Aku sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Tulang-belulangku serasa akan lepas dari tempatnya karena merasakan kesedihan yang luar biasa. Papa bahkan harus menggendongku masuk ke dalam rumah lain yang berada tak jauh dari rumah utama keluargaku. Terpaksa papa membawaku pulang ke sani, agar semua keluarga tidak terkejut dengan kondisiku yang sangat menyedihkan. Jangankan untuk berjalan, air saja tidak bisa diterima oleh mulutku.
Semua hancur dan itu karena kesalahanku. Sampai saat ini aku pun bingung dengan yang terjadi. Kenapa bisa aku seperti orrang bilang akal saat memasuki kamar yang ternyata salah. Kamar pengantinku dengan Julian, ternyata berada persis di sebelah kamar yang akau masuki. Karena sakit kepala begitu hebat dan pandangan yang samar, aku tak mampu berpikir lain soal kamar itu.
Ditambah aku tak paham dengan rasa gelisah yang menyandera seluruh tubuhku ini. Hingga tak sadarkan diri dengan siapa aku melabuhkan mahkotaku.
“Papa harus segera pulang. Besok pagi, Mama atau Bunda yang akan kemari. Kita bicarakan besok baiknya bagaimana. Kamu yang kuat ya?” lagi-lagi lelaki itu mengusap airmata yang turun membasahi pipinya.
Tanpa menjawab, aku menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku. Sebelum papa meningglakna kamarku, beliau mencium kepala dan juga mengusap rambutku tanda menenangkan. Sudah tak sanggup aku membuka mata, semua diluar logikaku. Semua yang terjadi aku anggap hanya mimpi semata. Semoga esok hari, aku terbangun dalam pelukan lelaki yang aku cintai, Julian.
POV Taka
Kenapa bisa seperti ini? Siapa yang tega melakukan ini padaku? Belum lama aku bekerja di sana, sudah harus dipecat dengan tidak terhormat. Padahal aku butuh uang untuk pengobatan Teh Arum. Darimana lagi aku harus mendapatkan uang untuk mengobati sakitnya? Apa sebenarnya yang sudah aku lakukan dengan anak pemilik hotel? Bukan hanya kehilangan pekerjaan, sepertinya aku harus mendekam di penjara karena kesalahan yang aku buat di luar kesadaranku.
“Ada apa, Ka?” tanya Teh Nurul dengan suara lemah. Ia bangun saat melihatku pulang dengan keadaan kacau dan babak belur.
“Siapa yang memukuli kamu?” tanyanya lagi dengan wajah begitu khawatir. Aku berjalan mendekat, lalu duduk di ujung kakinya. “Taka baik-baik aja, Kak. Tadi ada begal, jadi Taka lawan. Untung mereka kalah, hingga tak bisa mengambil harta kita satu-satunya,” jawabku terpaksa berbohong pada Teh Arum.
“Jadi, motor kamu gak jadi dibegal?” tanyanya lagi.
“Alhamdulillah nggak, Teh. Teteh tidur lagi saja, saya mau mandi dan membersihkan luka ini,” kataku sambil beranjang dari ranjang Teh Arum.
“Yakin kamu gak perlu ke dokter?” tanya wanita itu lagi padaku.
“Nggak, Teh, cukup bersihkan pakai air hangat dan dikasih beta**n saja,” jawabku dengan memberikan senyuman tipis padanya. Wanita itu mengangguk paham dan itu membuatku sedikit lega. Paling tidak, kejadian buruk yang menimpaku hari ini tidak membuatnya semakin khawatir.
Masuk ke dalam kamar mandi dan melepas satu per satu pakaianku. Sungguh sangat miris, saat tanda merah begitu banyak hampir di seluruh tubuhku. Aku melakukan hal laknat pada istri orang. Istri dari anak pemilik hotel tempat aku bekerja. Selain aku masuk penjara nanti, aku harus benar-benar bertaubat dari semua ini. Beban hidupku tidaklah mudah sejak Teh Arum jatuh sakit.
Sekarang ditambah kesalahan yang sangat menjijikkan sudah aku lakukan. Desah dan racauan beberapa waktu lalu yang sempat memabukkanku di alam bawah sadar, ternyata sudah benar-benar menghancurkan hidupku. Pada siapa nanti aku menitipkan Teh Arum jika aku dipenjara?
Sambil berwudu, air mataku tak hentinya mengalir. Kutuntaskan dengan cepat acra mandi hadas besarku. Tak lupa menggosok seluruh tubuhku agar tanda merah ini hilang, tetapi tidak bisa. Semoga saja Teh Arum tak menyadari apa yang terjadi pada tubuhku.
