Share

10. Pernikahan Siri

Maaf Devit dan Juwi telat Update!!

Selamat membaca😘

Devit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok. 

Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham.

"Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan.

"Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jadi ..."

Devit menatap serius pada Sarah yang berhenti sejenak dalam ucapannya. 

Terlihat Sarah sedang mengambil nafas panjang, keputusannya memang berat, namun semua untuk kebaikan kedua belah pihak, terutama keluarga yang telah bersusah payah, membantu menyiapkan segala urusan yang berkaitan dengan pernikahan dirinya dan Sang dosen sebentar lagi.

"Saya tidak keberatan jika minggu ini kita menikah siri terlebih dahulu," ucapnya lantang, kini benar-benar menghunus ke dalam netra Devit. Devit melongo, tak percaya.

Bagaimana Sarah bisa mengambil keputusan senekat ini, Sarah adalah gadis perawan yang sholeha, bagaimana mungkin sampai rela dinikahkan siri, oleh dirinya, yang notabene mengerti hukumnya.

"Kamu tidak percaya saya?" tanya Devit dengan setenang mungkin, padahal hatinya sedang berdebar.

"Saya tidak percaya setan yang kapan saja bisa menghasut manusia untuk berbuat keburukan." 

Kini Devit tak bisa mengelak lagi, dialah yang memulai, maka dia pula yang harus mengakhirinya. Devit harus memantapkan hati dan dirinya, jika keputusan ini harus dia ambil.

"Baiklah, minggu ini kita akan menikah siri, saya akan menyiapkan semuanya. Kita menikah di rumah Sarah." Devit begitu yakin dengan ucapannya, sekilas diliriknya Sarah yang kini menyunggingkan senyum manis. Menatap hamparan rumput hijau yang seakan ikut bergembira bersamanya.

Benar saja, sepulang dari kampus sore hari, Devit ditelpon oleh mama dan papanya, perihal gosip yang beredar luas. Devit berusaha menjelaskan dengan rinci dan dengan bahasa halus, agar mamanya tidak emosi. Perihal ide Sarah yang menginginkan nikah siri juga Devit sampaikan. Kedua orangtua Devit menyambut baik hal tersebut. Tak masalah menurut mereka, malah semakin cepat semakin baik. 

"Baik kalau begitu, besok Mama dan Papa akan ke rumahmu. Sekarang sudah jum'at. Berarti dua hari lagi acaranya, kamu sudah mengontak ustadz yang biasa menikahkan siri?"

Devit baru sadar ternyata sekarang hari jumat, berarti dua hari lagi dia akan resmi menjadi seorang suami dari Sarah. Pandangannya tertuju pada warung depan, tempat dimana Juwi sedang melayani pembeli. 

Yah, Devit memang duduk di dekat jendela saat menerima telpon dari mamanya. Devit mengulum senyum melihat Juwi yang tertawa lepas. Devit menyukai tawa itu. 

Astaghfirulloh ... masih saja hati ini terusik dengan Juwi. Insya Allah keputusannya dan Sarah yang akan menikah minggu ini sudah tepat. Devit tak ingin mengotori hatinya dengan wanita lain. 

Untuk menghindari goyahnya hati, Devit seharian tak menampakkan diri keluar dari kontrakannya. Sesekali Juwi pun melirik ke arah dalam kontrakan Devit.

Juwi mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu.

"Bapak sakitkah?"

Isi pesan Juwi. Namun tak dibaca Devit. Hanya ceklis dua, tanda pesan terkirim. Hingga keesokan paginya, biasa Devit selalu merecokinya dengan segala macam tanya dan cerita, namun shubuh ini Devit tak menampakkan batang hidungya juga. Hanya pada saat tadi pulang sholat shubuh, Juwi menangkap bayangan Devit yang membuka pintu rumah kontrakannya. Devit juga tidak membeli sarapan di warung Juwi, Seperti biasanya. Sesuatu yang dirasa Juwi menghilang. Ah, entahlah.

"Hhhmm...kenapa juga aku harus khawatir?" Juwi berbisik dalam hatinya.

Salsa sudah mandi dan cantik, pagi itu. Menemani Juwi berjaga di warung. Sabtu pagi cuaca cerah, matahari terbit sangat terang. Para ibu menggelar cuciannya di depan rumah, agar cepat kering. Karena sudah sepekan gerimis selalu hadir dipagi hingga sore hari.

"Maaf Juwi, baru balas. Saya sehat kok. Hanya lagi sedikit sibuk, menyiapkan pernikahan saya yang akan dilaksanakan besok. Doakan saya ya Juwi." 

Juwi termenung membaca balasan WA dari Devit siang hari. Kenapa tiba-tiba dadanya bergemuruh, seluruh sendinya pun lemas. Ada apa dengan dirinya? Ini semua bukan karena kabar Devit akan segera menikahkan?

Dengan tangan gemetar. Juwi mengetik pesan untuk Devit.

"Oh baik Pak, semoga acaranya berjalan dengan lancar, bapak dan istri menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rohmah. Doakan saya juga menyusul ya pak." 

Begitulah isi balasan pesan dari Juwi. Devit merebahkan tubuhnya di kasur. Besok hari pernikahannya, tapi kenapa ia tak bersemangat. Dipejamkannya sebentar mata dan pikirannya.

Ia berharap ini semua mimpi. Apakah Juwi akan dia jadikan istri kedua saja? Ya Allah pikiran picik apa itu? tentu saja akan melukai Sarah dan keluarga besarnya. Hatinya sedikit condong kepada Juwi. Namun ia juga harus bersikap jantan, tak mungkin mundur lagi. Devit berharap, setelah menikahi Sarah, Devit bisa benar-benar menghilangkan Juwi dari bayang-bayang dirinya.

