“Apa maksud pembicaraan ini? Apa yang terjadi dengan Kak Mira?” tanyaku dengan suara bergetar. Mati-matian aku menopang berat tubuh ini dengan berpegangan pada daun pintu, agar tidak jatuh pingsan. Bukannya menjawab, Kak Mira malah pergi meninggalkan kami begitu saja sambil terisak;entah disengaja atau tidak, tubuh kami saling bertabrakan dan dia terlihat masa bodoh.
Julian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Kakinya melangkah menuju meja kerja, lalu duduk di kursi kebesarannya.
“Mas, ada apa dengan Kak Mira? Kenapa Mas harus tanggung jawab?!” tanyaku lagi dengan suara tinggi. Air mata sudah siap tumpah membanjiri lantai ruang kerja suamiku.
Hatiku berkata, bahwa ada yang tidak baik sudah terjadi antara Kak Mira dan Julian. Namun, lelaki itu hanya membuang pandangan, serasa begitu jijik melihatku. Sengaja aku mendekat ke arahnya, lalu menatapnya dengan penuh air mata.
“Katakan, Mas! Jujur saja. Aku akan menerima apapun itu,” kataku lagi.
“Aku sudah merenggut kesucian Kak Mira.”“Apa?! Bagaimana bisa? Kamu jangan bercanda, Mas?” aku mengguncang tubuhnya dengan kuat. Sungguh keadaan ini semakin rumit dan membuatku tak sanggup berdiri.
“Tidak mungkin aku berbohong untuk hal sepelik ini. Semua ini terjadi karena kamu, Nes. Kamu yang membuat semuanya menjadi runyam. Kamu biang kerok masalah rumah tangga kita!” lelaki yang masih sah menjadi suamiku itu, terus saja berteriak di depan wajahku.
“Mas, jangan begini! Mas, aku mohon. Katakan ini tidak benar. Kamu adalah lelaki yang bersih dan buka tipe lelaki yang suka menanam benih dimana pun. Kenapa jadi seperti ini, Mas? Jangan siksa saya dengan hak buruk lagi!”
“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Semua sudah terjadi dan aku sudah memutuskan untuk menikahi Kak Mira juga. Dia akan menjadi istri keduaku. Jika kamu masih ingin bertahan dengan pernikahan ini, maka ikhlas dan terima saja keputusanku. Ya Tuhan, menikah dengan siapa, malah menikmati surga dunia dengan siapa. Nilai kita satu sama!” Julian bangun dari duduknya, lalu pergi begitu saja dari hadapanku. Kedua kaki ini benar-benar lunglai.
Aku terduduk lemas sambil berpegangan erat pada ujung meja. Isak tangis kerasku mengisi ruang dimana kami pernah menikmati manisnya cinta. Berciuman, berpegangan tangan saat sama-sama mengerjakan tugas kantor. Makan mi ayam gerobak berdua saja di sini. Bahkan dengan manisnya, Julian menyelimutiku yang tertidur karena kelelahan menunggunya menyelesaikan pekerjaan kantor.
Semua sudah berubah. Karena kesalahanku satu malam, aku membuat takdir hidupku berubah tiga ratus enam puluh derajat. Lelaki yang mencintaiku, kini berubah membenciku;bahkan membalas sakit hatinya dengan perlakuan yang sama. Baru menikah dan sudah harus punya madu? Tidak mungkin! Aku tidak mau, namun aku aku berbuat apa sekarang? Semua ini adalah salahku. Aku yang bersalah. Aku yang memulai semuanya menjadi rumit.
Sekuat tenaga aku bangun dari simpuhanku, lalu berjalan keluar kamar. Menaiki anak tangga satu per satu, lalu sampai di depan kamar tamu;tempat aku akan menghabiskan malam-malam yang pastinya penuh luka. Sekilas aku menoleh ke lorong paling ujung, di sana adalah kamarku dan Julian seharusnya. Entah apa yang dilakukan lelaki itu saat ini? Apakah dia senang dengan semua ini? Apakah rasa cintanya padaku, sama besarnya seperti dirinya mengasihi Kak Mira?
