Aku hanya bisa menangis pilu di depan Julian dan kedua mertua, serta orang tuaku. Bagaikan maling yang tertangkap basah setelah merampok, begitulah semua mata memandang ke arahku kini. Di sampingku duduk cukup jauh lelaki culun yang ternyata adalah salah satu office boy di hotel milik papaku. Darimana aku tahu dia OB? Dari seragam yang ia kenakan. Lelaki itu tak bersuara sama sekali setelah habis babak-belur dipukuli oleh Julian dan papaku.
Aku jijik dengan diriku sendiri dan aku tak bisa membela diri karena sudah ketangkap basah oleh suamiku sendiri. Pembelaan apapun yang aku sampaikan tetap takkan membuatkan aku dimaafkan dan pernikahan ini berjalan dengan semestinya. Bungaku terlanjur gugur di atas tanah milik orang lain.
“Apa benar kamu tidak mengenalnya, Nes?” tanya Julian padaku dengan suara bergetar. Wajah lelaki yang aku cinta itu nampak begitu kecewa dan terluka, dan hal itu tentu membuatku semakin terpukul.
“Percaya, Mas. Aku tidak kenal lelaki ini,” jawabku sambil terisak.
“Tapi kenapa kamu bisa tidur bersamanya? Kamu bahkan memeluk lelaki ini sangat erat tadi. Katakan! Tolong jangan sembunyikan apapun dariku.” Tangan Julian nampak terkepal. Papa tak bisa membelaku kali ini, karena tadi ia pun ada di dalam kamar menyaksikan putrinya ini telah menghancurkan hidupnya.
“Aku tidak tahu, Mas. Aku hanya ingat, Mama bilang kamarku ada di depan lift, jadi aku masuk saja. Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang. Tak jelas aku memperhatikan kamar dan tanpa sadar aku ….”
“Sudahlah! Jangan diteruskan, karena sangat tidak masuk akal. Terlalu drama seperti ratusan novel yang kamu beli sia-sia itu. Aku takkan pernah percaya lagi padamu Nes. Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Apa aku kurang? Hah? Apa salahku, Nes?!”
“Mas, maafkan saya. Jangan seperti ini. Saya rela melakukan apa saja asal mas mau memaafkan saya. Benar-benar saya tidak tahu kenapa bisa seperti ini, Mas. Tolong maafkan saya,” rengekku pilu sambil bersimpuh di kakinya. Erat kupeluk kedua kakinya dan mencium punggung kaki lelaki yang demi Tuhan sangat aku cintai.Lelaki itu bergeming. Ia menangis dan itu membuat hatiku semakin sakit. Aku merangkak memohon ampun pada papaku yang juga terlihat sangat terpukul. Aku memeluk kedua kakinya sambil berlinang air mata. “Papa tahu Anes’kan? Anes anak Papa penurut ini, tidak mungkin melakukan hal menjijikkan seperti ini’kan? Papa harus percaya Anes. Plis, Papa!” tangisku pecah kembali saat lelaki paruh baya itu menunduk sambil ikut meneteskan air mata.
“Mas, saya mohon maafkan saya. Saya benar-benar tidak mengenali lelaki bajingan ini. Maafkan saya.” Tangisku terus saja mengisi kamar hotel yang sangat mengerikan bagiku.
“Bagaimana cara aku memaafkan penghiatan keji seperti ini,Nes? Aku mencarimu ke mana-mana, tetapi tidak bisa aku temukan. Aku bagai orang gila menyusuri semua bagian hotel untuk mencarimu. Sampai papa mengatakan untuk mengecek CCTV untuk mencari keberadaanmu dan ternyata aku terlambat. Kesalahanmu tak bisa dimaafkan, Nes,” ujar Julian sambil menahan tangis.
“Mas, tolong jangan seperti ini! Tolong maafkan saya. Apapun akan saya lakukan agar Mas mau memaafkan saya.” Aku kembali bersimpuh di kedua kakinya. Memohon belas kasihnya dengan penuh kepiluan. Tak lagi kurasakan perih di bagian intimku akibat berbuat zina dengan lelaki yang bukan suamiku.
“Jika kamu bisa menghapus bercak merah di leher kamu itu dan mengembalikan bercak darah perawan yang ada di ranjang sana, maka aku akan memaafkanmu. Jika tidak bisa, lebih baik kita bercerai. Kamu saya talak.”
