Rumah benar-benar sepi. Tak ada siapapun di rumah ini yang mengajakku bicara, selain Bik Darsih. Waktu sudah semakin larut dan aku tidak juga bisa memejamkan mata. Berulang kali aku mengintip halaman depan, berharap mobil Julian datang, tetapi hingga waktu tepat pukul dua belas malam, lelaki itu belum ada tanda-tanda pulang ke rumah.
Kak Mira juga tidak ada. Biasanya wanita itu selalu ada di rumah saat aku berkunjung ke sini. Benar-benar aku kesepian. Berbeda sekali dengan keadaan di rumahku yang banyak orang. Adik-adikku selalu saja ramai berdebat, atau meributkan hal yang tidak penting.
Kuputuskan untuk mematikan lampu kamar dan langsung tidur saja. Semoga besok pagi Julian sudah kembali dan kami bisa membicarakan hal ini dengan kepala dingin. Baru saja mulai memejamkan mata, tiba-tiba sekelebat bayangan lelaki asing yang menyentuhku dan mengambil keperawananku, lewat di kepalaku.
Mataku terbuka lebar karena kaget sekaligus takut. Semua masih menjadi misteri dan aku harus mencari tahu, kenapa lelaki itu bisa ada di kamar hotel dengan keadaan setengah tidak sadar seperti diriku? Papa! Ya ampun, aku melupakan video rekaman CCTV yang belum lama beliau kirimkan. Dengan rasa tak sabar, aku langsung turun dari ranjang dan meraih ponselku yang berada di atas meja rias.
Begitu tak sabarnya aku menunggu video itu ditayangkan oleh ponselku. Dengan cemas kugigit pelan ibu jari sambil mondar-mandir di dalam kamar. Video pun berputar dengan gerakan terputus-putus. Ya Tuhan, aku merasa begitu ketakutan saat ini. Nampak lelaki berseragam office boy memegang alat kebersihan masuk ke dsalam kamar yang sepertinya memang akan dia bersihkan.
Terlihat juga dia sedikit sempoyongan saat melewati lorong, lalu masuk ke dalam kamar dan tak keluar lagi untuk beberapa lama. Saat itu aku yang juga sempoyongan malah masuk ke dalam kamar yang dimasuki office boy itu, tentu saja tidak tertutp rapat, karena memang dia mungkin sedang bersih-bersih. Berarti, ada yang menjebak kami? Tapi siapa? Kenal lelaki itu saja tidak. Bagaimana kami bisa dijebak dengan cara licik seperti ini? Kuremas rambut dengan kuat.
Semua ini begitu rumit dan penuh tanda tanya. Jika aku tidak punya musuh, tetapi Julian aku tidak tahu. Apakah ini jebakan mereka untuk menghancurkan reputasi dua hotel mewah milik keluarga kami?
Kurasakan kepala ini kembali berputar. Aku memutuskan untuk membicarakan ini pada Julian besok. Semoga dengan bukti ini bisa membuka mata hatinya, bahwa aku sepenuhnya tidak bersalah. Aku dan lelaki tak kukenal itu dijebak. Kami adalah korban.
Keesokan harinya, aku bangun pagi seperti biasa. Mandi dan langsung salat Subuh. Aku yakin rumah masih dalam keadaan sepi, sehingga aku memutuskan keluar dari kamar sampai langit pagi memunculkan sinar terangnya. Sambil menunggu terang, aku kembali memutar video rekaman CCTV.
Pesan masuk dari papaku yang mengatakan CCTV dapur OB sedang mati, jadi tidak bisa ditemukan bukti apa yang membuat lelaki yang bernama Taka bisa setengah tak sadar ada di dalam kamar.
“Kamar baru ditinggal check out tamu dan lelaki itu yang berugas membersihkannya.”
