POV RESTITing nong.Bunyi bel bergema Asih tampak meninggalkan Arabela yang tengah tertidur dan segera beranjak ke pintu."Nona Cassandra Resnya ada?" tanyanya, darahku berdesir saat mendengar suara mas Aldi. Bergegas aku bersiap dan berdiri sembari menghela nafas untuk menghilangkan nervousku."Ada Tuan, silahkan." ujar Inem. Mas Aldi masuk aku menyambutnya dengan gaun hitam di tambah dengan aksen bling-bling yang menempel di lengan, leher dan telingaku sengaja aku pake perhiasan brilian putih senada agar penampilanku terlihat berkesan dan elegan. Sedikit mas Aldi terpana melihat aku berdiri di hadapannya."Aku fikir, kamu tidak akan datang Tuan" ujarku menggunakan bahasa inggris. Sedikit mas Aldi senyum tipis dan berkata."Aku sudah janji. Kita sudah sangat dekat belakangan, aku tida
.... POV HADI"Mama maafin papa ya?" ujar putriku mendekat dan menggenggam pergelengan tangan Arum erat. Arum masih bungkam hingga dia tampak dilema, istriku berdesih dan coba menarik tangannya yang aku genggam erat, matanya tampak merintikan air mata deras."Tolong berikan aku kesempatan lagi mah."lirihku. Sedikit Arum menyibak belahan rambutnya dan menghela nafas sesak. Caca yang juga menunggu jawaban dari Arum itu juga ikut bersimpuh di sampingku."Mama, caca maunya Mama Arum yang tinggal bersama Caca. Maafkan Caca mah, Caca gak akan manja lagi. Caca akan berusaha mandiri supaya tidak merepotkan mama lagi" ujarnya. Arum bergerak memegangi bahu Caca dan membawanya berdiri."Sayang...., kamu jangan begini. Sama sekali mama tidak pernah di repotkan oleh Caca." ujarnya. Arum menoleh padaku dan berkata."Pergil
Sudah sepuluh menit aku di dalam kamar mandi menatap tespek dengan satu garis merah ini. Aku gundah sembari merintikkan air mata. Mas Tama mungkin saja menungguku dengan penuh harap di luar, bahwa kali ini aku akan memberi dia kabar baik. Namun, sepertinya belum juga. Tuhan belum mempercayakan seorang anak padaku di tahun pernikahan kami yang sudah hampir menginjak delapan tahun ini.Tok … tok ….!"Rum!" Segera kuhapus air mata saat terdengar Mas Tama mengetuk pintu kamar mandi dan memanggil namaku. Gegas aku pun beranjak membuka pintu dan menghampirinya."Mas maaf, aku belum bisa kabulkan keinginanmu," lirihku sambil memeluk dan membenamkan wajahku di dadanya."Hah," lirih Mas Tama berdesah. Aku paham betul perasaannya, pasti Mas Tama sangat kecewa. Sebab, dia sudah sangat sabar menanti saat-saat paling membahagiakan itu.
Malam ini aku masih memasak seperti biasanya, menunggu Mas Tama pulang, aku tidak mau menampakkan raut kesedihanku di depannya, toh rasanya percuma jika aku pun menangis sekarang padanya. Yang ada tindakan itu hanyalah kekonyolan belaka, habis ini dia akan menertawakan aku di belakang dengan keluarga dan wanita murahan itu. Aku harus sabar hingga beberapa waktu lagi. Jika aku inginkan dia, atau sakit ini terbalaskan hingga impas aku akan mencoba tenang.Sedikit dilema karena Mas Tama bisa jadi hanya dipengaruhi oleh keluarganya. Dorongan akan kekecewaan karena dia tidak mempunyai anak dariku hingga akhirnya dia menyetujui persyaratan mertua macan tak lain ibunya itu. Aku sebenarnya bingung. Sekarang aku sebatang kara. Setelah melepas Yosi waktu itu menikah, dia dibawa pergi jauh oleh suaminya, ke Malang. Terlebih lagi dia juga sangat marah padaku karena menjual semua warisan almarhumah Ibu. Bodohnya saat itu aku lebih mementingk
