POV ARUM
"Jadi mana surat yang kemaren, ayok coba tanda tangani?" titah Luna, seketika aku gemetar sekaligus geram. Apa yang terjadi. Apa dokter itu yang salah? Gak mungkin, dokter itu tidak mungkin salah. Aku harus bagaimana sekarang? Aku tidak mungikin berikan hartaku gitu aja sama wanita itu. Ini pasti ada yang tidak beres disini. Tak mungkin data dari laboratorium itu salah. Kalo mas Tama itu benaran mandul! "Apa beneran ini tespesk dan USGmu? Beneran?" tanyaku, mas Tama tampak girang, dan wanita itu tak kalah senang. Seketika aku kalud, dan susah memutar otak bagaimana bisa wanita itu hamil. "Gak mungkin!" desisku, Luna berdesih dan sontak berucap."Kok bisa gak mungkin! Jelas-jelas sekarang aku tengah mengandung anaknya mas Tama! Kenapa kamu? Mau ngelak ya? Dasar wanita picik!" ujarnya. Aku bungkam tak habis pikir. Apa wanita ini berpikir bahwa aku akan memberikan hartaku begitu saja? DasaPOV IbuDrrrt drrrtt ....Bunyi ponsel berdering, hari ini Luna yang menjagaku. Resti anak bungsuku dijadikan budak setelah Iyem tak mau bekerja denganya sedangkan dia duduk manis didepanku dengan sesekali tersenyum."Buk... Semua sudah seperti semula. Mas Tama dia udah kembali lagi ke kantor. Dan aku jadi nyonya dirumah ini, tapi masalahku sekarang hanya Ibuk, buk! Karena ibuk mengetahui segalanya," bisiknya dengan tersenyum kecut. Aku gemetar hendak menimpuknya. Namun lenganku terasa lemah tak berdaya untuk diangkat."Kenapa? ibu mau marah?" ledeknya lagi memasang wajah datar."Buk, maaf. Aku harus segera pergi! Aku akan hasut mas Tama jual semuanya. Mengambil uangnya dan pergi deh dari sini," jelasnya dengan enteng. Aku coba menghela nafas sesak. Sontak Luna melirik Resti yang sedang mengepel."Bungsunya ibuk berbakat banget, buat jadi babu. Baguslah. Setidaknya aku gak keluar duit untuk sementa
POV LUNASialan aku harus bagaimana, aku bisa saja gila karena ini. Dulu mas Herman sekarang Resti sampai kapan aku akan tetap ikuti permainan dia. Jika aku tidak bersandiwara pasti aku mati juga ditangannya, mana aku janjikan padanya bahwa aku bakal ambil harta mas Tama secepatnya. Jujur, aku tidak ingin pergi bersama dia membawa kabur harta mas Tama. Tuhan bagaimana caranya aku bisa kabur dari jerat Dion. Pria psikopat dengan kelainan sekss itu. Mengenalnya adalah malapetaka yang terbesarDrrrrrrrrrrt drrrrrt...."Hallo?" ujarku gemetar mengangkat telpon dari Dion."Dia sudah lenyap. Aku temukan karung itu hanyut terbawa air," desisnya, aku mendegup dengan mata membulat dan gemetar. Belum percaya saja rasanya Resti sudah tiada dan akulah pembunuhnya."Aa-kk-u Tt-takut mas,"lirihku gemetar."Kamu tenang saja. Makanya jangan bertele-tele! Ambil uangnya dan segera pergi dari situ. Aku akan tetap mengawasimu," ujarnya
POV ARUMSore berkunjung, setelah mengambil keputusan untuk kembali ke rumah, Mas Hadi sangat marah dan kecewa padaku. Aku memang egois tapi aku harus lakukan ini. Bagaimanapun aku wanita bersuami. Sampai detik ini mas Tama belum menandatangani surat perceraian. Walau aku tak tau apa alasannya. Yang jelas kenyataannya aku masih istri sah mas Tama...*********Tok tok tok....!Bunyi ketukan pintu, membuatku gemetar. Aku persiapkan mentalku untuk menemui mereka terutama istri kedua mas Tama.Trakt!Bunyi daun pintu terbuka, mata Luna membulat saat melihat aku berdiri bersama bik Iyem membawa barang-barangku."Nng-apain kamu kesini?" tanyanya, tanpa pikir panjang aku nyelonong masuk dan menyapu pandangan ke seluruh ruangan."Bik rapikan kamar ya? Aku capek mau segera istirahat," titahku pada bik iyem"Baik non."Luna geram dan langsung menghampiriku menghunuskan
POV TAMA"Arum...apa yang terjadi?" tanyaku saat Arum masih nanar dengan tatapan mata berkaca-kaca."Arum?"panggilku lagi, Arum menoleh dengan tatapan hambar."Mas, maaf? Aku akan segera selesaikan ini," ujarnya berlalu pergi, aku kembali menghenyak kursi kerjaku dengan perasaan gundah. Pria itu, sebelumnya pernah dekat dengan Arum apa yang terjadi hingga Arum menjual semua aset padanya.Aku tidak tau bagaimana Arum menyelesaikan masalahnya dengan pria itu, masalah baru ini benar-benar membuatku pusing, tak ada yang bisa aku lakukan untuk perusahaan ini lagi, aku harus kembali ke rumah.Sesampai di rumah aku temui Luna tengah bermain dengan Geby, aku mencoba untuk tidak menemui dia dulu dan langsung mengecek kamar Resti. Rasa rindu dan penasaran padanya kenapa dia tiba-tiba menghilang dan mengirimi aku sebuah pesan misterius itu membuat banyak pertanyaan bersarang di kepalaku."Apa yang terjadi sebenarnya?