["Mama sudah di rumah Sarah ya, kamu perlu bantuan apa gitu, biar mama ke kontrakan kamu?"]

Mama Devit menelepon sore itu. Devit baru saja ingat, kalau dia belum beli cincin untuk Sarah. Karena memang rencananya mendekati hari H, Devit baru akan membelinya.

["Tidak, ma. Semua sudah aman. besok saya beserta ustadz yang akan menikahkan kami datang jam sepuluh ya ma. Tolong sampaikan pada Sarah."] 

Setelah menutup telponnya, Devit mengambil jaket dan memencet ponselnya, memesan taksi online. Dia harus pergi ke mall membeli cincin untuk Sarah. Perhiasan yang lainnya akan menyusul ia belikan. Devit mengunci pintu rumahnya, tak sengaja melihat ke arah warung Juwi, ada Salsa yang menatap kearahnya, Salsa tersenyum manis. Lalu melambaikan tangannya pada Devit. Entah dorongan apa yang membuat Devit menghampiri Salsa. 

"Salsa ikut pak guru yuk, mau?" tanya Devit. Juwi yang mendengar suara tak asing lagi mengintip dari balik toples-toples yang berjejer di etalase warungnya.

"Mau ke mana, Pak? Calon pengantin gak boleh keluar jauh-jauh lho," ledek Juwi sambil mengulum senyum. Seperti ada yang tertahan.

"Ada yang mau saya beli Juwi, saya boleh ajak Salsa gak?" izin Devit serius.

"Nanti merepotkan Pak, Salsa kan cerewet kalau diajak pergi." Juwi menolak halus. Namun tangan Salsa sudah menempel di lengan Devit.

"Caca mau ikut, tapi..cama bunda ya om gulu." Devit dan Juwi saling pandang.

"Bunda kan jaga warung Ca. Ga bisa ya sayang. Salsa sama Bunda saja ya di rumah. om gurunya sedang sibuk." Juwi menarik pelan lengan Salsa, namun Salsa bergeming. Malah kini menangis tersedu. 

"Ya sudah kamu ikut saja ga papa Juwi, ga lama juga kok. Gak usah dandan. Gitu aja kamu sudah cantik," ucap Devit tanpa melihat wajah Juwi yang sudah merona. 

Juwi memanggil ibu yang tengah mengangkat jemuran, meminta izin keluar sebentar. Dan ibu menjaga warung, tentu saja ibu Juwi mengizinkan. Bu Nur belum tahu perihal Devit yang akan menikah besok.

Kini mereka sampai di sebuah mall, Salsa memegang tangan Devit dengan tangan kanannya, dan bunda Juwinya di tangan kirinya. Tampak seperti sebuah keluarga.

"Kita ke sana yuk!" ajak Devit, sambil menunjuk sebuah toko emas besar.

"Saya belum beli cincin untuk calon saya." Devit setengah berbisik pada Juwi, diangguki oleh Juwi lalu ikut masuk bersama dengan Salsa juga. Devit bingung memilihnya, modelnya sangat cantik-cantik.

"Menurut kamu  bagus yang mana, Wi?" Devit meminta pendapat Juwi. Juwi malah menggaruk kepalanya ikutan bingung.

 "Cantik semua, Pak," gumam Juwi.

"Calon Pak Devit orangnya simple gak? Kalau orangnya simple, baiknya pilih cincin yang sederhana saja," saran Juwi yang diangguki Devit. Akhirnya pilihan Devit jatuh pada cincin polos, berhiaskan permata berlian. 

Mata Juwi berbinar menatapnya, bagus sekali. Pelayan toko yang melayani Juwi dan Devit ikut tersenyum manis.

"Ini saja Pak untuk istrinya? Gak mau tambahkan kalung untuk istrinya, Pak?" ucap pelayan sambil tersenyum pada Devit dan Juwi. Juwi tersenyum kikuk, pasti pelayan toko mengira dia adalah istri Devit.

"Coba kamu pake Wi." Devit menyodorkan cincin tadi. Juwi menggeleng.

"Jangan, Pak. Masa cincin untuk istri Bapak, saya yang cobain," tolak Juwi halus. Namun Devit memaksa, bukankah sebelum Juwi, si mba pelayan toko tadi juga mencobanya di jari manisnya. Dengan sedikit terpaksa Juwi mencoba cincin emas bermata berlian tersebut. Hampir menangis Juwi karena bagus banget saat dipakai di jarinya. 

Devit juga terpana. Sangat cocok di jemari lentik Juwi. Kembali Devit tersadar. Semua harus ia jalani. Setelah Devit membayar cincin tersebut, dengan sebuah kartu. Devit, Juwi, dan juga Salsa keluar dari toko emas tersebut. 

Salsa merengek ingin bermain mandi bola. Juwi melarang, namun Devit malah membolehkan. Jadilah Salsa dari sore hingga sebelum magrib puas bermain mandi bola, ditemani Devit dan juga Juwi. Mereka bertiga sholat di masjid yang berada di mall tersebut. Dilanjutkan makan sebuah restoran cepat saji. Salsa begitu antusias, berkali-kali tersenyum melihat kearah Devit dan bundanya.

"Bunda ... Om gulu jadi ayah Caca boleh tak?" tanya Salsa dengan polosnya.

Byyuurr

Air cola yang berada di mulut Juwi, menyembur keluar, ia kaget dengan ucapan Salsa yang begitu spontan.

****

Komen (24)
goodnovel comment avatar
Catur Agil
kemana neng
goodnovel comment avatar
Widya Nur Kartika Dewi
ayo terusin papa gulu
goodnovel comment avatar
Widya Nur Kartika Dewi
ah kok berhenti sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status