“Ya Allah, kenapa jadi seperti ini?” aku hanya bisa bergumam pedih, lalu menutup pintu kamar dan menguncinya. Ponselku bergetar beberapa kali. Masih dengan langkah lemas, aku melihat siapa yang menelepon. Papa. Tanpa terasa, air mata ini kembali tumpah.
“Papa, bantu Anes,” lirihku dengan menahan tangis. Saat ini aku tidak sanggup untuk berbicara dengan lelaki terbaik dalam hidupku. Biarlah papa mengira aku sudah tidur. Itu lebih baik dari pada dia mendengar paraunya suaraku menahan tangis.
Tidur dalam keadaan lelah menangis. Aku tidak sadar sudah pukul berapa, saat pintu kamarku diketuk. “Non, bangun! Ini sudah siang,” seru suara di balik pintu kamarku. Masih dengan kepala berat dan mata yang sulit dibuka, karena bengkak lama menangis. Aku berusaha turun dari ranjang untuk membukakan pintu kamar.
“Ya, Bik,” jawabku lemah.
“Ya Allah, Non. Matanya kenapa sampai bengkak gitu?” Bik Darsih kaget melihat wajah sembab dan mata bengkakku.
“Gak papa, Bik. Sepertinya ada semut di ranjang. Saya terlalu manis, makanya digigit,” jawabku seraya memberikan senyum tipis. Wajah wanita paruh baya di depanku ini tampak tak nyaman. Sepeerti ada yang ingin dia katakana, tetapi masih ragu. Di tangan kanannya ada lipatan handuk bersih yang sepertinya akan dia berikan padaku, dan di tangan kanannya memegang sapu lantai.
“Ada apa, Bik?” tanyaku sambil memperhatikan wajahnya dengan seksama.
“Mm … anu, saya mau membersihkan kamar Non,” balasnya masih dengan keraguan. Tanpa menjawab, aku memberikan jalan pada Bik Darsih. Wanita setengah baya itu masuk ke dalam kamar, lalu menaruh handuk di atas nakas.
“Non, saya mau kasih tahu sesuatu. Kalau bicara di luar, bisa tertangkap CCTV rumah. Terpaksa saya masuk ke kamar Non dengan cara seperti ini,” ujar Bik Darsih sambil berbisik.
“Bik, jangan bikin saya deg-degan. Ada apa sebenarnya, Bik?” tanyaku lagi dengan rasa tak sabar.
“Mm … ini, Non. Di bawah sedang ada acara pernikahan siri Tuan Julian dan Non Mira.”