Ini sudah dua hari Mas Tama tidak pulang, dia pergi keluar kota untuk urusan kantor yang mendadak, walau aku tahu itu hanya alasan. Mungkin saja sekarang dia sibuk menyiapkan hari pernikahannya bersama wanita pilihan ibunya itu. Aku yang kembali teringat omongan Dokter pun segera menghubunginya. Tak lama, setelah panggilan terhubung Mas Tama mengangkat panggilanku. Tidak memakai salam seperti biasa, aku langsung saja pada inti dan tujuanku menelepon."Halo, Arum," ucap Mas Tama. Entah kenapa darah ini tiba-tiba berdesir."Mas, aku rasa kali ini kamu mau ikut denganku untuk cek up program itu. Kamu kemarin tidak mau melakukannya dengan alasan buang-buang waktu! Tapi kamu ingin punya momongan! Sedangkan aku harus berusaha sendiri! Kamu bagaimana sih, Mas!""Dokter menyarankan, kamu juga diperiksa!" Kalau bisa, kamu hari ini juga cepetan p
POV TAMAAkhirnya aku kembali kerumah Ini sebagai Tamu terhina seperti ini, rencana ibuk semula gagal yang ingin mengelabui Arum menjual rumah dan sebidang tanah itu. Aku tidak menyangka dia benar-benar bergerak cepat. Aku lupa aku jatuh cinta kepadanya dulu karna kesigapan dan ketangguhannya, wanita pendaki pertama yang begitu anggun dimataku. Aku mencintai jiwa pemberaninya. Walau naluri seorang istrinya terpancar saat kami sudah menjalani rumah tangga. Ternyata dia tetaplah Arum yang tegas. Penakluk bukit dan gunung itu. Jujur aku menyesal, tapi semua telah terlanjur. Aku mencintai Luna juga begitu Arum. Keturunan adalah hal yang terpenting sekarang. Mengingat aku sulung dan putra ibuk satu-satunya."Coba bik, bagusan yang mana coba?" tanya Arum pada bik Iyem dengan sesekali menatap layar ponsel."Ini non, bagus!" tunjuknya. Arum menoleh pada Bik iyem meyakinkan."Bibik suka?""Bagus, sih warnanya."
POV ArumDengan Kesibukanku dikantor sedikit aku bisa melupakan masalah yang ada dirumah, sekarang aku harus fokus memajukan lagi perusaha'an yang sudah di jalankan Tama ini, banyak sekali yang harus aku perbaiki dan aku rombak. Dari agenda kerja pendata'an dan yang lainnya. Mas Tama benar-benar tidak bisa berbuat banyak untuk perusaha'an ini. Untungnya Risa sahabatku mau di ajak bekerja sama membantuku membangun lagi perusaha'anku."Kamu beneran gak apa serumah dengan Luna tiga bulan lagi?" tanya Risa. Sejenak aku terdiam menghentikan tanganku mengotak atik laptop."Aku ingin balas mereka, tak apa tiga bulan saja, tak sabar rasanya melihat reaksi mereka betapa tidak bergunanya Tama itu," geramku menggertakkan rahang."Tapi gue cemaskan Lo Rum!" singkatnya, sontak aku menoleh."Kenapa?""Kematian suaminya Luna itu sangat ganjal. Orang-orang mencurigai Lunalah yang telah membunuhnya" jelas Risa, mataku membulat s
POV LUNA"Mbak, gantian atuh, nanti kalo mbak Arum kembali bisa habis kita," ujar Resti menghampiriku dengan memegangi Ember dan kain pel."Ah, kamu ini. Denger ya, justru aku ongkang-ongkang kaki begini juga bantu kalian, kamu gak tau sih kesepakatannya, Arum nantangin aku harus hamil dalam waktu tiga bulan ini. Jika aku hamil semuanya akan kembali sama mas Tama. Tapi jika tidak, bersiaplah kalian jadi gembel," gerutuku, Resti manyun tak habis pikir dengan persyaratan itu."Sudah sana ah... aku gak mau keguguran dengan kerja'an berat itu!" bentakku. Resti makin mengerutkan kening dan kembali me-ngpel lantai.Haah, lega rasanya, wanita bodoh itu beri persyaratan nyeleneh. Aku benar-benar tak menyangka aku bisa memanfa'atkan keada'an ini. Tadinya, aku mau memanfaatkan mas Tama akan kehamilanku bersama Dion. Pria tampan teman satu clubku, aku tidak mau meminta pertanggung jawaban dia karena dia pria yang miskin dan tak pu