Pesan papa kali ini membuatku sedikit mersa terpojok. Benar saja, jika aku tidak sempoyongan dan masuk ke dalam kamar yang seharusnya, pastilah hal seperti ini tidak akan terjadi. Julian pasti akan menyalahkanku dan bisa saja dia semakin lama untuk memaafkanku. Lalu aku harus apa? Dengan rasa tak sabar, aku memencet nomor kontak papa.[“Halo, Pa. Papa sudah bertanya pada lelaki sialan itu, bagaimana dia bisa bekerja dalam keadaan setengah tak sadar?”]
[“Lelaki itu mengatakan tidak tahu. Kamu tidak perlu khawatir, karena dia sudah dipenjara. Julian yang melaporkannya.”]
[“Pa, bagaimana kalau dia juga dijebak? Pa, bantu Anes. Anes bingung harus bagaimana?”]
[“Sabar ya, Sayang. Papa sedang sudah minta tolong teman untuk menyelidiki ini semua. Semoga segera ada kabar baik.”]
[“Ya udah, kabari Anes secepatnya ya, Pa. Dah, Papa.”]
Sedikit ada rasa lega saat tahu lelaki yang tidur bersamaku sudah dipenjara. Ditambah lagi, Papa sudah menyuruh orang untuk menyelidiki kasus ini. Semoga segera ada titik terang dan hubunganku dengan Julian bisa kembali seperti sedia kala. Kulihat langit di luar sana sudah lebih terang. Kuputuskan untuk keluar kamar dan menikmati udara pagi dengan berkeliling di halaman rumah mertuaku sebelum sarapan.
Julian memelihara kura-kura raksasa dan juga ada kelinci jenis Lop dan English Spot. Jenis kelinci termahal yang dipelihara oleh Julian.
Sambil bersenandung, aku menuruni anak tangga. Sepi, tak ada siapapun di sekitar rumah. Hanya terdengar sedikit keriuhan dari dapur utama. Sepertinya para pembantu keluarga Julian sedang menyiapkan sarapan.
“Sudah, Kak Mira jangan menangis. Saya akan pikirkan bagaimana caranya. Tenang ya? Secepatnya saya akan beritahu Anes.” Itu suara Julian sedang berbicara dengan Kak Mira. Aku tahu karena Julian yang memanggilnya Kak. Julian dan Kak Mira sangat dekat, walau mereka tidak sedarah.
Sehingga aku pun dekat juga dengan wanita yang lebih tua tiga tahun dari suamiku itu.
Suara isakan terdengar dari ruang kerja Julian di lantai bawah. Tunggu, berarti suamiku sudah pulang? Lalu kenapa Kak Mira menangis? Dengan kaki telanjangku, pelan dan hati-hati aku mendekat pada ruangan itu. menempelkan telinga di daun pintu, berharap bisa menguping pembicaraan mereka.“Semua ini karena Anes. Kakak tidak tahu harus bagaimana sekarang? Bagaimana jika Kakak hamil?”
“Saya akan tanggung jawab, Kak. Saya pasti akan mempertanggung jawabkan kesalahan saya. Kakak harus percaya.”