“A-apa?”Bersambung
“Apa maksud semua ini, Julian? Kamu menikah lagi tanpa minta ijin dariku? Keterlaluan!” tanganku terkepal menahan tangis. Aku tidak mau dianggap lemah oleh semua keluarga Julian. Sudah cukup beberapa hari ini perasaanku terombang-ambing dengan sikap mereka.Semua yang ada di bawah sana, tentu saja sontak menoleh ke arahku dengan tatapan tidak suka. Namun tidak dengan Kak Mira;wanita yang tengah memakai kebaya putih itu menunduk malu tanpa berani menoleh ke arahku.“Aku minta kamu masuk, Anes!” suara Julian mendikteku. Kaki ini serasa melayang, berjalan mendekati mereka. Nampak Julian sedikit gugup, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Sorot mataku tajam menatap delapan orang di sekelilingku secara bergantian. Lalu aku berhenti pada Julian.“Aku tidak pernah tahu apa maksud semua ini? Aku tidak pernah merasa bajingan saat menjadi pacar kamu sekian tahun, dan karena kesalahan satu malam yang seperti disengaja, kamu
Kusambar tas selempang yang berisi dompet dan dua ponsel. Dengan berlari, aku menuruni anak tangga, bukan hanya satu anak tangga melainkan dua anak tangga sekaligus.BrughAku jatuh tersungkur sesaat. Namun itu tak menyurutkan semangatku untuk menyusul Julian yang mobilnya belum keluar dari pekarangan rumah. Aku bangkit kembali, lalu berlari dengan sekencangnya menuju mobil yang sudah siap dikendarai oleh Mang Ismun."Mau apa kamu, Anes?" tanya Bu Dian; mama mertuaku, sekaligus mama mertua Kak Mira. Semua mata memandang aneh dan tak suka padaku. Apa aku peduli? Tentu tidak. Tanpa menjawab pertanyaan mertua, sekaligus tatapan heran Julian, aku masuk ke dalam mobil yang akan membawa pasangan mesra ini untuk berbulan madu."Keluar! Mau apa, Kamu?" Dengan kasarnya, Julian menarik tanganku keluar dari dalam mobil, tetapi aku berpegangan pada sandaran jok, hingga lelaki itu kesulitan menarikku kel
Aku terdiam memandang deburan ombak di pesisir pantai, tepat di depan cottage tempatku menginap saat ini. Langit yang tadi berwarna terang, sudah berubah jingga. Namun tak membuat pengunjung pantai beranjak dari tempat duduk mereka. Ada yang bersenda gurau dengan anggota keluarganya. Ada pula yang berasik-masyuk dengan pasangannya.Wajah kebarat-baratan cukup mendominasi pemandangan mataku saat ini. Tawa lepas dan juga rona merah malu-malu para wanita yang sedang berbincang dengan pasangannya, membuat hati ini teriris. Mau apa sebenarnya aku datang ke sini tanpa pasangan? Jika hati ini mengatakan untuk menghibur diri, sungguh sangat tidak tepat aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku berlibur disaat membayangkan bulan madu suamiku dengan wanita lain?TokTok“Room service,” suara di balik pintu kamar, membuatku menoleh. Tepat di atas pintu ada j
"Cih! Berlagak menjadi pahlawan. Gak bakalan uang lima ratus ribu kamu, bisa mengembalikan masa depanku yang sudah hancur!" hardikku sambil meraih kasar pakaian yang ada di dalam kantong belanja. Masa bodoh dengan lelaki itu yang terdiam sembari menunduk.Jika tidak karena dompetku yang kecopetan, tidak akan mungkin aku mau memakai uang lelaki bajingan itu untuk membayar belanjaku. Kenapa harus dia yang kutemui di sini? Bukannya lelaki lain, mantan pacarku mungkin, atau teman yang cukup dekat denganku.Sengaja kaki ini melangkah lebar meninggalkan area pertokoan. Dengan membuka sandal jepit, aku berjalan menyusuri bibir pantai. Menikmati angin pagi yang begitu kencang dan juga hawa dingin yang menusuk kulit. Walau cuaca terasa seperti musim hujan, tetapi matahari bersinar cukup terang.Debur ombak yang berayun ke arahku, membuat hati ini ikut merasakan gembira. Untuk sementara, isi kepalaku bisa melupakan kesedihan akan na