Pagi pun menyapa. Setelah tak bisa tidur sepanjang malam, aku menutuskan untuk melakukan salat malam dan juga salat sunnah taubat.Semoga Tuhan menerima taubatku dan mengampuni semua dosa dan kesalahanku. Selesai salat Subuh di musolla terdekat, aku pun melanjutkan membantu Teh Arum untuk melaksanakan salat Subuh dari atas ranjang. Sakit stroke yang ia derita selama dua tahun ini sudah membuat suaminya pergi meninggalkannya dan hanya aku adiknya yang bisa menolongnya dan mengurusnya.
Setelah itu, aku pun menyapu halaman, kemudian menyiapkan sarapan untuk kami pagi ini. Wanita di ranjang pesakitan itu memandangku dengan aneh, karena sudah pukul tujuh pagi, aku belum juga berganti pakaian dengan seragam kerja.
“Kamu gak kerja, Ka?” tanyanya sambil menatapku dengan jeli.
“Masuk siang, Teh,” jawabku asal.
Tok!
Tok!“Permisi, betul ini rumah saudara Taka Ardiansyah?”
“I-iya, Pak. Saya Taka Ardiansyah,” jawabku dengan sangat gugup.
“Kami membawa surat penangkapan saudara atas tuduhan pemerkosaan.”
“Apa?!”
Bersambung
Aku terus saja mematut diri di cermin. Tak ada yang menarik di seluruh tubuhku saat dua hari aku terpuruk di dalam kamar dan tak ingin bertemu dengan siapapun. Papa, Mama, Bunda, dan adik-adikku yang akhirnya tahu kejadian yang menimpaku, mereka terus mencoba menguburku, tetapi aku masih belum mampu untuk bertemu dengan mereka.Aku merasa kotor dan menjijikkan. Sungguh sangat memalukan apa yang telah aku lakukan malam itu. Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tentu aku akan bersabar menunggu Julian yang berbincang dengan teman-temannya. Namun, semua telah terjadi dan aku tidak tahu bagaimana kehidupan pernikahan ini ke depannya. Julian memang sudah mengucap talak satu untukku, tetapi aku berharap lelaki itu masih memberi maaf padaku dan mau menerimaku apa adanya.Langkahku sangat lemah turun dari ranjang. Kugapai ponsel yang sengaja ku matikan sejak dua hari yang lalu. Dalam hati kuberharap, ada kabar baik dari lelaki yang sampai saat ini masih sah sebagai suamiku.
Tak sabar rasanya aku ingin segera dijemput oleh Julian. Kami tidak jadi bercerai dan dia memaafkanku. Sedikit aneh memang, karena begitu mudahnya ia memaafkan keteledoranku. Namun, aku tidak mau terlalu ambil pusing dengan semua itu, yang penting saat ini aku bisa kembali menyandang status sebagai Istri dari Julian Adi Permana.Aku berjanji di dalam hati akan menjadi istri yang baik dan patuh pada suami, dan aku juga akan mencoba memperbaiki kesalahan satu malamku dengan memberikan yang terbaik untuk Julian.Pakaian yang berserakan sudah aku masukkan kembali ke dalam koper. Kamar yang kutempati beberapa hari ini juga sudah aku rapikan, dan hal yang paling utama aku lakukan adalah memberitahu Mama, Bunda, Papa, bahwa aku tidak jadi diceraikan dan akan segera dijemput oleh suamiku.Berulang kali aku mengintip keluar jendela menanti kedatangan Julian yang sudah siang, tetapi belum datang juga. Perutku sudah mulai lapar karena rasa sedih yan
Rumah benar-benar sepi. Tak ada siapapun di rumah ini yang mengajakku bicara, selain Bik Darsih. Waktu sudah semakin larut dan aku tidak juga bisa memejamkan mata. Berulang kali aku mengintip halaman depan, berharap mobil Julian datang, tetapi hingga waktu tepat pukul dua belas malam, lelaki itu belum ada tanda-tanda pulang ke rumah.Kak Mira juga tidak ada. Biasanya wanita itu selalu ada di rumah saat aku berkunjung ke sini. Benar-benar aku kesepian. Berbeda sekali dengan keadaan di rumahku yang banyak orang. Adik-adikku selalu saja ramai berdebat, atau meributkan hal yang tidak penting.Kuputuskan untuk mematikan lampu kamar dan langsung tidur saja. Semoga besok pagi Julian sudah kembali dan kami bisa membicarakan hal ini dengan kepala dingin. Baru saja mulai memejamkan mata, tiba-tiba sekelebat bayangan lelaki asing yang menyentuhku dan mengambil keperawananku, lewat di kepalaku.Mataku terbuka lebar karena kaget sekaligus takut. Semua masih menjadi mis