Bersambung
Aku sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Tulang-belulangku serasa akan lepas dari tempatnya karena merasakan kesedihan yang luar biasa. Papa bahkan harus menggendongku masuk ke dalam rumah lain yang berada tak jauh dari rumah utama keluargaku. Terpaksa papa membawaku pulang ke sani, agar semua keluarga tidak terkejut dengan kondisiku yang sangat menyedihkan. Jangankan untuk berjalan, air saja tidak bisa diterima oleh mulutku.Semua hancur dan itu karena kesalahanku. Sampai saat ini aku pun bingung dengan yang terjadi. Kenapa bisa aku seperti orrang bilang akal saat memasuki kamar yang ternyata salah. Kamar pengantinku dengan Julian, ternyata berada persis di sebelah kamar yang akau masuki. Karena sakit kepala begitu hebat dan pandangan yang samar, aku tak mampu berpikir lain soal kamar itu.Ditambah aku tak paham dengan rasa gelisah yang menyandera seluruh tubuhku ini. Hingga tak sadarkan diri dengan siapa aku melabuhkan mahkotaku.&ld
Aku terus saja mematut diri di cermin. Tak ada yang menarik di seluruh tubuhku saat dua hari aku terpuruk di dalam kamar dan tak ingin bertemu dengan siapapun. Papa, Mama, Bunda, dan adik-adikku yang akhirnya tahu kejadian yang menimpaku, mereka terus mencoba menguburku, tetapi aku masih belum mampu untuk bertemu dengan mereka.Aku merasa kotor dan menjijikkan. Sungguh sangat memalukan apa yang telah aku lakukan malam itu. Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tentu aku akan bersabar menunggu Julian yang berbincang dengan teman-temannya. Namun, semua telah terjadi dan aku tidak tahu bagaimana kehidupan pernikahan ini ke depannya. Julian memang sudah mengucap talak satu untukku, tetapi aku berharap lelaki itu masih memberi maaf padaku dan mau menerimaku apa adanya.Langkahku sangat lemah turun dari ranjang. Kugapai ponsel yang sengaja ku matikan sejak dua hari yang lalu. Dalam hati kuberharap, ada kabar baik dari lelaki yang sampai saat ini masih sah sebagai suamiku.
Tak sabar rasanya aku ingin segera dijemput oleh Julian. Kami tidak jadi bercerai dan dia memaafkanku. Sedikit aneh memang, karena begitu mudahnya ia memaafkan keteledoranku. Namun, aku tidak mau terlalu ambil pusing dengan semua itu, yang penting saat ini aku bisa kembali menyandang status sebagai Istri dari Julian Adi Permana.Aku berjanji di dalam hati akan menjadi istri yang baik dan patuh pada suami, dan aku juga akan mencoba memperbaiki kesalahan satu malamku dengan memberikan yang terbaik untuk Julian.Pakaian yang berserakan sudah aku masukkan kembali ke dalam koper. Kamar yang kutempati beberapa hari ini juga sudah aku rapikan, dan hal yang paling utama aku lakukan adalah memberitahu Mama, Bunda, Papa, bahwa aku tidak jadi diceraikan dan akan segera dijemput oleh suamiku.Berulang kali aku mengintip keluar jendela menanti kedatangan Julian yang sudah siang, tetapi belum datang juga. Perutku sudah mulai lapar karena rasa sedih yan
Rumah benar-benar sepi. Tak ada siapapun di rumah ini yang mengajakku bicara, selain Bik Darsih. Waktu sudah semakin larut dan aku tidak juga bisa memejamkan mata. Berulang kali aku mengintip halaman depan, berharap mobil Julian datang, tetapi hingga waktu tepat pukul dua belas malam, lelaki itu belum ada tanda-tanda pulang ke rumah.Kak Mira juga tidak ada. Biasanya wanita itu selalu ada di rumah saat aku berkunjung ke sini. Benar-benar aku kesepian. Berbeda sekali dengan keadaan di rumahku yang banyak orang. Adik-adikku selalu saja ramai berdebat, atau meributkan hal yang tidak penting.Kuputuskan untuk mematikan lampu kamar dan langsung tidur saja. Semoga besok pagi Julian sudah kembali dan kami bisa membicarakan hal ini dengan kepala dingin. Baru saja mulai memejamkan mata, tiba-tiba sekelebat bayangan lelaki asing yang menyentuhku dan mengambil keperawananku, lewat di kepalaku.Mataku terbuka lebar karena kaget sekaligus takut. Semua masih menjadi mis
