Share

7. Kenyataan Menyakitkan

“Apa maksud pembicaraan ini? Apa yang terjadi dengan Kak Mira?” tanyaku dengan suara bergetar. Mati-matian aku menopang berat tubuh ini dengan berpegangan pada daun pintu, agar tidak jatuh pingsan. Bukannya menjawab, Kak Mira malah pergi meninggalkan kami begitu saja sambil terisak;entah disengaja atau tidak, tubuh kami saling bertabrakan dan dia terlihat masa bodoh. 

Julian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Kakinya melangkah menuju meja kerja, lalu duduk di kursi kebesarannya. 

“Mas, ada apa dengan Kak Mira? Kenapa Mas harus tanggung jawab?!” tanyaku lagi dengan suara tinggi. Air mata sudah siap tumpah membanjiri lantai ruang kerja suamiku.

 Hatiku berkata, bahwa ada yang tidak baik sudah terjadi antara Kak Mira dan Julian. Namun, lelaki itu hanya membuang pandangan, serasa begitu jijik melihatku. Sengaja aku mendekat ke arahnya, lalu menatapnya dengan penuh air mata. 

“Katakan, Mas! Jujur saja. Aku akan menerima apapun itu,” kataku lagi. 

“Aku sudah merenggut kesucian Kak Mira.” 

“Apa?! Bagaimana bisa? Kamu jangan bercanda, Mas?” aku mengguncang tubuhnya dengan kuat. Sungguh keadaan ini semakin rumit dan membuatku tak sanggup berdiri. 

“Tidak mungkin aku berbohong untuk hal sepelik ini. Semua ini terjadi karena kamu, Nes. Kamu yang membuat semuanya menjadi runyam. Kamu biang kerok masalah rumah tangga kita!” lelaki yang masih sah menjadi suamiku itu, terus saja berteriak di depan wajahku. 

“Mas, jangan begini! Mas, aku mohon. Katakan ini tidak benar. Kamu adalah lelaki yang bersih dan buka tipe lelaki yang suka menanam benih dimana pun. Kenapa jadi seperti ini, Mas? Jangan siksa saya dengan hak buruk lagi!” 

“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Semua sudah terjadi dan aku sudah memutuskan untuk menikahi Kak Mira juga. Dia akan menjadi istri keduaku. Jika kamu masih ingin bertahan dengan pernikahan ini, maka ikhlas dan terima saja keputusanku. Ya Tuhan, menikah dengan siapa, malah menikmati surga dunia dengan siapa. Nilai kita satu sama!” Julian bangun dari duduknya, lalu pergi begitu saja dari hadapanku. Kedua kaki ini benar-benar lunglai. 

Aku terduduk lemas sambil berpegangan erat pada ujung meja. Isak tangis kerasku mengisi ruang dimana kami pernah menikmati manisnya cinta. Berciuman, berpegangan tangan saat sama-sama mengerjakan tugas kantor. Makan mi ayam gerobak berdua saja di sini. Bahkan dengan manisnya, Julian menyelimutiku yang tertidur karena kelelahan menunggunya menyelesaikan pekerjaan kantor. 

Semua sudah berubah. Karena kesalahanku satu malam, aku membuat takdir hidupku berubah tiga ratus enam puluh derajat. Lelaki yang mencintaiku, kini berubah membenciku;bahkan membalas sakit hatinya dengan perlakuan yang sama. Baru menikah dan sudah harus punya madu? Tidak mungkin! Aku tidak mau, namun aku aku berbuat apa sekarang? Semua ini adalah salahku. Aku yang bersalah. Aku yang memulai semuanya menjadi rumit. 

Sekuat tenaga aku bangun dari simpuhanku, lalu berjalan keluar kamar. Menaiki anak tangga satu per satu, lalu sampai di depan kamar tamu;tempat aku akan menghabiskan malam-malam yang pastinya penuh luka. Sekilas aku menoleh ke lorong paling ujung, di sana adalah kamarku dan Julian seharusnya. Entah apa yang dilakukan lelaki itu saat ini? Apakah dia senang dengan semua ini? Apakah rasa cintanya padaku, sama besarnya seperti dirinya mengasihi Kak Mira? 

“Ya Allah, kenapa jadi seperti ini?” aku hanya bisa bergumam pedih, lalu menutup pintu kamar dan menguncinya. Ponselku bergetar beberapa kali. Masih dengan langkah lemas, aku melihat siapa yang menelepon. Papa. Tanpa terasa, air mata ini kembali tumpah.

 “Papa, bantu Anes,” lirihku dengan menahan tangis. Saat ini aku tidak sanggup untuk berbicara dengan lelaki terbaik dalam hidupku. Biarlah papa mengira aku sudah tidur. Itu lebih baik dari pada dia mendengar paraunya suaraku menahan tangis. 

Tidur dalam keadaan lelah menangis. Aku tidak sadar sudah pukul berapa, saat pintu kamarku diketuk. “Non, bangun! Ini sudah siang,” seru suara di balik pintu kamarku. Masih dengan kepala berat dan mata yang sulit dibuka, karena bengkak lama menangis. Aku berusaha turun dari ranjang untuk membukakan pintu kamar. 

“Ya, Bik,” jawabku lemah. 

“Ya Allah, Non. Matanya kenapa sampai bengkak gitu?” Bik Darsih kaget melihat wajah sembab dan mata bengkakku. 

“Gak papa, Bik. Sepertinya ada semut di ranjang. Saya terlalu manis, makanya digigit,” jawabku seraya memberikan senyum tipis. Wajah wanita paruh baya di depanku ini tampak tak nyaman. Sepeerti ada yang ingin dia katakana, tetapi masih ragu. Di tangan kanannya ada lipatan handuk bersih yang sepertinya akan dia berikan padaku, dan di tangan kanannya memegang sapu lantai. 

“Ada apa, Bik?” tanyaku sambil memperhatikan wajahnya dengan seksama. 

“Mm … anu, saya mau membersihkan kamar Non,” balasnya masih dengan keraguan. Tanpa menjawab, aku memberikan jalan pada Bik Darsih. Wanita setengah baya itu masuk ke dalam kamar, lalu menaruh handuk di atas nakas. 

“Non, saya mau kasih tahu sesuatu. Kalau bicara di luar, bisa tertangkap CCTV rumah. Terpaksa saya masuk ke kamar Non dengan cara seperti ini,” ujar Bik Darsih sambil berbisik. 

“Bik, jangan bikin saya deg-degan. Ada apa sebenarnya, Bik?” tanyaku lagi dengan rasa tak sabar. 

“Mm … ini, Non. Di bawah sedang ada acara pernikahan siri Tuan Julian dan Non Mira.” 

“A-apa?” 

Bersambung 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
h-d
dr awal kaka angkat julian ngasih teh dipesta aku sudah curiga dia yg merekayasa semuanya. dia dalangnya....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status