“Apa maksud pembicaraan ini? Apa yang terjadi dengan Kak Mira?” tanyaku dengan suara bergetar. Mati-matian aku menopang berat tubuh ini dengan berpegangan pada daun pintu, agar tidak jatuh pingsan. Bukannya menjawab, Kak Mira malah pergi meninggalkan kami begitu saja sambil terisak;entah disengaja atau tidak, tubuh kami saling bertabrakan dan dia terlihat masa bodoh.Julian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Kakinya melangkah menuju meja kerja, lalu duduk di kursi kebesarannya.“Mas, ada apa dengan Kak Mira? Kenapa Mas harus tanggung jawab?!” tanyaku lagi dengan suara tinggi. Air mata sudah siap tumpah membanjiri lantai ruang kerja suamiku.Hatiku berkata, bahwa ada yang tidak baik sudah terjadi antara Kak Mira dan Julian. Namun, lelaki itu hanya membuang pandangan, serasa begitu jijik melihatku. Sengaja aku mendekat ke arahnya, lalu menatapnya dengan penuh air mata.“Katakan, Mas! Jujur
“Apa maksud semua ini, Julian? Kamu menikah lagi tanpa minta ijin dariku? Keterlaluan!” tanganku terkepal menahan tangis. Aku tidak mau dianggap lemah oleh semua keluarga Julian. Sudah cukup beberapa hari ini perasaanku terombang-ambing dengan sikap mereka.Semua yang ada di bawah sana, tentu saja sontak menoleh ke arahku dengan tatapan tidak suka. Namun tidak dengan Kak Mira;wanita yang tengah memakai kebaya putih itu menunduk malu tanpa berani menoleh ke arahku.“Aku minta kamu masuk, Anes!” suara Julian mendikteku. Kaki ini serasa melayang, berjalan mendekati mereka. Nampak Julian sedikit gugup, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Sorot mataku tajam menatap delapan orang di sekelilingku secara bergantian. Lalu aku berhenti pada Julian.“Aku tidak pernah tahu apa maksud semua ini? Aku tidak pernah merasa bajingan saat menjadi pacar kamu sekian tahun, dan karena kesalahan satu malam yang seperti disengaja, kamu
Kusambar tas selempang yang berisi dompet dan dua ponsel. Dengan berlari, aku menuruni anak tangga, bukan hanya satu anak tangga melainkan dua anak tangga sekaligus.BrughAku jatuh tersungkur sesaat. Namun itu tak menyurutkan semangatku untuk menyusul Julian yang mobilnya belum keluar dari pekarangan rumah. Aku bangkit kembali, lalu berlari dengan sekencangnya menuju mobil yang sudah siap dikendarai oleh Mang Ismun."Mau apa kamu, Anes?" tanya Bu Dian; mama mertuaku, sekaligus mama mertua Kak Mira. Semua mata memandang aneh dan tak suka padaku. Apa aku peduli? Tentu tidak. Tanpa menjawab pertanyaan mertua, sekaligus tatapan heran Julian, aku masuk ke dalam mobil yang akan membawa pasangan mesra ini untuk berbulan madu."Keluar! Mau apa, Kamu?" Dengan kasarnya, Julian menarik tanganku keluar dari dalam mobil, tetapi aku berpegangan pada sandaran jok, hingga lelaki itu kesulitan menarikku kel
Aku terdiam memandang deburan ombak di pesisir pantai, tepat di depan cottage tempatku menginap saat ini. Langit yang tadi berwarna terang, sudah berubah jingga. Namun tak membuat pengunjung pantai beranjak dari tempat duduk mereka. Ada yang bersenda gurau dengan anggota keluarganya. Ada pula yang berasik-masyuk dengan pasangannya.Wajah kebarat-baratan cukup mendominasi pemandangan mataku saat ini. Tawa lepas dan juga rona merah malu-malu para wanita yang sedang berbincang dengan pasangannya, membuat hati ini teriris. Mau apa sebenarnya aku datang ke sini tanpa pasangan? Jika hati ini mengatakan untuk menghibur diri, sungguh sangat tidak tepat aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku berlibur disaat membayangkan bulan madu suamiku dengan wanita lain?TokTok“Room service,” suara di balik pintu kamar, membuatku menoleh. Tepat di atas pintu ada j
"Cih! Berlagak menjadi pahlawan. Gak bakalan uang lima ratus ribu kamu, bisa mengembalikan masa depanku yang sudah hancur!" hardikku sambil meraih kasar pakaian yang ada di dalam kantong belanja. Masa bodoh dengan lelaki itu yang terdiam sembari menunduk.Jika tidak karena dompetku yang kecopetan, tidak akan mungkin aku mau memakai uang lelaki bajingan itu untuk membayar belanjaku. Kenapa harus dia yang kutemui di sini? Bukannya lelaki lain, mantan pacarku mungkin, atau teman yang cukup dekat denganku.Sengaja kaki ini melangkah lebar meninggalkan area pertokoan. Dengan membuka sandal jepit, aku berjalan menyusuri bibir pantai. Menikmati angin pagi yang begitu kencang dan juga hawa dingin yang menusuk kulit. Walau cuaca terasa seperti musim hujan, tetapi matahari bersinar cukup terang.Debur ombak yang berayun ke arahku, membuat hati ini ikut merasakan gembira. Untuk sementara, isi kepalaku bisa melupakan kesedihan akan na