"Ups ... Sori, terlepas dari tangan saya. Oh, hai ... Kalian ada di sini juga? Saya kirain tertinggal di bandara," tukasku berpura-pura masa bodoh. Langsung aku berbalik badan dan kembali masuk ke dalam kamar. Hati ini panas dengan kelakuan Julian dan juga Mira. Sayang sekali, vas bunga tadi, tidak tepat jatuh di atas kepala Julian ataupun Mira. Jika tidak, itu rasanya lumayan memberi kepuasan padaku.Tak kudengar suara apapun di bawa sana. Itu pertanda, suamiku dengan istri mudanya, tidak menghiraukan perbuatanku. Dapat kupastikan, saat ini juga, keduanya hengkang dari cottage ini."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ponsel tidak punya, duit sisa delapan puluh ribu. Dompet hilang. Untung udah bayar penginapan untuk satu pekan. Kalau tidak, bisa-bisa aku diusir." Perut ini pun tiba-tiba terasa lapar. Kulirik dua bungkus roti yang masih utuh. Segera kusambar untuk mengisi lambungku yang kosong. Makan pun seperti tidak bernapas. Aku benar-benar kelaparan. L
Tak semua hal yang terjadi dalam kehidupanku, bisa aku bagikan pada keluarga, terutama kedua orang tuaku. Tidak akan sampai hati ini, memberi beban pikiran, karena nasib putri mereka yang saat ini, tengah dicampakkan oleh lelaki yang telah mereka percaya bisa menggantikan posisi keduanya.Aku termasuk orang yang beruntung, karena walau dirundung masalah, setidaknya aku masih bisa berpikir waras. Bukan malah lompat dari jembatan untuk mengakhiri hidup. Itu semua aku lakukan, demi kedua orang tuaku yang yang selalu sayang dan percaya padaku. Cukup sudah aku membuat mereka malu dengan kejadian memalukan di hotel. Tidak sanggup diri ini menambah kesedihan mereka.Aku harus mengambil tindakan sendiri untuk membuktikan, bahwa aku dijebak dan bisa juga lelaki yang tengah duduk di depanku ini, juga dijebak."Jadi, berapa usiamu?" tanyaku setelah lima belas menit, hanya memandang tajam lelaki itu dalam diam."Dua puluh tiga tahun, Nona," jawabnya masih sambi
POV AuthorAnes masih tertawa terpingkal-pingkal karena ulah Taka. Ucapan pemuda polos itu membuat Anes yang seharusnya sangat terluka, mejadi tergelak tiada henti bagai orang gila. Taka hanya bisa menatap wanita aneh di depannya, tanpa tahu sebab. Dia tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya, tetapi kenapa wanita di epannya ini sangat aneh. Mereka sudah berlari sampai di bibir pantai. Tak ada yang memperhatikan keduanya karena semua orang sibuk dengan acara mereka masing-masing.“Non, saya harus balik ke dapur ya. Besok lagi aja dilanjutkan. Saya gak bisa lama-lama. Ini saja, saya bilangnya ijin buang air,” terang Taka dengan wajah memelas. Anes yang tertawa sampai membungkuk, akhirnya meluruskan tubuhnya. Kedua tangannya naik ke pipi, untuk memijatnya sekilas. Pipi nya terasa pegal karena tertawa. “Kamu pemuda aneh!” kembali Anes menggelengkan kepalanya.“Ya udah, Non. Saya balik
Matahari mulai terbenam dan sorot lampu menyinari ruang perawatan kelas tiga. Anes duduk di kursi penunggu pasien. Berjarak cukup jauh dari Taka yang saat ini masih terlelap di atas brangkar. Wajah pemuda itu pucat dan Anes baru menyadari tubuh kurus milik pemuda itu. Dokter sampai menanyakan, apakah Taka berpuasa sepanjang hari?Hal ini yang ketika Taka bangun, akan segera ia tanyakan. Pemuda yang semakin hari, membuatnya semakin yakin, bahwa dia tidak bersalah. Ada orang yang menjebak mereka berdua.Saat Anes berbalik untuk membeli minuman di kantin rumah sakit, pemuda itu terbangun dan bergumam. "Di mana saya?" suara serak yang dapat ditangkap jelas oleh telinga Anes. Wanita itu menghentikan langkah, lalu berbalik manatap Taka."Di rumah sakit. Kamu pingsan saat kita memasuki Kota Surabaya, sehingga aku memutuskan untuk membawa kamu ke rumah sakit," terang Anes dengan suara datar. Wanita itu memilih berjalan mendekat pada Taka. Menatap kasih