Bersambung
“Apa maksud pembicaraan ini? Apa yang terjadi dengan Kak Mira?” tanyaku dengan suara bergetar. Mati-matian aku menopang berat tubuh ini dengan berpegangan pada daun pintu, agar tidak jatuh pingsan. Bukannya menjawab, Kak Mira malah pergi meninggalkan kami begitu saja sambil terisak;entah disengaja atau tidak, tubuh kami saling bertabrakan dan dia terlihat masa bodoh.Julian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Kakinya melangkah menuju meja kerja, lalu duduk di kursi kebesarannya.“Mas, ada apa dengan Kak Mira? Kenapa Mas harus tanggung jawab?!” tanyaku lagi dengan suara tinggi. Air mata sudah siap tumpah membanjiri lantai ruang kerja suamiku.Hatiku berkata, bahwa ada yang tidak baik sudah terjadi antara Kak Mira dan Julian. Namun, lelaki itu hanya membuang pandangan, serasa begitu jijik melihatku. Sengaja aku mendekat ke arahnya, lalu menatapnya dengan penuh air mata.“Katakan, Mas! Jujur
“Apa maksud semua ini, Julian? Kamu menikah lagi tanpa minta ijin dariku? Keterlaluan!” tanganku terkepal menahan tangis. Aku tidak mau dianggap lemah oleh semua keluarga Julian. Sudah cukup beberapa hari ini perasaanku terombang-ambing dengan sikap mereka.Semua yang ada di bawah sana, tentu saja sontak menoleh ke arahku dengan tatapan tidak suka. Namun tidak dengan Kak Mira;wanita yang tengah memakai kebaya putih itu menunduk malu tanpa berani menoleh ke arahku.“Aku minta kamu masuk, Anes!” suara Julian mendikteku. Kaki ini serasa melayang, berjalan mendekati mereka. Nampak Julian sedikit gugup, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Sorot mataku tajam menatap delapan orang di sekelilingku secara bergantian. Lalu aku berhenti pada Julian.“Aku tidak pernah tahu apa maksud semua ini? Aku tidak pernah merasa bajingan saat menjadi pacar kamu sekian tahun, dan karena kesalahan satu malam yang seperti disengaja, kamu
Kusambar tas selempang yang berisi dompet dan dua ponsel. Dengan berlari, aku menuruni anak tangga, bukan hanya satu anak tangga melainkan dua anak tangga sekaligus.BrughAku jatuh tersungkur sesaat. Namun itu tak menyurutkan semangatku untuk menyusul Julian yang mobilnya belum keluar dari pekarangan rumah. Aku bangkit kembali, lalu berlari dengan sekencangnya menuju mobil yang sudah siap dikendarai oleh Mang Ismun."Mau apa kamu, Anes?" tanya Bu Dian; mama mertuaku, sekaligus mama mertua Kak Mira. Semua mata memandang aneh dan tak suka padaku. Apa aku peduli? Tentu tidak. Tanpa menjawab pertanyaan mertua, sekaligus tatapan heran Julian, aku masuk ke dalam mobil yang akan membawa pasangan mesra ini untuk berbulan madu."Keluar! Mau apa, Kamu?" Dengan kasarnya, Julian menarik tanganku keluar dari dalam mobil, tetapi aku berpegangan pada sandaran jok, hingga lelaki itu kesulitan menarikku kel
Aku terdiam memandang deburan ombak di pesisir pantai, tepat di depan cottage tempatku menginap saat ini. Langit yang tadi berwarna terang, sudah berubah jingga. Namun tak membuat pengunjung pantai beranjak dari tempat duduk mereka. Ada yang bersenda gurau dengan anggota keluarganya. Ada pula yang berasik-masyuk dengan pasangannya.Wajah kebarat-baratan cukup mendominasi pemandangan mataku saat ini. Tawa lepas dan juga rona merah malu-malu para wanita yang sedang berbincang dengan pasangannya, membuat hati ini teriris. Mau apa sebenarnya aku datang ke sini tanpa pasangan? Jika hati ini mengatakan untuk menghibur diri, sungguh sangat tidak tepat aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku berlibur disaat membayangkan bulan madu suamiku dengan wanita lain?TokTok“Room service,” suara di balik pintu kamar, membuatku menoleh. Tepat di atas pintu ada j
