"Beli gulanya," ucap Devit.

"Lha, masak nasi goreng kok pake gula?" celetuk ibu yang satunya.

"Eh, salah, maksud saya beli garam, Wi." Devit salah tingkah dengan ucapannya, ibu-ibu rempong pada tertawa termasuk Juwi jadi ikut tertawa. Devit yang melihat tawa Juwi mendadak hatinya berbunga. Lalu Juwi menyerahkan sebungkus garam pada Devit.

"Tiga ribu," ucapnya.

Devit menyerahkan uang seratus ribu rupiah pada Juwi.

"Bapak duitnya dari kemaren merah terus, gak ada yang warna ijo apa, Pak? Saya gal ada kembaliannya ini." 

"Eh ... gak ada Wi, adanya merah semua." 

"Pamer!" cibir Juwi sambil mencebikkan bibirnya.

Dalam hati wanita itu bergumam, enak bener yang jadi bininya, kalau punya suami duitnya setiap hari warna merah tak habis-habis. Aah...seandainya...

"Ya udah saya beli gorengannya deh," ucap Devit sambil memilih aneka gorengan yang masih hangat. Ada risol, bakwan, lontong isi, kue dadar gulung, onde-onde, tempe goreng, tahu isi dan martabak tahu.

Devit membeli lima belas macam kue.

"Ayo bu, pilih aja, saya traktir." ucap Devit pada bu Nuni dan temannya.

"Benar, Pak?" Bu Nuni antusias. Devit mengangguk.

"Ayo Bu, kita ditraktir," ajak Bu Nuni pada temannya. Mereka akhirnya pulang dengan gembira,masing-masing membawa sepuluh macam aneka kue dan gorengan.

"Jadi berapa semua, Wi?" tanya Devit.

"Tiga puluh lima ribu," ucap Juwi lalu mengembalikan uang kembalian Devit.

"Salsa belom bangun ya?" tanya Devit basa basi.

"Belom."

"Mmm ... ibu mana?" 

"Ada lagi masak."

"Masak apa?" 

"Masak buaya." Juwi melotot. Devit terbahak.

"Udah sana masuk, ngapain sih nanya-nanya mulu?" Juwi memutar bola mata malasnya. Devit seakan anak yang patuh pada ibunya, dia mengangguk lalu melangkah meninggalkan warung Juwi.

"Saya gak keberatan kok, Salsa panggil saya Papa!" teriak Devit dari pintu rumahnya. Sontak ibu-ibu yang lewat begitu juga Juwi terkaget-kaget dengan ucapan Devit.

"Cie ... cie ... papa niih," ledek ibu-ibu yang lewat. Devit tersadar buru-buru masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Ya salaam...duh..otak suka korslet kalau deket-deket Juwi. Malunya.

"Dih, aneh!" Juwi berdecih, namun sedikit garis bibirnya tertarik ke atas. 

Sejak kejadian pagi itu, anak-anak murid pengajian memanggil Devit dengan panggilan papa. Ha ha ha ... sedangkan Salsa tetap memanggil om gulu.

Tibalah hari sabtu, Devit sudah rapi sejak sehabis shubuh. Kali ini ia duduk lagi di dekat jendela rumah kontrakannya, melihat ke arah warung. Kok tutup? Devit menyeruput tehnya lengkap dengan dua buah roti tawar sebagai sarapannya. 

Sebuah mobil berhenti di depan rumah Juwi, Devit masih memperhatikan dengan seksama. Tak lama keluarlah Juwi dengan menggendong Salsa yang tampak lemah, bersama ibunya yang membawa sebuah tas kecil. Penasaran Devit membuka pintu rumahnya dengan tergesa. Saat ibu sedang mengunci pintu Devit menghampiri dari tembok kecil samping kontrakannya.

"Kenapa, Bu? Mau ke mana?"

"Itu Salsa demam, Pak. Dari semalam ada kejangnya dua kali, makanya mau ke rumah sakit, saya permisi Pak," ucap ibu Juwi terburu-buru lalu setengah berlari ke dalam mobil taksi online.

Devit tiba-tiba khawatir, dengan cepat mengambil dompetnya lalu menutup pintu kontrakannya. Entah apa yang membuat Devit nekat mengikuti mobil tumpangan Juwi dengan naik ojek pangkalan yang tak jauh dari rumahnya. Devit melupakan ponselnya yang tertinggal di atas kasur.

Hanya memakan waktu lima belas menit, akhirnya Devit sampai di rumah sakit tempat Juwi membawa Salsa. Juwi baru saja akan menurunkan Salsa dari mobil.

"Biar saya saja," ucap Devit dengan sigap menggendong Salsa dari dalam mobil. Juwi dan ibunya terbengong. Devit melarikan Salsa ke ruangan IGD. Disusul Juwi dan Bu Nur. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter Juwi sakit demam berdarah dan disarankan untuk rawat inap.

"Wali pasien anak Salsa silahkan mendaftar ke administrasi," ucap salah satu perawat UGD.

Juwi berdiri hendak pergi kw tempat yang sudah diberi tahu perawat tadi.

"Saya temani," ucap Devit lagi. Juwi menautkan alisnya.

"Tidak usah, Pak. Biar saya saja," ucap Juwi lalu berjalan kembali tanpa mendengar ucapan Devit.

"Maaf Mbak, kamar perawatan kelas tiga penuh begitu juga dengan kelas dua, adanya kelas satu, VIP dan VVIP. Bagaimana?" jelas petugas counter pendaftaran.

"Kelas satu berapa per malam, Mbak?"

"Lima ratus lima puluh Mbak, belum obat dan lain-lain, mohon maaf kami belum membuka layanan BPJS ya Mbak," terang petugas administrasi rumah sakit.

"VIP saja." Devit menyela pembicaraan.

Juwi memandang Devit heran. "Jangan, Pak, saya tidak ada duitnya." 

"Biar saya yang selesaikan Juwi," sahut Devit, lalu memberikan kartu atm nya pada petugas.

"Saya deposit lima juta ya," kata Devit lagi. Juwi memandang Devit dengan keheranan. Kenapa lelaki ini baik sekali? Juwi bermonolog.

Kini Salsa sudah berada dalam kamar perawatan VIP. Ruangan yang sangat bagus. Lebih bagus dari rumah Juwi. Juwi dan Bu Nur baru kali ini masuk ke ruangan VIP rumah sakit mahal. Seperti di hotel-hotel kalau kata Bu Nur. Devit membawakan sarapan dari kantin rumah sakit. Mereka makan dengan lahap. Sedangkan Juwi makan sambil menyuapi Salsa makan bubur. 

Devit tertidur saat menunggui Salsa. Padahal Juwi hanya mengantar ibunya sampai depan untuk naik ojek online. Bu Nur pulang ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian ganti untuk Juwi. Juwi masuk kembali ke kamar perawatan Salsa. Melihat Devit tertidur dengan pulas. Senyum Juwi terbit. " Terimakasih, Pak," bisik Juwi yang kini tengah berjongkok di dekat Devit memperhatikan wajah tampan Devit. Seketika wajah Juwi jadi merona. Juwi ikut tertidur dengan posisi duduk di ujung sofa dekat kaki Devit.

****

Di sebuah rumah besar, tampak seorang gadis tengah cemas. Sudah hampir jam setengah dua belas, calon suami yang ditunggu belum datang juga. Ponselnya juga tidak diangkat dari pagi. Pesan juga tidak dibalas. Bahkan Sarah menghubungi calon mertuanya, khawatir terjadi apa-apa dengan Devit. Ya Allah Devit melupakan janjinya hari ini dengan Sarah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status