POV RESTIDua hari berlalu aku kembali ke rumah memantau keadaan dari kejauhan. Mendadak aku cemas melihat mba Arum sekarang tinggal di rumah bareng Luna dan mas Tama, takut-takut Luna juga perlakukan mba Arum sepertiku sebelumnya. Hatiku terenyuh saat melihat ibuk diajak jalan mbak Arum pakai kursi roda ke halaman rumah."Wanita itu? Mana dia?" lirihku. Hari sudah mulai gelap, mba Arum membawa masuk lagi ibuk ke dalam. Aku pun beranjak hendak pergi kembali ke rumah Irfan. Sekitar jarak lima meter aku melihat Luna turun dari taxi. Secepat kilat aku sembunyi di balik pohon."Ini sudah hari keberapa, aku belum juga bisa membujuk mas Tama, aku harus bagaimana?" gerutunya berjalan menuju pagar. Di bawah pohon ini minim pencahayaan, mungkin jika aku berdiri dari sini Luna akan melihatku seperti penampakan."Mba.. Luna," desisku memanggilnya, sontak saja langkah wanita itu terhenti dan membalik dengan gemetar. Aku tertunduk denga
PART POV RESTI Darahku serasa terhenti saat melihat pembunuh itu berada di depan pintu, aku tak menyangka dia bisa mengetahui keberadaanku, pria itu tertawa renyah melangkah masuk. "Jj-jangan mendekat!" bentakku mendorong pintu sontak saja pria itu menghempas pintu kuat hingga aku terjatuh. "Sayang sekali, aku harus habisi kamu malam ini cantik...," desisnya menyeret lenganku lagi untuk berdiri, aku gemetar dan coba berontak. "Lepas!" hardikku berusaha lepas dari cengkramannya. "Kalo di lihat-lihat kamu cantik juga?" desisnya memandangi dengan nafsu, aku jijik dan sekuat tenaga berontak. Pria itu menyeretku ke kamar hingga jemariku dapat menjangkau vas di lemari, secepat kilat aku layangkan ke kepalanya, Membuat cengkramannya terlepas dan tampak oleng memegangi kepalanya yang telah bersimbah darah. Seketika aku nanar melihatnya dan coba berlari keluar. Namun, aku salah, pria itu lebih sigap menangkis la
POV ARUM Mas Tama dia sangat kecewa padaku, hingga dia memilih diamkan aku di rumah, disini dirumah Hadi aku belum terbiasa, lagipula aku belum bercerai dengan mas Tama. Aku gundah entah apa pilihan yang harus aku ambil. "Arum?" sapa mas Hadi membuyarkan lamunanku di taman rumahnya. Sontak aku menoleh dan berkata. "Ya mas, sehabis mengantar Caca tadi les. Aku pilih balik lagi, ini sudah sore mas. Aku harus kembali pulang," tuturku, sedikit wajah mas Hadi berubah. "Pulang kemana? Ini rumahmu Arum," tekannya tak habis pikir. Aku berdesih sedikit dan berucap. "Mas aku males bahas yang beginian. Berapa kali aku katakan padamu mas. Aku belum bercerai dan aku masih istrinya mas Tama," ujarku, mas Hadi menghela nafas berat dan beranjak mengambil sesuatu.
POV ARUM'Mas Hadi maaf, aku diamkan mas seperti ini mas, mas memang yang terbaik tapi kita tidak di takdirkan untuk bersama, mas benar aku begitu mencintai mas Tama hingga aku tidak bisa membuat keputusan. Aku hanya ingin tinggal dengannya sekarang, entah kenapa aku tidak tega untuk membuat dia terluka. Aku sudah terbiasa denganya kami melalui susah dan senang bersama aku tau betapa rapuhnya mas Tama sekarang, aku tidak ingin pergi aku ingin bersama mas Tama hingga dia terasa sempurna saat bersamaku. Namun entah kenapa ada kalut dalam hatiku yang tak bisa aku artikan. Aku masih merasa bimbang.'"Arum!" bentak Risa membuyarkan lamunanku, aku menoleh ke pintu. Wajah temanku sudah tampak tak bersahabat aku coba memandanginya datar dan membuang muka. Palingan dia ingin membahas mas Hadi."Aku tak habis pikir ya sama kamu Rum? Kamu kembali kesini dan m