"Cih! Berlagak menjadi pahlawan. Gak bakalan uang lima ratus ribu kamu, bisa mengembalikan masa depanku yang sudah hancur!" hardikku sambil meraih kasar pakaian yang ada di dalam kantong belanja. Masa bodoh dengan lelaki itu yang terdiam sembari menunduk.Jika tidak karena dompetku yang kecopetan, tidak akan mungkin aku mau memakai uang lelaki bajingan itu untuk membayar belanjaku. Kenapa harus dia yang kutemui di sini? Bukannya lelaki lain, mantan pacarku mungkin, atau teman yang cukup dekat denganku.Sengaja kaki ini melangkah lebar meninggalkan area pertokoan. Dengan membuka sandal jepit, aku berjalan menyusuri bibir pantai. Menikmati angin pagi yang begitu kencang dan juga hawa dingin yang menusuk kulit. Walau cuaca terasa seperti musim hujan, tetapi matahari bersinar cukup terang.Debur ombak yang berayun ke arahku, membuat hati ini ikut merasakan gembira. Untuk sementara, isi kepalaku bisa melupakan kesedihan akan na
"Ups ... Sori, terlepas dari tangan saya. Oh, hai ... Kalian ada di sini juga? Saya kirain tertinggal di bandara," tukasku berpura-pura masa bodoh. Langsung aku berbalik badan dan kembali masuk ke dalam kamar. Hati ini panas dengan kelakuan Julian dan juga Mira. Sayang sekali, vas bunga tadi, tidak tepat jatuh di atas kepala Julian ataupun Mira. Jika tidak, itu rasanya lumayan memberi kepuasan padaku.Tak kudengar suara apapun di bawa sana. Itu pertanda, suamiku dengan istri mudanya, tidak menghiraukan perbuatanku. Dapat kupastikan, saat ini juga, keduanya hengkang dari cottage ini."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ponsel tidak punya, duit sisa delapan puluh ribu. Dompet hilang. Untung udah bayar penginapan untuk satu pekan. Kalau tidak, bisa-bisa aku diusir." Perut ini pun tiba-tiba terasa lapar. Kulirik dua bungkus roti yang masih utuh. Segera kusambar untuk mengisi lambungku yang kosong. Makan pun seperti tidak bernapas. Aku benar-benar kelaparan. L
Tak semua hal yang terjadi dalam kehidupanku, bisa aku bagikan pada keluarga, terutama kedua orang tuaku. Tidak akan sampai hati ini, memberi beban pikiran, karena nasib putri mereka yang saat ini, tengah dicampakkan oleh lelaki yang telah mereka percaya bisa menggantikan posisi keduanya.Aku termasuk orang yang beruntung, karena walau dirundung masalah, setidaknya aku masih bisa berpikir waras. Bukan malah lompat dari jembatan untuk mengakhiri hidup. Itu semua aku lakukan, demi kedua orang tuaku yang yang selalu sayang dan percaya padaku. Cukup sudah aku membuat mereka malu dengan kejadian memalukan di hotel. Tidak sanggup diri ini menambah kesedihan mereka.Aku harus mengambil tindakan sendiri untuk membuktikan, bahwa aku dijebak dan bisa juga lelaki yang tengah duduk di depanku ini, juga dijebak."Jadi, berapa usiamu?" tanyaku setelah lima belas menit, hanya memandang tajam lelaki itu dalam diam."Dua puluh tiga tahun, Nona," jawabnya masih sambi
POV AuthorAnes masih tertawa terpingkal-pingkal karena ulah Taka. Ucapan pemuda polos itu membuat Anes yang seharusnya sangat terluka, mejadi tergelak tiada henti bagai orang gila. Taka hanya bisa menatap wanita aneh di depannya, tanpa tahu sebab. Dia tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya, tetapi kenapa wanita di epannya ini sangat aneh. Mereka sudah berlari sampai di bibir pantai. Tak ada yang memperhatikan keduanya karena semua orang sibuk dengan acara mereka masing-masing.“Non, saya harus balik ke dapur ya. Besok lagi aja dilanjutkan. Saya gak bisa lama-lama. Ini saja, saya bilangnya ijin buang air,” terang Taka dengan wajah memelas. Anes yang tertawa sampai membungkuk, akhirnya meluruskan tubuhnya. Kedua tangannya naik ke pipi, untuk memijatnya sekilas. Pipi nya terasa pegal karena tertawa. “Kamu pemuda aneh!” kembali Anes menggelengkan kepalanya.“Ya udah, Non. Saya balik