“Apa maksud pembicaraan ini? Apa yang terjadi dengan Kak Mira?” tanyaku dengan suara bergetar. Mati-matian aku menopang berat tubuh ini dengan berpegangan pada daun pintu, agar tidak jatuh pingsan. Bukannya menjawab, Kak Mira malah pergi meninggalkan kami begitu saja sambil terisak;entah disengaja atau tidak, tubuh kami saling bertabrakan dan dia terlihat masa bodoh.Julian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Kakinya melangkah menuju meja kerja, lalu duduk di kursi kebesarannya.“Mas, ada apa dengan Kak Mira? Kenapa Mas harus tanggung jawab?!” tanyaku lagi dengan suara tinggi. Air mata sudah siap tumpah membanjiri lantai ruang kerja suamiku.Hatiku berkata, bahwa ada yang tidak baik sudah terjadi antara Kak Mira dan Julian. Namun, lelaki itu hanya membuang pandangan, serasa begitu jijik melihatku. Sengaja aku mendekat ke arahnya, lalu menatapnya dengan penuh air mata.“Katakan, Mas! Jujur
“Apa maksud semua ini, Julian? Kamu menikah lagi tanpa minta ijin dariku? Keterlaluan!” tanganku terkepal menahan tangis. Aku tidak mau dianggap lemah oleh semua keluarga Julian. Sudah cukup beberapa hari ini perasaanku terombang-ambing dengan sikap mereka.Semua yang ada di bawah sana, tentu saja sontak menoleh ke arahku dengan tatapan tidak suka. Namun tidak dengan Kak Mira;wanita yang tengah memakai kebaya putih itu menunduk malu tanpa berani menoleh ke arahku.“Aku minta kamu masuk, Anes!” suara Julian mendikteku. Kaki ini serasa melayang, berjalan mendekati mereka. Nampak Julian sedikit gugup, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Sorot mataku tajam menatap delapan orang di sekelilingku secara bergantian. Lalu aku berhenti pada Julian.“Aku tidak pernah tahu apa maksud semua ini? Aku tidak pernah merasa bajingan saat menjadi pacar kamu sekian tahun, dan karena kesalahan satu malam yang seperti disengaja, kamu
Kusambar tas selempang yang berisi dompet dan dua ponsel. Dengan berlari, aku menuruni anak tangga, bukan hanya satu anak tangga melainkan dua anak tangga sekaligus.BrughAku jatuh tersungkur sesaat. Namun itu tak menyurutkan semangatku untuk menyusul Julian yang mobilnya belum keluar dari pekarangan rumah. Aku bangkit kembali, lalu berlari dengan sekencangnya menuju mobil yang sudah siap dikendarai oleh Mang Ismun."Mau apa kamu, Anes?" tanya Bu Dian; mama mertuaku, sekaligus mama mertua Kak Mira. Semua mata memandang aneh dan tak suka padaku. Apa aku peduli? Tentu tidak. Tanpa menjawab pertanyaan mertua, sekaligus tatapan heran Julian, aku masuk ke dalam mobil yang akan membawa pasangan mesra ini untuk berbulan madu."Keluar! Mau apa, Kamu?" Dengan kasarnya, Julian menarik tanganku keluar dari dalam mobil, tetapi aku berpegangan pada sandaran jok, hingga lelaki itu kesulitan menarikku kel
Aku terdiam memandang deburan ombak di pesisir pantai, tepat di depan cottage tempatku menginap saat ini. Langit yang tadi berwarna terang, sudah berubah jingga. Namun tak membuat pengunjung pantai beranjak dari tempat duduk mereka. Ada yang bersenda gurau dengan anggota keluarganya. Ada pula yang berasik-masyuk dengan pasangannya.Wajah kebarat-baratan cukup mendominasi pemandangan mataku saat ini. Tawa lepas dan juga rona merah malu-malu para wanita yang sedang berbincang dengan pasangannya, membuat hati ini teriris. Mau apa sebenarnya aku datang ke sini tanpa pasangan? Jika hati ini mengatakan untuk menghibur diri, sungguh sangat tidak tepat aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku berlibur disaat membayangkan bulan madu suamiku dengan wanita lain?TokTok“Room service,” suara di balik pintu kamar, membuatku menoleh. Tepat di atas pintu ada j